Ketika Ici (si Kelinci) dan si Hary (Harimau) tengah bermain kejar-kejaran, bermain petak umpet. (Maklum, di Kerajaan Hutan Nduwur telah tercipta puncaknya kedamaian dan keamanan yang sempurna) tak sengaja Ici melihat gundukan tanah yang nampaknya sebuah makam tua di Hutan Nduwur. Tapi, kenapa di pohon yang tumbuh di samping gundukan tanah itu, ada bendera merah putih? Kuburan siapa sebenarnya ini? Kelinci penasaran.
“Oii.. Ry! Kesini cepat, ada yang aku temukan,” teriak Kelinci.
“HaUum! Kena kau!” Harimau menyergap kelinci dengan tangan yang memegangi kepala kelinci.
“Ehh.. udah! Nih liat, ada kuburan sama bendera Merah Putih. Kau tau nggak, ini kuburan siapa?” Tanya kelinci.
“Emmf.. “ harimau mengusap-usap dagunya.
“Siapa yah?” kelinci mencoba mengingat-ingat memori cerita di otaknya tentang kisah-kisah sejarah di Hutan Nduwur ini.
“Aha! Aku baru ingat, ini kuburan Mbah Togog, sang penasehat pendiri Kerajaan Hutan Nduwur ini!” girang kelinci mengetahui kuburan siapa yang ada di depannya.
“Oh, yang selalu jadi panutan rakyat itu, ya?” Tanya harimau. Maklum, ia masih kerabat kerajaan, jadi ia cukup paham dengan sejarah kerajaannya.
“Kasihan ya, dia. Selalu memberi peringatan ke raja biar rakyat selalu sejahtera, tapi raja jarang sekali mendengarnya,” sedih harimau.
“iya, padahal peringatan-peringatannya dulu, berarti banget. Lihat saja buktinya sekarang, setelah bapak kamu naik dan menerapkan nasehat Mbah Togog, kedamaian dan kesejahteraan dimana-mana,” tambah kelinci.
Mereka berdua memutar semua memori yang ada di otak mereka (disini mereka punya otak cerdas, loh!) tentang kebaikan-kebaikan Mbah Togog. Sosok yang konon katanya dari kahyangan berbentuk merpati putih, untuk membantu menciptakan kesetaraan dan kesejahteraan rakyat Hutan Nduwur. Setelah mbah Togog wafat, kerajaan dilanda perang saudara, penghinaan binatang terhadap binatang lain, pelanggaran hak asasi binatang dan pembodohan rakyat yang tersistematis terjadi saat itu. Ini semua, karena raja hutan tak mau mendengarkan nasehat dari mbah Togog. Ia malah menuduhnya iri dengan kekuasaan dan menginginkan menjadi raja di Hutan Nduwur. Padahal, ia berkali-kali telah mengatakan sebelumnya kalau dia lebih bahagia berada di tengah-tengah rakyat, bukan sebagai raja.
Cerita ini mereka (kelinci dan harimau) dapatkan dari kakek dan nenek buyut mereka. Betapa menderitanya mbah Togog yang selalu ingin berbuat baik ke semua orang, eh, binatang maksudnya. Akhirnya ia meninggal di tempat kesayangannya. Sebuah rumah kecil di atas pohon, tempat dimana ia sering merenung dan menerima tamu (binatang lain) untuk berkeluh kesah kepadanya.
“Paduka, jikalau rakyat Hutan Nduwur ini tidak paduka bebaskan dalam mencari ilmu, suatu saat mereka akan mengamuk, dan kerajaan ini akan semakin parah keadaannya. Layaknya bisul yang semakin membesar, kalau tidak segera diobati akan bertambah besar dan menyakitkan, yang pada akhirnya akan pecah. Paduka adalah suri tauladan untuk rakyat, jikalau paduka tak bisa menjadi penyambung lidah rakyat, paduka akan repot sendiri. Bukankah kita semua sama? Harkat dan martabat kebinatangan kita sama dihadapan Tuhan. Paduka tak bolah menindas mereka, meskipun padukalah penguasa di kerajaan ini. Mereka lebih suka sosok yang bisa memimpin, bukan sosok yang hanya bisa berkuasa…” begitulah kata-kata terakhir yang para sesepuh desa mereka (kelinci dan harimau) ingat dari mbah Togog. Kisah binatang yang kebaikannya tak pernah diperhatikan binatang lain.
“Ci, kayaknya alam sudah mengatur ini deh. Kalau aku jadi raja nanti, kamu jangan berhenti mengingatkan aku ya?” ucap harimau. “Diusahakan..” jawab Kelinci.
Ketika menjadi pemimpin, belajarlah untuk mendengarkan.
Ketika menjadi rakyat, belajarlah untuk berbicara