Berbekal peribahasa 'Takkan Lari Nunung Dikejar', kali ini aku mengerahkan segala pikiranku untuk menaklukan target selanjutnya, yaitu Nunung. Mahasiswi jurusan Kedokteran khusus operasi wajah jelek ini, menjadi target selanjutnya karena selain alasan dia termasuk sosok yang santun, juga jauh dari penilaian 'wanita berhati pedang'. Sebenarnya agak keterlaluan juga kalau mengatakan dia adalah target selanjutnya yang harus ditaklukan. Lho, kenapa? memangnya ada perempuan yang bisa aku taklukan dari 56 perempuan yang aku tembak? Setengah juga nggak ada!
Nunung targetku selanjutnya ini jangan disamakan dengan Nunung yang ada di Opera Van Java. Pembaca salah kalau imajinasinya ke arah sana. Nunung yang ini sangat bisa dikatakan satu, karena memang dia satu. Tidak seperti nunung yang ada di OVJ, meskipun dia satu, tapi orang-orang terdekatnya selalu menghitungnya dua. Aku mengenalnya saat mendaftar di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Sarung Tinju. UKM ini bertujuan menjadikan anggotanya bisa mengetik menggunakan sarung tinju. Sebagai antisipasi masuknya maling ke rumah, jadi bisa sekalian dipakai untuk memukuli maling itu.
Kami memang baru berkenalan sekitar satu minggu, namun dari nada bicaranya, ia nampaknya sangat tertarik dengan jurusan tempatku belajar. Jurusan Tambal Ban Kereta Api itu lho. Atau mungkin, ia telah menemukan orang yang sangat tepat untuk dijadikan korban pertama sebagai kelinci percobaan operasi wajah dari jurusannya. Entahlah. Gini-gini aku tak suka jelek sangka. Asli, yakinlah sumpah! Disamber gledek bareng-bareng juga aku mau buat membuktikan ini.
Hanya satu halanganku yang terasa menjadi beban. Ia selalu didampingi oleh teman akrabnya yang sangat sulit kalau dikatakan sendiri. Walaupun dia satu, di mataku dia sekitar tiga orang. "Bisa kacau beliau nih, kalo aku nyampe jatuh ke tangannya.." ucapan seperti inilah yang sering aku keluarkan. Yah, meskipun hanya di dalam hati. "Di gampar satu perempuan juga udah gini, apalagi digampar tiga perempuan dalam satu tubuh?" kadang aku berbisik seperti itu saat bercermin. Teman Nunung itu nama julukannya si Bogem, karena jika telapak tangannya dikepalkan, sepertinya dari kepala, badan sampai kaki diwakili oleh bentuk kepalan tangannya itu. Wuah ngeri!
Selain peribahasa di atas, aku juga membekali diri dengan petuah yang sering digunakan orang sebagai ungkapan keterlambatan, 'Sebelum Nasir Menjadi Tukang Bubur'. Aku tak mau terlambat mengungkapkan isi hatiku pada Nunung, khawatir orang lain merebutnya. Biasa lah, kalau ada rasa, bawaannya selalu jelek sangka. Jangankan lirikan dari Kim Boong ke Nunung, lalat saja kalau ada yang berani mendekat, akan aku makan! Lumayan, buat tambahan gizi. Maklum, di tanah perantauan, jarang makan daging. Tradisi makan daging lalat dan nyamuk aku lakukan dengan alasan pepatah ini, 'Tak ada Rotan, Raam punJabi'. Begitulah.
"Soek, kau mau ke kantin nggak?" tanya Boong saat aku sedang asyik mencari kata-kata yang romantis untuk hari H (mengungkapkan perasaan). Ini aku lakukan agar tak gugup dan lancar seperti para ahli retorika saat mereka bersuara. "Nggak ah. Lagi sibuk.." jawabku. Belum selesai aku menjawab, "si Nunung lagi di kantin tuh, aku mau kesana ah.." ucap enteng Boong sembari berjalan keluar kelas. "Weh weh! Tunggu!" tak mau lah targetku selanjutnya diganggu oleh si Boong.
