Malam minggu yang tak biasa dialami oleh pak Acing – seekor cacing keturunan Cina-Jawa – yang tengah mencari makanan untuk anak dan istrinya. Malam itu sedikit ‘ngambek’, seandainya Tuhan memberinya kaki, pasti ia dan golongannya akan lebih banyak yang selamat ketika subuh tiba. – Karena tak punya kaki – Alhasil, dapat manusia jumpai cacing-cacing yang bergelimpangan di pagi hari karena mereka tak sempat lari memasuki rumahnya sebelum fajar tiba.
Ketika Pak Acing lagi enak-enaknya mengendus dimana ada makanan yang bisa ia dapatkan, ia – secara tak sengaja – melihat sepasang kekasih (manusia tentunya, masa cacing sih?) yang sedang ‘asyik’ bertengkar. Jelas saja ia kaget. Di Kerajaan Nduwur tempat ia tinggal dahulu, jarang sekali ada manusia, apalagi yang tengah ‘beradu’ mulut. Tapi ketika – lagi-lagi secara tak sengaja – sekitar dua bulan lalu ia terbawa sebuah truk yang mengangkut sejumlah tanah untuk membangun perumahan di daerah yang ‘ajaib’ di pandangan matanya (Pak Acing punya mata, gitu?). Untungnya, ia masih diberikan keselamatan oleh-Nya, tidak masuk menjadi ‘adonan’ semen dan pasir. Dua bulan sebelumnya, saat pertama kali tiba di tanah yang asing menurutnya, “Bah! Aku tak bisa lagi menikmati kedamaian dan asrinya Desa Nduwurku!” sesalnya. Hidungnya (punya gitu?) merasakan udara yang sangat berbeda dengan udara yang ada di desanya. Sangat kotor!
“Udahlah! Gugurkan saja bayi itu. Mumpung belum lahir!” teriak si lelaki.
“Apa? Kau gila! Kita sudah melakukan kesalahan besar, apa kita akan menambah dengan kesalahan yang lebih besar lagi? Dengan mengaborsi bayi ini?” bela si perempuan. Pak Acing sebenarnya tak tega melihat (punya gitu? Udah, tinggal baca aja, bawel amat!) air mata yang mulai bercucuran membasahi pipi si perempuan. Tapi mau bagaimana, kalau ia dipaksakan menegakan tubuhnya (secara vertical) berdiri, apa kata dunia? Nggak lucu banget kan, ada cacing yang bisa berdiri?!
Menurut pengamatan pak Acing yang sistematis berdasarkan metodologi pengamatan keributan manusia, nampaknya sepasang kekasih itu telah melakukan hubungan yang melanggar undang-undang pornoaksi-pornografi di dunia manusia.
“Untungnya di duniaku undang-undang kayak gitu nggak ada,” gumamnya.
“Nggak percuma juga aku makan otak manusia yang sudah mati. Dampaknya, aku juga ketularan. Eh, - melihat sepasang kekasih di atasnya - tapi kenapa temanku si kerbau yang biasanya di salahkan ya? Padahal kan, mereka yang melakukan ‘kesalahan’ itu?” renung pak Acing. Ia masih ingat kata-kata kebanyakan manusia kepada orang yang melakukan hubungan suami-istri di luar pernikahan, ‘Kumpul Kebo’.
“Kalau aku jadi kerbau, aku nggak bakalan mau ah, diseperti itu kan. Nyatanya, manusia bisa lebih ‘kotor’ daripada kerbau. Malah aku yang nggak bakal mau disebut manusia, dalam masalah seperti itu,” gerutu Pak Acing.
Entah bagaimana kelanjutan kisah ‘terlarang’ itu, oleh karena pak Acing terus saja mencari sesuap rizki-Nya. Mungkin ‘su’udzon’ (jelek sangka)-nya terhadap manusia dikarenakan apa yang sering ia dengar semenjak berada di daerah perkotaan. Penolakannya disebut manusia juga lantaran berita-berita yang ia dengar dari bawah tanah. Apa yang ia dengar dari besi bersuara (radio kali yah?), pagi-pagi ada manusia yang sudah melakukan tindakan pencurian dan korupsi, agak siang manusia melakukan tindakan perampokan, pembunuhan, pengeboman. Sore dan malamnya, dikabarkan manusia melakukan pemerkosaan, bukan hanya ke orang lain yang bukan keluarganya, bahkan ada seorang bapaknya manusia yang tega ‘menggebungkan’ perut anaknya.
“Katanya diberi akal dan hati, kok gitu sih?”
“Saya saja nggak pernah tuh, padahal saya kan nggak punya akal, apalagi hati,” gumamnya.
Manusia yang katanya diberi akal dan hati, ternyata bisa lebih ‘goblok’ dari hewan. Rasanya tak mungkin ada seekor singa yang tega memakan jatah rumput para kambing, di dunia binatang. Di dunia manusia? Jangankan jatah manusia lain yang di’embat’ (Korupsi) kadang jatah binatang pun di’telan’ juga oleh mahkluk bernama manusia.
Suatu ketika pak Acing pernah berdialog dengan seekor burung yang baru saja lepas dari ‘penjara’ yang manusia sebut sebagai kebun binatang. “Disana, banyak temen-temen kita yang kasihan. Gajah, Jerapah, hingga Onta yang kurus gara-gara terlalu jarang diberi makan sesuai kebutuhannya,’’ kata Burung.
Panatas saja Pak Acing ketus setiap menemui manusia ‘primitif’ di zaman Nuklir dan Pesawat Tempur ini.