Tuhan memang egois. Ia menghadiahkan cinta pada manusia hanya untuk mencintai diri-Nya sendiri. Aku mulai mengerti ini ketika SMP kelas dua. Ingatan ini, asumsi itu, aku dapatkan karena kecenderunganku suka mengamati kisah asmara antara laki-laki dan perempuan di sekolah. Sangat naïf memang, anak SMP sudah berani, bukan bermain api asmara, tapi mulai memikirkan hal-hal yang belum pantas. Jelas belum pantas. Bisikan apa yang menjadikan seorang anak yang baru berumur 14 tahun, sudah berpikir ke arah sana – Cinta Tuhan hanya untuk diri-Nya sendiri?
Sepertinya aku sudah terlambat untuk membicarakan ini. Masa-masa remajaku tidak aku pakai untuk mencoba memprakteki apa yang dinamakan dengan asmara. Meskipun sebenarnya bukan hanya tawaran, pemberian kasih sayang atas nama cinta bukan hanya sekali dua kali menghampiri. Tapi dasar orang aneh, aku lebih tertarik menjadi peneliti. Terkadang aku memang membayangkan, aku layaknya seorang anak yang memasuki gerbang taman permen. Anak-anak lain bisa menikmati permen, bahkan ada yang tertinggal di taman itu, ada yang – karena tak suka manis – melewati gerbang itu begitu saja tanpa menikmati, sedangkan aku hanya menikmati dengan cara ilmiah, yaitu menelitinya. Mengidentifikasi dan menganalisis sebab-sebab yang menjadikan anak-anak itu melakukan tindakan-tindakan seperti itu.
Keinginan jelas ada. Keinginan untuk seperti orang lain – saat itu. Bergantinya waktu, aku tahu – meskipun mungkin belum sadar – bahwa aku lain dengan mereka. Memiliki perbedaan jiwa juga peran dalam kehidupan masing-masing. Kelebihannya, mungkin menjadi tabib cinta monyet yang sok bisa mengobati perasaan para sahabat ketika terluka karena cinta – yang sebenarnya tertipu oleh diri sendiri. Satu kelebihan di antara kelemahan-kelemahan yang menggunung.
Sering kali aku mempersatukan jiwa-jiwa yang sebenarnya hampir putus. Juga tak jarang aku menyarankan sepasang jiwa yang lagi dimabuk asmara, agar bisa menjaga jarak. Dua-duanya sukses.
Tahap demi tahap keinginan telah aku lalui. Mulai keinginan untuk memiliki materi mati, hingga materi bergerak. Aku tidak pernah menganggap perempuan sebagai materi, sebatas materi yang hampir sama dengan benda mati. Aku hanya merasa, karena mungkin terlalu aktif mengamati, tak bisa menyakiti perempuan. Bahkan bukan hanya perempuan, menyakiti apapun aku tak bisa. Ada sisi-sisi yang sakit ketika aku menyakiti orang lain atau apapun itu.
Seperti misalnya saat ini. Aku menyukai seorang wanita yang sungguh aku tak bisa memahaminya. Apa yang telah aku lakukan, ternyata selalu menyakiti perasaannya – tanpa aku sadari. Seorang wanita yang santun dan tahu adab, namun aku tak bisa mengerti dirinya. Seorang gadis yang patuh pada orang tua, namun aku selalu mencoba untuk merusak itu. Aku baru paham itu setelah melihat-nya langsung. Pada akhirnya aku harus menjauh darinya. Ini bukan masalah pantas atau tak pantas. Selain aku tak mau menganggapnya layaknya pakaian – benda mati, juga aku lebih tertarik memilikinya dalam imajinasiku saja.
Atas kini telah kujadikan bawah
Logika ku buat terbalik
Impian telah kuterbangkan di atas awan
Frustasi itu ku ubah menjadi prestasi
Andaikan aku seorang Puntadewa
Hastina pura akan ku jadikan singgasana kita
Indahnya mentari di pagi hari
Nuri yang menyanyi sunyi mengiringi
Dan sejuknya hembusan lembut angin sepoi
Akan menjadi satu tanda cinta
Luhurnya belaian kasih sang alam
Itu tak seberapa!
Karena ada yang lebih indah darinya
Apakah kau menyadari itu?
Ruhku tak berdaya
O, sang pemabuk sukma
Zuhud bukanlah jalan hidupku
Aku hanya pemuda yang terlalu lelah
Karena hilangnya harapan akan cinta
Akankah ini abadi?
Laksana cintaku padanya?
Jujur aku tak bisa mengelak
Aku sangat membutuhkannya
Wujudku ini mati setengah tanpanya
Itu kenyataan, sungguh, percayalah!
Aku menulis puisi ini untuknya. Namanya aku abadikan dalam setiap bait puisi itu. Ah, cinta lokal memang seringkali menyakitkan. Mimpi manusia untuk merampas cinta dari Pemiliknya, tidak akan pernah terwujud. Entahlah, aku juga tak tahu apa arti cinta. Apa definisi cinta. Apa alat ukur yang pasti seseorang telah jatuh cinta. Mengapa aku bisa jatuh cinta. Apa benar itu cinta. Sangat membingungkan, hingga Kong fu tze konon memiliki ribuan buku reflektif kontemplatif tentang cinta. Sangat menyebalkan memang. Ia yang tak bisa didefinisikan, tak bisa ditebak, tak bisa dirasionalkan, tak masuk akal, gaib, berhubungan dengan kejiwaan, tapi bisa membuat orang yang mati menjadi hidup, begitupun sebaliknya.