Di perjalanan, Boong merebut kertas yang dari tadi aku simpan di saku kemejaku. "Apa ini?" tanyanya sambil melihat-lihat tulisan di kertas. Belum sempat menjawab, "Hehehe, kayak gini mah udah basi! Mau kasih tau nggak bahasa yang pas buat orang kayak Nunung? Dia menjunjung tinggi sopan santun lho.." kata Boong. Seakan-akan ia mengisyaratkan kepadaku kalau dia akan menuliskan bahasa yang santun untuk diungkapkan di depan Nunung. "Maksutnya, kau mau membantuku buat bikin kata-kata pakai bahasa daerah sini?" tanyaku. "Tepat. kalo boleh tau, kau habis tabrakan di mana? tumben, kok bisa cepet paham?" "Kopek!" umpat diriku. "Udahlah, cepetan. Tapi jangan tulis atas nama kau yah?!" ucapku sedikit mengancam. "Enggak lah! aku mah udah punya tau!" dengan perjanjian yang cukup adil. Ia mulai menuliskan kata-kata untukku.
Singkat cerita, Boong telah selesai merangkaikan kata-kata untuk diucapkan di hadapan Nunung. Dia hanya berpesan "Ucapkanlah dengan nada suara sehalus-halusnya.." okelah kalo memang begitu. Ternyata, memang tak gampang mencari kesempatan yang bagus, karena si Bogem selalu mengiringinya ke mana pun ia melangkah. Seakan si Bogem adalah bayangan Nunung. Tapi okelah kalo begituh, apa pun resikonya, aku akan tetap maju.
Saat Nunung dan kawan-kawannya sedang asyik ngobrol di bawah pohon kangkung, eh maksutnya pohon pinus di taman rektorat, "Nung, aku mau ngomong." ucapanku belum selesai. "Ssst Ssst.. ada suara tapi nggak ada rupa!" kata Bogem. Tubuhnya berekspresi layaknya mendengar suara aneh di malam hari. Kepalanya celingukan tak jelas. "Ih, jahat banget sih! ngomong aja Soek," ucap lirih Nunung. "(dalam hati) Ah..tanda-tanda nih.." sesuai dengan pesan dari Boong, diucapkan dengan sehalus-halusnya, "Gini Nung, (sangat pelan) Gug gug, Bleg*..ug.. Ari sia (suaraku sangat pelan) beungeudna jiga leuwi ucing?" lega rasanya setelah mengungkapkan perasaanku yang kesekian kalinya. Dan memang tak terjadi apa-apa minimal selama sekitar dua menit. Lalu, "Soek.." ucap lirih Nunung, "Iyah.." masih dengan suara pelan. "Udah pernah diseruduk belum?" "belum," jawabku masih dengan keheran-heranan. "Coba kau lihat di sebelah kirimu. Ada manusia yang memiliki kekuatan dua kali serudukan banteng. Mau mencoba?" ucap Nunung tanpa mengalihkan wajahnya dari buku yang sedang ia baca. "WuDuH!" aku kaget ketika menengokan kepalaku ke sebelah kiri, terlihat si Bogem dengan posisi kepala yang siap menyundul tubuhku. Seakan ada asap yang keluar dari hidungnya. Dan pembaca sangat bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika tubuhku yang imut-imut diseruduk dua banteng dalam satu tubuh. Demi menjaga stabilitas badanku, tanpa prolog sedikit pun aku mengambil langkah seribu untuk menjauh. Masih mending kalau aku tak dikasih oleh-oleh dari teman nunung yang lain. "pLaK!" satu gamparan tepat mendarat di pipiku. Jadilah benar peribahasa, 'Maksut Hati Memeluk Nunung, Apa Daya Keburu Digampar'. Hhhh...
Sekitar 20 meter dari taman, sambil masih mengelus-elus pipi, aku melihat Boong yang sedang tertawa sambil memukul-mukul tembok. Entah, ini anak kemasukan jin apa. "Kau kenapa Boong?" tanyaku. Setelah ia 'berceramah'. Aku baru sadar, ternyata kata-kata yang dibuat Boong adalah kata-kata kasar. Yang namanya kata-kata kasar, mau dilemesin juga bakal tetap kasar. Hwuh, kopek banget tuh anak!