Jadi Manusia Harus Mesra

Java Tivi
0
Seorang sahabat suatu saat bercanda, “Katanya janji mau menemani setiap saat, tapi kok ngilang nggak pernah menghubungi?” di sisi lain, ada beberapa teman perempuan saya yang lainnya. Saya tidak pernah janji pada siapa-pun – kecuali jika memang terpaksa, karena saya belum tahu mampu menepatinya atau tidak. Saya hanya sering mengatakan, ‘akan menemani teman yang kesepian’. Bukan sebuah janji, sebatas ungkapan kesetiaan seorang teman.

Tidak aneh jika banyak teman wanita saya yang menjauh ketika saya ‘bermesraan’ dengan wanita lain. Orang-orang yang sebelumnya akrab, tetapi ketika melihat saya asyik bercanda dengan banyak wanita, mereka menjauh. ‘Bermesraan’ bukan berarti ‘tindakan’ negative seperti yang sering kita pikirkan. Term ‘mesra’ sebenarnya memiliki makna yang suci. Hanya saja kita seringkali terbawa oleh opini umum yang menyimpulkan bahwa ‘bermesraan’, lebih ke arah tindakan – misalnya – berciuman atau pikiran berlebihan (lebay) kita lainnya. Termasuk kosakata ‘intim’. Kita memahaminya sebagai tindakan antara sepasang manusia yang sedang memadu asmara. Sekali lagi, kita terbawa oleh opini yang keliru. Saya tidak mengatakan itu salah, karena kita memang tak pernah mau disalahkan.

‘Mesra’ memiliki makna kata yang lebih suci dari apa yang kita bayangkan. Saya sering berpikir, bahwa manusia itu harus selalu mesra. Bukan hanya pada sesamanya, tetapi juga pada alam atau bahkan Tuhan. ‘Bermesraan’ dalam hal ini, seperti yang dijelaskan di atas, adalah satu tindakan yang menghubungkan hati kita dengan yang lain. Karena memang hati-lah yang mampu merasakan keadaan eksternal dari diri kita. Seorang Soekarno mampu ‘memeluk’ hati rakyat, karena ia ‘bermesraan’ dengan nurani rakyat. Seorang Soeharto mampu menarik simpati para prajurit bawahannya, karena memang ia ‘mesra’ dengan mereka. Bahkan seorang Hitler, dapat memperoleh hati dan jiwa raga pengikutnya, karena ia mampu ‘bermesraan’ dengan hati mereka. Tentu saja, ‘mesra’ mereka dalam bentuk yang berbeda.

Akan terjadi suatu musibah ketika rasa ‘mesra’ hilang di hati manusia. Seorang presiden akan kehilangan kepercayaan rakyatnya, jika ia tak lagi ‘mesra’ dalam melayani ‘tuannya’. Para anggota DPR akan mendapatkan jatah musibah dan bencananya masing-masing saat ‘kemesraan’ mereka pada rakyat, mulai luntur di hati yang terdalam. Seorang guru/dosen/pendidik akan kehilangan perhatian para siswanya ketika ‘kemesraan’ yang ia miliki hilang. Para remaja akan lari dari rumah, dari sekolah, jika mereka tidak mendapatkan ‘kemesraan’ lagi di tempat-tempat itu. Para pemuda akan lari dari tanggung jawab masa depannya, jika para orang tua tak lagi ‘mesra’ dalam membimbing mereka. Termasuk para ulama yang mulai memfokuskan diri pada materi dunia, menghilangkan ‘kemesraannya’ pada ummat, akan terjadi musibah sebagai akibatnya. Tentunya, ‘kemesraan’ setiap orang berbeda bentuknya di setiap waktu, tempat., atau bahkan situasi dan kondisi.

Apalagi sekedar pertemanan, persahabatan, atau saudara-saudara kita yang ‘belajar’ mencari jodoh. Jika kemesraan dalam artian kenyamanan dalam berkomunikasi itu hilang, akan kacau sebuah jalinan sosialitas. Jangankan seorang suami yang kehilangan ‘kemesraan’ pada sang istri – atau sebaliknya, sepasang pemuda yang menjalin persahabatan-pun akan bubar jika tak lagi ada ‘kemesraan’ di setiap pertemuannya. Dalam pergaulan laki-laki misalnya, jika ‘kemesraan’ dalam bentuk petualangan bersama – menjelajahi jalanan atau berkompetisi game misalnya, sudah tak pernah dilakukannya lagi, komunikasi antar mereka akan merenggang, atau bahkan putus.

Alasan itulah yang menjadikan saya belajar untuk selalu mesra pada siapapun. Bukan hanya pada manusia seumuran – apalagi lawan jenis, tetapi juga pada para jompo dan janda tua. Bukan karena saya maniak penggoda, bahkan dengan janda tua pun saya masih bisa ‘bermesraan’. Tetapi lebih pada dorongan hati untuk menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia yang mampu ‘bermesraan’ dengan siapapun, bahkan dengan orang-orang yang membenci. Pada Tuhan juga, ketika kita sujud tersungkur dalam sholat, sangat dianjurkan kita mengungkapkan kata-kata mesra pada Tuhan. Agar dosa dan kesalahan kita diampuni selama kehidupan ini.

Menjadi manusia yang tak pernah merasa suci, dengan keyakinan diri bahwa kita tak harus ‘mesra’ dengan siapapun. Mengalah pada yang sedang marah, tersenyum pada orang yang susah tersenyum, ataupun sekedar menyapa lebih dulu pada orang yang tak pernah menyapa kita. Menjadi manusia yang mengisi waktunya untuk mencari manusia-manusia yang letih jiwanya. Pada pak tua penjual kacang rebus, ibu-ibu penjual jamu, pak tua penjual pisang setandan, atau dengan anak-anak kecil yang semangat bernyanyi dari angkot satu ke angkot yang lain. ‘Kemesraan’ tak boleh hilang dari hati manusia, karena itu adalah ‘tali’ yang menyambung antar hati. Meskipun tetap saja, kita harus selalu belajar untuk menyambungkan ‘tali’ itu, seperti harus terus belajarnya kita pada kehidupan itu sendiri.

Kamis 14 April 2011
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)