Hari ini, jam sembilan pagi sudah berada di jalanan, menemani seorang sahabat yang ingin berbelanja. Seorang pemuda semata wayang. Aku pernah membayangkan jika suatu saat nanti aku telah tiada di kota ini, siapakah yang akan menjadi teman yang mau memahami – kelabilannya? Sekali belanja sekitar 600-an ribu keluar. Aku tak bisa melarangnya, toh itu akan menjadi konsekuensi dirinya sendiri. Boros? Mungkin itulah yang menjadikan kehidupannya nyaman. Meskipun di sisi lain, secara umum dia orang yang baik, dan sedang belajar mengalahkan kelabilannya. Menjadi pemuda dewasa yang mendiri dalam kehidupannya. Ia dekat denganku, karena ia berharap mampu seperti aku – yang menurutnya sudah bisa mandiri.
Satu ketakutan tersendiri ketika aku melihatnya – di masa depan, tanpa ada orang yang mampu memotivasinya. Kami mahasiswa tua – semester delapan, sudah seharusnya mulai memikirkan skripsi, dan kehidupan masyarakat tempat kita mengabdi kelak. Walaupun, nampaknya ia memang belum bisa menyadari itu. Menjadi pribadi yang sendiri, bekerja menjadi pelayan masyarakat. Jika dahulu ia yang selalu meminta pemahaman dari orang lain, maka kelak ia yang harus bisa memahami orang lain, masyarakat. Sangat terlihat ia belum mampu berpikir ke sana. Saat ku tanya, “Cobalah, bikin proposal skripsi. Aku bantu, mumpung aku masih di sini,” ia nampak mendengarkan. “September depan, aku praktek ngajar, kemungkinan akan jarang ke kampus. Desember udah persiapan sidang skripsi, dan Februari 2012 aku udah ada di kota kelahiranku, menunggu wisuda April 2012. Cobalah berpikir ke sana,” namun seperti biasa, ia mulai bermimpi hal-hal yang membuatnya menjauh dari realita.
Setiap manusia harus selalu belajar. Tidak terbatas ruang dan waktu. Kapan dan di mana saja kita harus selalu belajar. Bukan hanya di dalam kelas, tetapi juga di alam raya. Setiap waktu, kita bukanlah diri kita yang sama. Kita telah berbeda. Dan perbedaan diri kita itulah, yang membawa kita pada ujian kehidupan selanjutnya. Jika kita mengharapkan diri kita yang sama, maka kita akan kesulitan jika mendapatkan masalah yang baru dalam kehidupan ini. Saat kita menjadi mahasiswa tingkat awal, kita belajar bagaimana menjadi pemuda yang antusias memegang idealisme. Saat memasuki tingkat pertengahan, meskipun idealism tetap tak boleh hilang, kita harus mulai memikirkan tugas akhir. Dan terakhir, tidak ada pilihan lain jika kita memang berpikir ke arah masa depan. Kita harus menjadi manusia seutuhnya, yang tak terbatasi oleh label ‘mahasiswa’. Sudah seharusnya kita mulai memikirkan masyarakat, mulai dari masyarakat terkecil – keluarga, hingga ke bangsa. Itu, jika kita tak mau menjadi mahasiswa abadi, yang justru mempermalukan keluarga.
Jalm 12, ke fakultas bahasa. Ada seorang kakak tingkat yang ingin bercerita tentang sebuah mimpinya. Membutuhkan teman sekedar untuk mencari solusi permasalahan yang telah dihadapinya. Berkali-kali, ia mimpi bertemu seorang lelaki yang mendekati dirinya. Ia merasa khawatir, karena ia sudah memiliki seorang suami. Kami berbicara mulai dari mimpi. Pembagian mimpi yang sekedar scenario – jahil – otak kita (saat mimpi sekitar jam 7-1 malam), hingga mimpi yang bisa merupakan ‘ilham’ (sekitar jam 1-5 pagi). Namun yang membuatnya semakin resah adalah isi mimpi itu sendiri. Ia takut dirinya akan tergoda oleh laki-laki lain.
Pukul setengah dua, ada seorang adik dari jurusan akuntansi. Ia ingin berdiskusi tentang karya ilmiah yang akan ia ikuti. Seorang sosok aktivis muda yang penuh semangat, namun belum terarahkan. Seorang perempuan muslimah yang mencoba menjadi pribadi yang tangguh. Aku tidak bicara banyak, karena suatu karya ilmiah berangkat dari keresahan sang penulis. Aku bukan tipikal seorang kakak yang begitu saja ‘menyuapi’ orang yang masih ‘hijau’ dalam pengalaman hidup. Tidak ada prinsip seperti itu dalam hidupku. Setiap orang harus berpikir mandiri. Harus berani berpikir berbeda, berpikir bebas, berpikir dalam. Aku hanyalah sebagai teman yang akan mengiringi siapa saja yang ingin ditemani. Tanpa perintah, tanpa pemberian timbal balik.
Di belakang tempat duduk kami, ada beberapa orang lain yang sedang berdiskusi/rapat. Mereka menggunakan hijab (pembatas). Aku sempat bergurau tentang itu padanya. Karena aku tahu, ia juga aktivis rohis di kampus aneh ini. bukan apa-apa, semua itu adat (bukan budaya!) arab. Bukan budaya Islam. Berbicara dengan memalingkan/menundukan wajah, itu akan menyulitkan kita saat terjun di masyarakat kelak. Bahkan ada yang mengatakan itu tidak sopan. Jika memang kita mau menjaga hati, bukankah kita adalah makhluk Tuhan? Mengapa hanya ketika di masjid saja kita mengingat Tuhan? Sudah seharusnya kita juga mengingat-Nya di manapun dan kapanpun. Termasuk saat berbicara dengan lawan jenis. Jika hanya Tuhan yang kita ingat, mungkinkah hati kita akan kotor hanya karena berbicara dengan lawan jenis? Namun sekali lagi, aku tak pernah memaksa siapapun, atau bahkan apapun. Biarkan semuanya mengalir, berjalan dengan konsekuensi masing-masing.
Aku tak pernah tahu di masa depan akan menjadi apa. Ada yang bilang, bahwa kehidupan muda kita adalah prototype kehidupan kita di masa depan. Jika di masa muda aku telah menjadi pelayan orang-orang kesepian, mungkinkah di masa depan akan sama halnya? Entahlah. Aku akhirnya tersadar, bahwa kehidupanku sepenuhnya adalah milik-Nya. Aku diberikan jasad untuk bisa menapaki jalan-Nya di dunia ini. Dianugerahi ruh, untuk bisa ‘berkomunikasi’ dengan-Nya. Dihadiahi akal untuk menafsirkan dan mencari solusi dalam kehidupan ini. diberikan hati, untuk merasakan semua sensasi dalam kehidupan ini. dan disertai dengan naluri/insting untuk menandai bahwa kita adalah manusia yang bisa salah dan lupa. Karena sepenuhnya, aku milik-Nya.
Rabu, 20 April 2011