Ada kesamaan antara hari raya natal dan idul fitri. Natal berarti lahir, dan idul fitri yang artinya kembali suci. Aku tidak sedang membicarakan konsep hari raya secara teologis, karena hanya akan mengakibatkan debat kusir yang tak kunjung selesai. Perdebatan yang justru akan membawa kita pada permusuhan dan perpecahan antar manusia.
Semua orang pada umumnya – umat yang merayakan pada khususnya, tahu, bahwa hari raya – kalau tidak selalu berarti – sering kali identik dengan kegembiraan. Hari yang dipenuhi dengan rasa senang sepanjang hari. Baik itu natal, dengan berbagi kado, hadiah, ataupun yang lainnya. Begitu juga dengan idul fitri dengan pengidentikan banyaknya makanan dan saling membagi rizki. Tapi ada yang salah dalam ritus tahunan kita itu. Hari raya yang identik dengan – bukan hanya hari suci tetapi juga, hari kegembiraan, seringkali kita lupa dengan konsekuensi dari hari itu. Pertama tentang kegembiraan. Apakah setiap dan semua orang yang merayakan hari raya itu – paling tidak di hari itu, merasakan kegembiraan yang sama seperti kita? Juga, bagaimana cakupan kegembiraan hari raya yang kita peringati itu, hanya sebatas sesama golongankah (sesama agama)?
Kedua, berkenaan dengan konsep ‘lahir’ atau ‘suci’. Benarkah di hari itu kita telah kembali pada kesucian – seperti ketika kita dilahirkan? Atau paling tidak, apa benar kita ada kemauan untuk kembali pada kesucian melihat kehidupan kita yang begitu tolol?
Tuhan mengamanatkan bumi pada manusia agar bisa diolah dengan sebaik-baiknya. Demi kesejahteraan bersama, untuk kegembiraan semua. Para nabi dan rasul tak pernah ada satu riwayatpun yang menceritakan, bahwa nabi atau rasul hanya untuk kebaikan satu golongan saja. Benar, jika para nabi dan rasul di utus pada umat tertentu – satu, kecuali Muhammad ibn Abdulloh. Tapi bukan berarti kasih sayang mereka tidak universal, menyeluruh pada seluruh alam. Para petinggi agama – entah itu ulama, pendeta, rahib, ataupun biksu, menjadi penyambung risalah Tuhan dari para nabi dan rasul bukan hanya untuk golongan tertentu, tetapi untuk setiap dan semua orang yang mau. Semua itu berujung pada satu tujuan, yaitu kebahagiaan hidup. Kebahagiaan tidak terkotakan pada satu kelompok. Kebahagiaan merupakan milik siapa saja yang berusaha untuk menjemputnya. Tuhan tidak memberikan kebahagiaan dalam kehidupan ini hanya untuk satu ‘kotak’ manusia, tetapi untuk seluruh alam.
Saudara kita yang nasrani memiliki konsep ‘altruisme’, sikap yang lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri. Tindakan untuk lebih dahulu memahami orang lain daripada meminta dipahami lebih dulu. Dalam Islam, kita mengenal konsep ‘rahman’ dan ‘rahim’. Kasih dan sayang Tuhan yang harus mengalir dalam darah setiap individu yang benar-benar hidup. Mengapa yang benar-benar hidup? Karena ada manusia yang sebenarnya mati, namun ia nampak ‘hidup’. Dari persenyawaan antara ‘rahman’ dan ‘rahim’ itulah kita kenal dengan konsep ‘hub’ – cinta. ‘Mahabbah’ – cinta Tuhan – yang jika menjadi dasar kehidupan manusia, akan menjadikan setiap individu seperti seorang ksatria pembagi kebahagiaan hidup – di manapun dan kapanpun. Di setiap hari raya itulah, seluruh ummat manusia seharusnya mendapatkan kebahagiaan yang saling melengkapi. Bukan hanya milik kelompok, atau perorangan, tetapi juga seluruh manusia pada umumnya. Karena kebahagiaan dan cinta, tidak terbatas ruang dan waktu, apalagi kelompok.
Kebahagiaan dan cinta tak mungkin ada, jika tidak didasari dengan kesucian hati. Seorang bayi akan menangis ketika sang ibu menjadi pelampiasan kemarahan si ayah. Seorang anak kecil mampu menghibur seseorang yang sedang sedih, meskipun ia sebenarnya tak tahu dengan kesedihan orang itu. Namun semua itu bisa terjadi karena cinta. Karena hati bayi, hati anak kecil yang masih suci, yang menjadikannya mudah merasakan apa yang dialami orang lain. Sebaliknya, kita rutin setiap tahun memperingati hari raya, entah itu natal (lahir) ataupun idul fitri (kembali suci), namun hati kita nyaris mati. Bukan hanya kita tak bisa merasakan pengalaman orang-orang yang menderita di saat itu, tetapi juga kita amnesia setelah hari ‘suci’ itu.
Bukan hanya hati kita yang masih kotor, tetapi juga sedikitpun tidak ada kemauan dalam diri kita untuk menyucikan diri. Hati kita tetap kotor, tindakan kita masih berujung kenikmatan pribadi, perbuatan kita hanya mencari untung individu, masih menjadi manusia malas. ‘Rasa’ kita nyaris mati, karena bukan hanya kita tak mau ‘hijrah’ menjadi manusia yang berada di jalan kesucian (setelah hari raya), tetapi juga masih kontinyu dalam perbuatan yang merugiakan orang lain. Atau paling tidak, kita masih bisa menyianyiakan waktu untuk bermalas-malasan. Tak mau menyapa orang lebih dulu, karena merasa lebih suci. Enggan memaafkan orang lain, sebelum mereka meminta maaf, juga menolak memberi salam pada orang lain lebih dulu. Justru ketika kita merasa suci-lah, sebenarnya hati kita dalam keadaan kotor, atau mungkin sekarat – berkarat. Bahkan Muhammad ibn Abdulloh-pun tak pernah merasa lebih suci, sekalipun pada pengemis tua yang membencinya. Ia yang telah dijamin surga, suka beristighfar seratus kali dalam sehari. Dan kita? Masihkah kita merasa telah suci dalam hari raya palsu itu?
Jumat 15 April 2011