Jumat, 24 September 2010
Terus terang saya sebenarnya lagi nggak ‘mood’ untuk menggoyang-goyangkan pena malam ini. Namun apa boleh buat, alam berbisik, “Tuh, ada inspirasi. Elu jangan sampai ngelewatin..” Baru saja saya ‘mengkhatamkan’ membaca media cetak Isola Pos, yang tengah ‘digonjang-ganjingkan’ oleh penguasa kampus. Secara tak sengaja (atau mungkin ada yang menyengajakan?) saya menguping pembicaraan seorang pembantu rumah tangga – via handphone – yang nampaknya lagi berkeluh kesah pada suaminya di desa. Saya dengar dari pembicaraannya, nampak dia tengah berada dalam posisi yang sulit, tentunya masih dalam koridor kesetiaan seorang istri. Dia bekerja menjadi PRT di Bandung selain memang untuk mencari ‘rupiah-rupiah’ halal, juga untuk ‘mendamaikan’ perasaannya yang (mungkin) sedang kacau. Ribut dengan suami yang pengin berpoligami.
“Aku yo ra biso opo-opo, nek’ riko arep kawin meneh...” keluhnya. “Aku emang wes tuo. Riko jare arep kawin karo wong wedho petak. Si ‘anu’ kan petak lan ayu.. aku yo sebenere gelem balik, mung pripun meneh..? riko neng kono ra kerjo, arep mangan opo nek’ aku ra kerjo? Nek’ riko ndue duit, yo mrene o... njupuk aku. Arep kapan bae aku siap..” lanjutnya. “Wong lonte kok disengsemi..”
(Terjemahan) “Aku ya nggak bisa apa-apa, kalau kamu mau kawin lagi..” “Aku emang udah tua, kamu katanya mau kawin dengan perempuan putih. si ‘anu’ kan putih dan cantik.. aku ya sebenernya mau pulang, cuman gimana lagi? Kamu di sana nggak kerja, mau makan apa kalau aku nggak kerja? Kalau kamu punya duit, ya ke sini dong.. jemput aku. Mau kapan aja aku siap..” “Orang lonte kok disenengin..”
Saya rasa (karena ini berhubungan dengan perasaan, bukan pikiran/logika), benar-benar berat menjadi istri yang telah kehilangan kecantikannya (jika itu yang dibanggakan), yang serba ‘sakit’ melihat pasangan hidupnya ingin menikah lagi, gara-gara ‘bosan’ dengannya. Mengizinkan, takut tak ‘diadili’, tidak mengizinkan, takut ‘main’ di belakangnya. Kata dosen saya, “Serba susah jika suami mengatakan pada istri, ‘mau milih mana, dimadu atau diracun?’ memang serba ‘sakit’,” sangat manusiawikah? Entahlah, sampai sekarang saya tak tahu arti cinta. Entah Cinta (dengan ‘C’ besar), ataupun cinta (dengan ‘c’ kecil). Yang pasti, jangankan pada manusia, terhadap kucing pun saya nggak akan mengambil yang baru dan meninggalkan yang lama. (apa hubungannya??)
Jujur saja, hari ini saya mendapat pencerahan dari dua masalah di atas. Tentang upaya penggebukan demokrasi mahasiswa dan dilema seorang istri yang menua. Pertama, dalam konteks kampus, saya bukanlah seseorang yang pantas untuk menyuarakan Kebenaran dan Keadilan (adakah sesuatu yang lebih puitis selain Kebenaran, Keadilan, dan Cinta?) meskipun dalam lingkup kecil (kampus). Saya yang notabene mahasiswa biasa diwajibkan sekedar melihat saja dengan ‘kemandulan’ kampus sendiri. Mengapa? Ya karena anda mahasiswa biasa, Jon! Selalu gagal sekedar membuat grup-grup ‘discuss solution’, menyuarakan pentingnya berkarya nyata, juga bermanfaat dalam kehidupan masyarakat (baik kampus, juga masyarakat luar kampus). Ya... Ya... Ya... Wakata!
Kedua, tentang perasaan seorang istri yang menua. Ahhh... ini masalah perasaan, toh kalau saya ceritakan, kau, Jon, belum tentu bisa mengerti. Karena ‘rasa’ tidak selalu bisa dirasionalkan.