Cerita ini dari seorang teman yang barusaja mudik ke kampungnya, (sebut saja namanya Slamet) lebaran tahun lalu. Lama tak jumpa dengan keluarga, ternyata sudah punya bisnis baru, bisnis penjualan bambu. Usut di usut, ternyata bambu yang yang bertumpuk-tumpuk itu dibawa dengan bantuan dua kerbau dengan gerobak yang dilengkapi puluhan bambu tertumpuk rapi.
Sambil menunggu pemindahan bambu dari gerobak ke tempat penjualan, ia “mengobrol” dengan salah satu kerbau yang sedang menikmati rumput yang disediakan oleh pak Tani. Tampak beberapa lalat yang menggerubuti badan kerbau.
Slamet : (Berbisik) “Kenapa kerbau mau diperlakukan seperti ini yah?” sambil menatap kerbau.
Kerbau : (Sambil mengunyah rumput) “Heh, emang kenapa? Aku bisa mendapatkan makan dan minum secara gratis tanpa harus susah-susah mencari, layaknya manusia yang saling menipu hanya untuk mendapat sesuap nasi apalagi eksistensi.”
Slamet : (Berbisik) “Wah, kok bisa tahu yah?”
Kerbau : “Gue gitchu Loh...”
Slamet : “Uupss...”
Kerbau : “Emang ada yang salah dengan seekor Kerbau?”
Slamet : “Eh Bo, apakah engkau tidak pernah merasakan sakit ketika majikanmu memecutmu dengan cemetinya?
Kerbau : “Sakit? Ah, nggak... Biasa aja.”
Sejenak Slamet merenung, “Oh, iya yah, binatang kan nggak punya akal, apalagi hati. Ia tak akan merasa kesakitan atau bahkan senang dengan keadaannya.”
Slamet : “Apakah tidak ada keinginan, kau terlepas dari belenggu ini? Dipecut terus-terusan, berjalan jauh dengan membawa beban berat di atasmu, hidungmu juga di’cocok’ seperti itu, tidak adakah keinginan untuk memberontak?”
Kerbau : “Memberontak? Nggak ah...” “Apakah aku harus lari ketika majikanku memecut tubuh ini? Kalaupun aku lari, mungkinkah ada majikan yang baik seperti majikanku sekarang? Aku harus protes ke siapa ketika setumpuk beban berat diletakan di atasku? Tuhan?
Slamet : “Yah benar, kau bisa meminta pertolongan ke Tuhanmu. Bukankah Tuhan maha penyayang, kau tidak perlu takut akan kekurangan makanan. Bukankah seekor cecak makanannya nyamuk? Padahal, cecak tak bisa terbang. Bebanmu terlalu berat, Bo!”
Kerbau : “Beban berat? Aku tidak pernah merasa berat, lagipula majikanku memberi makan dan minum setiap hari.
Slamet : “Bukannya yang diberikan majikanmu itu kurang dari cukup? Pagi-pagi kau harus membajak sawah, siangnya kau harus mengantar bambu-bambu pesanan sebanyak itu. Ini nggak adil, Bo!”
Kerbau : “Lho, niatku kan baik. Aku ingin selalu membantu manusia.”
Slamet : “Membantu manusia? Kau masih bisa mengatakan ‘membantu manusia’? Perlakuan manusia terhadapmu keterlaluan, tapi mengapa kau masih bisa berkata ‘membantu manusia’?”
Kerbau : “Kau kan manusia, punya akal dan hati, kenapa kau tidak memikirkan jawabannya sendiri?”
Slamet : “Aku tidak tahu, kau termasuk yang bodoh atau yang ikhlas, tapi setidaknya ketika kau memang ikhlas, sekali-kali kau harus berontak ke majikanmu, kau juga kan makhluk hidup, tidak sepantasnya manusia menyiksamu dengan seenaknya sendiri.”
Kerbau : “Udahlah, lagipula aku tidak sepertimu, manusia yang tak pernah merasa cukup. Apalagi bersyukur kepada Tuhanmu, perkataan orangtua saja kau pasti sering melanggarnya.”
Slamet : (Tertunduk) “Baiklah, mulai hari ini aku akan selalu mematuhi perkataan orangtuaku. Punyakah engkau sebuah nasehat untukku?”
Kerbau : “Ssst... aku bocorkan satu rahasia, tapi kau harus janji tidak memberi tahu siapa-siapa?”
Slamet : “Siiip...”
Kerbau : “Sebernya, aku diciptakan Tuhan dengan banyak tujuan, tapi yang harus kau ingat dan paham, cukup dua saja. Pertama, sebodoh-bodohnya seekor kerbau pasti diciptakan untuk menyembah dan mengingat-Nya. Kedua, aku ditugaskan Tuhan untuk memberikan pelajaran kepada manusia, entah itu dalam ketaatanku terhadap manusia ataupun kebebasan seperti burung yang bebas terbang di atasku, walaupun pada kenyataannya sedikit manusia yang tahu.”
Slamet : “Oo...(berbisik di hati) kenapa aku diajari oleh seekor kerbau? Aku kan lebih pintar daripada dia?”
Kerbau : “Tapi ingat, sifat sombong selalu mengintai orang-orang yang mulai mengerti akan kehidupan. Kau juga harus selalu mengingat pepatah dari tempat dinasku, bahwa Padi itu, semakin berisi semakin merunduk.”
Slamet : (Merenung sejenak)... “Kau benar, kadang manusia memang harus belajar banyak dari sesamanya (makhluk hidup).”
Sambil menghitung jumlah bambu yang sudah diletakan ke tempat penjualan, ia tak henti-hentinya berfikir tentang nasihat-nasihat tadi. Ia bertanya pada diri sendiri, “Sebenarnya, aku ini siapa? Pantaskah aku untuk menyombongkan diri sekalipun dihadapan seekor kerbau? Sedangkan mengangkat satu batang bambu pun aku tak kuasa. Apa kata orang yah, ketika ada manusia yang bodoh, sekaligus egois terhadap dirinya sendiri, tetapi ia tak sadar akan kebodohan dan keegoisan yang ia miliki?”