Seperti para mahasiswa lainnya, menjelang lebaran aku pun sama seperti teman-temanku yang lain, mudik. Selain sejenak melepaskan beban tugas tentang PR (Pekerjaan Rumah) dari dosen mengenai rumus njlimet pembuatan roda Tubbles kereta api, juga untuk sejenak melupakan bayangan-banyangan menyakitkan dari negeri seberang. Namun sial, saat di bus, waktu lagi enak-enak duduk bersandar di dua kursi di belakang supir, bayangan para gadis yang telah menampar menyerangku di dalam pikiran. Layaknya para nenek sihir yang ingin mengutukku dengan sapu terbangnya. ”Wuzz..wUzZ.. hi hi hi hi...” seperti itulah kurang lebihnya mereka menghantui khayalanku. Seakan tak bisa dihilangkan. Tiba-tiba pak supir berucap sembari menyalakan mesin mobil, ”Dek, di kursi itu pernah ada cewek mati gara-gara nahan kentut, jadi nggak usah takut kalo ada apa-apa ya..” sialan! Kenapa baru bilang? Sudah sekitar satu jam perasaanku nggak enak. Pantesan bayangan nenek-nenek sihir nggak bisa dihilangin. Ternyata itu ta alasannya?!
Ketika pak supir tertidur dan aku mulai menyetir, eh salah, ketika saya tertidur sambil memegangi kepala pak supir, bus jalan dengan sendirinya. LHO? Maksutnya, waktu pak supir mulai menyetir, aku tertidur dengan sendirinya. Namun tak disangka, sugesti bayangan para nenek sihir jahat dari kampus membawaku ke alam mimpi saat aku kelas tiga SMA, dulu. Tepatnya di akhir semester satu. Kenangan tentang Tarnyep, teman kelas yang tergila-gila padaku merasuk dalam mimpiku. Memangnya kenapa, Soek? Itu cewek punya kisah tersendiri di kehidupan SMA ku. Ceritanya begini...
Tarnyep adalah siswi pindahan dari SMK jakarta, tapi aku nggak tahu SMK apa atau SMK berapa. Maklum, waktu itu aku masih minder pada lawan jenis, jadi jarang nanya-nanya tentang perempuan. Kecuali si bi Onah, penjual gorengan depan sekolah. Aku sering nanya-nanya dia ke teman, barangkali dia nagih hutang, aku mau pulang lewat belakang sekolah.
Tarnyep (Nggak ada nama yang lebih gokil ya? TARNYEP? Apaaa aannn..??) inilah yang mengajariku untuk bisa gaul dengan lawan jenis. Dia juga yang ’mendongkrak’ semangatku untuk bisa memiliki kekasih. Eh, berjalannya waktu, dia sendiri yang suka sama aku. Ini di luar dugaan. Di luar hitung-hitungan. Di luar rumus pythagoras dan logaritma yang bikin aku selalu muntah selesai pelajaran. Aku yakin, pythagoras dan Galileo pun nggak bakalan bisa merumuskan ini. Mustahil! Terus, apanya yang berkesan? Saat hari sabtu malam minggu, dia hendak main ke rumah ku, maklum, dia anak kota, jadi dia yang main ke rumahku, bukan sebaliknya. Pas dia lagi asyik-asyik naik motor, dari belakang dia diseruduk Kerbau gila yang lepas dari kandangnya. Aku lupa ngasih tahu ke dia, kalau di daerahku rawan banget dengan kecelakaan lalu lintas model begituan. Memang sih, nggak lucu, di kota sih iya, tabrak lari oleh motor atau mobil, di kampungku, yang namanya tabrak lari ya pasti pelakunya si kerbau sialan itu. Pak kirun, sang pemilik kerbau juga tak bisa di salahkan. ”Orang kerbaunya kok yang nabrak, tanpa disetir sama saya. Kalau kerbaunya mau dipenjara, ya bawa sendiri sana.” katanya suatu saat. Namun apa boleh buat, jangankan mengurung kerbau itu, menyentuh pun para polisi langsung muntah-berak di tempat.
Oleh warga akhirnya Tarnyep dibawa ke rumah dukun pijat. Oleh dukun pijat di suruh ke pak mantri. Oleh pak mantri di suruh ke saya. Soalnya yang punya motor di kampung ini cuman keluarga tetangga saya. Sialnya, tetangga yang punya motor lagi dangdutan di kampung sebelah. Aku yang melihat kejadian ini nggak habis pikir, ini warga nggak keren banget sih, orang sudah kembang kempis nafasnya, masih dibawa ke sana di mari.
Dengan kekuatan cinta, aku menggendong Tarnyep sampai ke rumah sakit terdekat. Terlihat dari belakang puluhan warga semua pada tepuk tangan. Ya iya lah, aku bisa membawanya, orang rumah sakit juga cuman 100-an meter, tinggal nyeberang jalan pantura! Terus kenapa si Tarnyep di oper sana-sini sebelumnya? Itulah uniknya warga kampung ku. Wedus!
Ini memang kisah sendu. Sekalipun dokter telah berusaha semaksimal mungkin, akhirnya ia tak terselamatkan. Namun dokter sempat mendengar bisikan terakhir yang Tarnyep ucapkan. ”Apa katanya, dok?” tanyaku. ”Ka-kau-kau tak akan memiliki kekasih se-selain aku, Soeeek...hahay hahay..HwEb!” ucap dokter persis menirukan ucapan Tarnyep. Tak kurang dengan seringaian monyong mulut pak dokter saat mengucapkan, ”Hahay..hahay..” membuat aku merinding dan tak bisa pulang. Bukan karena aku takut, tapi aku ingin mengecek sendiri ke dia. Apa benar dia membisikan kata-kata seperti itu. Waktu di cek, ”Iya Soek, bener..” ucap Tarnyep di bangsal pembaringan. ”HeIkK!” ”BrUkK!” kepalaku membentur pintu kamar. Kaget Tarnyep mengiyakan apa kata pak dokter. ”Ini KUTUKAN! Ini KUTUKAN!” teriakku. ”PLAK!” tiba-tiba sebuah tangan memukul kepalaku. ”Teriak-teriak seenaknya!” Ups! Mimpiku terbawa ke alam nyata. Dari belakang tempat dudukku, ”Tong – panggilan untuk anak laki-laki, tadi pak supir tiga kali mau nabrak gara-gara kamu ngelindur, ’Hahay..hahay’ nggak jelas. Supir kaget, dikiranya kamu kerasukan jin.” katanya. ”Tuh lihat, para penumpang di belakangmu,” sambungnya. Aku lihat penumpang lain pada keringetan dan wajahnya memerah, sebal. Seakan di tangannya mereka mengangkat arit dan pacul untuk memberi pelajaran padaku yang telah mengganggu tidur mereka. ”Glek-gLek (menelan ludah), amankan aku ya Tuhan..” aku menutupi wajahku dengan tas di punggungku.