Tepat pukul 2.30 pagi hari, saya sampai di tanah kelahiran setelah sekitar enam jam perjalanan dari negeri perantauan. Tetap tak bisa menutup mata hingga sekitar jam 07.00 pagi. Selain banyak ‘oleh-oleh’ yang saya bawa dari negeri ‘sana’, juga memikirkan sambutan bapak saya yang tengah ‘berkaki’ tiga.
Pukul 11.00 seorang rekan pensiunan bapak saya bertandang ke kediaman sederhana kami. Beliau juga ‘berkaki’ tiga, namun berbeda dengan alasan bapak saya ‘berkaki’ tiga – ditabrak mobil saat menyeberang di jalur Pantura, rekan bapak saya ini terkena Stroke di bagian kaki. “Iya wis, sama-sama kaki tiganya, ha ha ha...” ucap bapak saya menyambut sahabatnya itu. Dasar orang desa, masih bisa tertawa di atas derita yang dialaminya. Mereka sama sekali tak bisa beraktivitas seperti biasanya, namun sebatas silaturahim sih sekali-kali bisa. Sangat berbeda dengan fenomena sosial-budaya di perkotaan, kebanyakan manusia – yang katanya – modern bukannya menertawakan kemalangan sendiri, malah menertawakan kesusahan yang tengah menimpa orang lain. Susah melihat orang senang, dan sangat suka melihat orang lain kesusahan.
Serasa menjadi kebiasaan, bahwa apa yang saya lihat di pedesaan selalu membuat saya sadar dan tercerahkan. Sesaknya kepenatan yang saya bawa dari kota, selalu lenyap saat melihat senyum-senyum ramah dan lugu orang-orang desa. Beban pikiran dengan label ‘mahasiswa’ entah itu persiapan skripsi, keterbatasan dana, ketiadaan komputer, hingga hal-hal ‘sepele’ tentang moralitas saya sebagai seorang ‘mahasiswa’, seakan sejenak bersembunyi. Belajar mandiri memang selalu membuat orang harus memaksakan diri dan seringkali memaksakan kehendak hati. Pelajaran yang saya dapatkan di sekolah alam pun seolah mengisyaratkan bahwa saya tak boleh mengeluh, bahkan ke Tuhan sekalipun. Karena bagi saya mengeluh tidak akan mengubah keadaan seseorang. Hanya usaha keras dan daya tahan yang kuatlah yang akan mengubah kehidupan kita. Namun jika memang terpaksa harus mengeluh, hanya satu tempat untuk mencurahkan kekesalan itu. Yaitu ‘seseorang’ yang ada dalam diri saya. Seandainya bisa, saya ingin keluhan itu hanya ‘dia’ – seseorang dalam diri saya – yang mendengarnya, Tuhan jangan sampai mendengar keluhan ini. Saya akan sangat malu jika keluhan ini didengar-Nya. Mengapa? Tuhan menciptakan segala sesuatu setiap detik dan menjaganya, itu tanpa gengsi – sekalipun yang ia ciptakan adalah hewan-hewan kecil – dan rasa jenuh. Lantas apakah wajar manusia seperti saya lantas mengeluh ketika mendapatkan ‘tugas’ se-upil dalam kehidupan ini?
Apalagi ketika saya diperkenankan oleh-Nya untuk melihat ‘kecerobohan-kecerobohan’ orang-orang sekitar, membuat saya lebih giat belajar tentang kearifan dalam kehidupan.
Dulu saat bapak saya masih menjadi PNS – kelas datar, pernah suatu kali seorang tentangga mendatanginya. Ia mengajak bapak saya untuk bersilaturahim ke rumahnya, depan rumah kami. Singkat cerita, ternyata emak saya agak kesal dengan tindakan itu. “Wong mereka yang butuh, kok. Mosok kita yang harus mendatanginya? Mbok ya kalau mau pinjam duit tinggal ngomong saja, ndak usah malu-malu kalau dirinya miskin,” saya hanya bisa mengingatkan beliau, “Ya ndak apa-apa ta, Mak. Memberi saat ada orang minta kan bukan tindakan yang hebat. Tapi kalau memberi sebelum orang yang membutuhkan meminta, itu baru sebuah kenikmatan,” layaknya orang yang sudah pintar saya bicara seperti itu. Maksudnya, ketika orang yang membutuhkan pertolongan mendatangi kita, lantas kita membantunya, itu merupakan hal biasa. Namun jika kita sebagai orang yang mau membantu datang pada orang yang membutuhkan bantuan – sebelum ia meminta, itu baru sebuah rahmat Tuhan.