Seandainya aku sekuasa Julius Caesar yang membuktikan besarnya cinta di hati pada Cleopatra, dengan luasnya sebagian wilayah Mesir yang ia mas kawin-kan padanya. Kalau saja aku sekuat Napoleon, yang dengan gigihnya membuat 7500 lembar surat cinta untuk wanita terkasih, Josephine Bouharnies. Dan aku pun tidak mungkin bisa seperti Raja Syah Jahan yang mengabadikan cintanya pada Mumtaz Mahal dengan istana Taj Mahalnya. Itu tidak mungkin. Dan aku tidak mau.
Aku hanya ingin menjadi diri sendiri. Yang selalu berkisah tentang cinta pada angin. Bercanda tentang asmara pada langit dan awan yang berarak di langit. Menyembunyikan rasa sayang yang tak mungkin itu cinta, di dalam kabut yang datang di malam hari. Sembari terus belajar dan berperan dalam kotak sejarah Ken Arok dan Ken Dedes. Merenungi apa yang telah terjadi pada Romeo dan Juliet. Menafakuri dengan apa yang aku saksikan dalam serial drama kehidupan Laila Majnun. Juga menginsyafi kisah-kisah lokal semacam Rama-Shinta, juga Dewi Anjani dan Sang Hyang Girinata yang meneteskan sperma-nya pada mulut Anjani, yang pada akhirnya berbuah Hanoman.
Sekedar cinta lokal yang bersahaja. Tidak boleh berlebihan, pun tak mau kekurangan. Ucapan maaf akan aku katakan saat aku bertemu dengannya nanti. Karena telah menyakiti perasaannya, sebagai wanita kekasih Tuhan. Setelah itu, karena aku yakin ia pun sangat mengizinkan, aku akan bersembunyi dalam riuhnya hembusan angin, agar tak terlihat olehnya lagi. Sembari selalu menaikan doa penuh cinta, agar ia selalu bahagia.
Nampaknya memang pengecut. Tapi itulah yang aku inginkan. Sebatas membuktikan bahwa aku juga pemuda normal yang memiliki hasrat suka-menyukai. Pun tak ingin menutup-tutupi apa yang seharusnya aku buka. Perasaan itu tak mungkin aku sembunyikan selamanya.
Pada akhirnya, aku harus menyerahkan semua cinta itu pada Sang Pemiliknya. Manusia bisa apa ketika kekuatan yang lebih kuat dari luar dirinya telah berkata lain? Apa yang kita lihat di depan mata, bisa saja hanya cerminan kebenaran yang ada di belakang kita. Mata hanya instrument. Ia tak bisa melihat kebenaran, apalagi tentang cinta. Kita bisa mengatakan, bahwa kita membutuhkan cinta. Apa benar? Jangan-jangan bukan kebutuhan, melainkan keinginan. Manusia akan semakin letih jika dalam kehidupannya terlalu mengejar apa yang diinginkan. Lagipula, alam tak pernah memberi kita dengan tulus, segala apa yang kita inginkan. Ia selalu memberi apa yang kita butuhkan.
Bumi akan selalu di terangi sinar matahari selama setengah hari – 12 jam di satu sisi, meskipun kita ingin ia bersinar lebih atau kurang dari itu. Malam yang mendung tidak akan terlihat bintang, meskipun kita menginginkan malam-malam berkabut kita, dihiasi oleh mereka. Air akan selalu mengalir ke bawah – secara alami, meskipun kita sekuat tenaga menginginkan ia mengganti hukumnya, ke atas. Air apapun itu, pasti akan membasahi apa yang ia kenai, sekalipun kita menginkan sebaliknya. Burung akan selalu berkicau, tak mungkin mengeong. Ayam akan selalu berkokok tak mungkin mengembik. Semua diatur berdasarkan kebutuhan.
Keinginan seringkali membuat kita tersesat. Apa yang kita lihat, seringkali bukan yang sebenarnya. Keinginan seringkali tak membawa manusia pada apa yang dimimpikan. Entah itu rasa suka, rindu, kasih, sayang, ataupun cinta, aku tak pernah tahu. Keinginan kita akan cinta yang bertimbal balik, di satu waktu hanya akan menjadikan hati kita lelah. Ketika hati selalu diperbudak oleh keinginan kita, yang seringkali tak didasari logika, hati akan memberontak. Selain ia mungkin akan bunuh diri, ia juga akan mengundang satu hukum balas dendam karena ketidakadilan kita selalu mengutamakan apa yang kita inginkan.
Rasanya cukup, aku menyukainya dalam istana fantasiku saja. Minimal, secara nyata aku tak menyakitinya lagi.
Selasa 14 Desember 2010
Kali Ini Aku Hanya Ingin Bicara Tentang Cinta Lokal (Antara Laki-laki dan Perempuan)
April 15, 2011
0
Tags