Hari Jumat 23 April 2011 pukul 11 malam, aku terbangun. Malam yang sebelumnya ditemani hujan deras itu, seakan menyuruhku untuk merenung. Bukan karena aku mendapatkan ‘ilham’ – itu satu hal mustahil untuk manusia penuh dosa sepertiku, tapi karena sebelum tidur aku membaca sejarah Muhammad ibn Abdulloh.
Aku terhenyak malam ini, memikirkan ucapan seorang kakak tingkat sore hari lalu. Ia yang aku anggap sebagai kakak sendiri, ternyata telah menganggapku gila sejak lama. Dari penilaiannya itulah, aku merenungi kehidupanku akhir-akhir ini. Begitu banyak keajaiban yang sebenarnya tidak masuk akal bisa dialami oleh manusia sepertiku. Aku manusia biasa. Bukan berarti manusia tidak mungkin menguasai (dengan izin-Nya) langit dengan mengatur awan agar hujan atau sekedar teduh. Tapi yang pasti, sekalipun manusia bisa, aku bukan salah satu di antara mereka. Aku tak mau menjadi manusia ‘di luar kebiasaan’.
Aku manusia lumrah. Dan malam ini aku mempertanyakan keistimewaan yang ada pada diriku itu. Akhir-akhir ini, seakan aku mampu bertelepati – berkomunikasi jarak jauh tanpa alat, menyembuhkan diri dan orang lain secara cepat, mengatur langit, dan semacamnya. Aku memang ‘menyetingnya’, tapi bukan aku yang menggerakkan semua itu. Malam ini aku merenungkan semua itu.
Memang ada kemungkinan, semua ‘kemampuan’ itu aku dapatkan sebagai ‘hadiah’ dari-Nya. Karena telah mampu mengingat-Nya di manapun dan kapanpun aku berada. Aku bersholawat sambil berjalan – meskipun belum setiap langkah, sembari duduk, berdiri, berbaring, makan, nonton tv, dan sebagainya. Tapi aku meragukan – bukankah akal memiliki kodrat untuk meragukan segala sesuatu dan hati untuk meyakini sesuatu?, kemampuan itu. Aku bersholawat murni karena Alloh dan rasululloh – bukan berarti aku tidak mensyukuri ‘kemampuan’ itu. Dan tidak ada keinginan berlebihan yang aku panjatkan pada-Nya, sebatas ampunan, kasih, dan hidayah. Malam ini, aku ingin mengembalikan semuanya pada-Nya. Sholawat atau apapun yang aku getarkan dalam hati, hanya untuk menutupi dosa-dosaku dan seluruh manusia pada umumnya. Jika ada sedikit tambahan rahmat, maka itu untuk keluargaku. Karena Engkau lebih dari cukup bagiku.
Lihatlah, sholat isya-ku sering telat, atau bahkan tertinggal. Sekarang saja aku sholat isya pukul 11 malam. Aku juga sering meninggalkan sholat berjamaah – terlepas imam yang tak tahu diri. Dalam hatiku masih terbesit harap, masih memiliki banyak keinginan, dan aku masih melakukan dosa-dosa menjijikan lainnya. Mana mungkin aku mendapatkan keistimewaan itu? Ini yang diterima oleh akal-ku ; keraguan. Tapi hati selalu meyakini bahwa Alloh dan rasululloh (insya Alloh) selalu memaafkanku. Aku yakin itu.
Nabi Muhammad saja, manusia yang paling mencintai Alloh, hidupnya begitu lumrah. Kakinya berdarah-darah ketika menaiki bukit, berlari dari incaran pembunuh. Berdarah-darah ketika kakinya terkena batu lemparan dari orang-orang Tha’if. Dan aku? Astaghfirullohal Adzim, mana mungkin mendapatkan kemampuan seperti itu jika bukan dari ‘iblis’ yang ada dalam diriku? Alasan apa yang menjadikan aku mampu melebihi apa yang Rasul miliki saat beliau hidup? Ampuni aku wahai Alloh…
Aku hanya ingin menjadi manusia lumrah. Aku ingin menyerahkan semuanya pada-Mu ya Alloh, malam ini.
Sabtu 23 April 2011, pukul setengah empat pagi