Apa yang dikatakan emak saya mungkin masih dalam kadar kewajaran, sebab dulu beliau pernah dianiaya oleh saudara-saudara keluarganya sendiri. Saat saya masih menjadi ‘preman’ kacangan terminal, ketika SMA, beliau sering merendahkan diri hanya untuk meminjam bebarapa ratus ribu untuk mengirim kakak-kakak saya yang kuliah di Polban dan STAIN Cirebon. Juga pernah pulang dengan air mata yang belum kering hanya karena untuk meminjam beberapa kilo beras untuk makan, yang sebelumnya beliau harus di’ceramahi’ panjang kali lebar sama dengan luas. Pelajaran yang sangat penting memang, bahwa tindakan merendahkan diri di hadapan manusia nampaknya tidak diperbolehkan oleh-Nya dalam keluarga saya. Namun memang terkadang kita berada pada posisi yang serba sulit, yang membuat kita seringkali gali-tutup lubang berkali-kali.
Kembali ke ‘kaki’ tiga. Berbeda ketika saya terkena ‘hadiah’ tabrak lari di Pantura semasa SMA. Saya ditabrak, sedetik setelah jatuh langsung bangun sendiri, menyeret sepeda mini ke pinggir jalan agar tidak mengganggu kendaraan lain oleh diri sendiri, bangun dan mengendarai sepeda kembali menuju rumah – tak jadi ke sekolah – layaknya tak terjadi apa-apa, meskipun dengan darah yang belum mengering di wajah dan kepala. Tanpa pertolongan orang, apalagi pertolongan orang yang menabrak. Begitu konyol. Namun – sedikit – untungnya, si penabrak kaki bapak saya mencoba bertanggung jawab meskipun sembari ‘nyekik’. Ia mau membantu, tapi ala kadarnya. Karena duitnya mau ia pakai buat menyervis mobilnya yang lecet-lecet terkena kaki ‘petani’ bapak saya. Termasuk servis perawatan bulanan dan tetek bengek permobilan sang penabrak. “Semua kehendak Alloh, jadi ya sampean kayak gini karena Alloh. Dan Alloh akan menggantinya, ha ha ha,” kata sang pemilik mobil. “Memangnya yang memberikan nasi di atas piring, Alloh? Langsung memberi dari langit?! Sampean bisa tertawa seperti itu, lha suami saya kesakitan di bawah ketawa sampean!” kesal emak saya. Begitulah kebanyakan orang-orang yang ‘merasa’ telah kaya. Berceloteh macam-macam, padahal saat itu adalah kesempatan yang diberikan-Nya untuk sedikit berbagi. Sebaliknya, emak dan bapak saya tak perlu menunggu menabrak orang untuk senantiasa membagi sedikit materi yang mereka miliki.
Dasar orang desa, bapak saya dengan mudahnya melupakan itu. Bercanda ria meskipun sekali-kali meringis kesakitan di bagian kakinya yang patah tulang. Begini ini karakter orang-orang desa yang ‘menyebalkan’ yang harus saya pelajari terus-menerus. Wong jelas-jelas kita disakiti orang, kok. Eh malah dengan gampangnya melupakan begitu saja. Mudah menganggap lalu perbuatan jelek orang, juga melupakan kebaikan yang telah diperbuatnya sendiri pada orang lain. Mudah meminta maaf saat khilaf, juga gampang memberikan maaf pada orang yang telah menyakitinya. Ah, benar-benar susah menjadi orang tua desa.
Sabtu 23 Oktober 2010, ing panggonanku Tegal.