Suatu saat, ada seorang laki-laki yang berkunjung di sebuah desa di daerah pelosok negeri. Desa yang nyaris kehilangan masa depan itu, nampaknya sedang diuji dengan kekeringan yang memilukan. Sudah hampir tiga tahun desa tersebut tidak turun hujan. Jangankan hujan, rintik hujan atau bahkan gerimispun tidak. Sebelum pemuda itu sampai pada gubuk tua yang dihuni sepasang kakek-nenek yang telah ditinggal anaknya – pergi ke kota karena ketiadaan harapan di desa, sepanjang jalan yang ia temui adalah : sekumpulan pemuda yang tidur-tiduran dan bermain kartu di pos ronda, jalanan yang kotor, dan surau (masjid) yang menjadi sarang laba-laba. Awalnya ia hanya sekilas bertanya-tanya pada orang-orang yang ia temui di jalan, namun ketika mendapatkan cerita dari kakek-nenek itu, ia mulai mengerti. Para pamong praja sudah tak memikirkan warganya, para ustadz hanya datang ketika ada amplop dan undangan – tidak seperti yang dicontohkan Rasul berkeliling desa dan pasar, juga para pemudanya lari dari masjid dan keluarga. “Mungkin karena itulah kami diuji seperti ini,” cerita sang kakek.
Malam hari menjelang tidur beralaskan tikar, pemuda itu memandangi langit-langit gubuk itu – berpikir. “Apa yang seharusnya aku lakukan terhadap desa ini? Pasti ada solusi untuk mengakhiri kekeringan seperti ini,” pikir sang pemuda.
Pagi hari, ia mulai membantu sang kakek bekerja di ladang – hanya menanam jagung beberapa meter lahan. Menjelang siang, ia mulai melakukan pendekatan pada para warga. Mulai dari para pemuda yang asyik berkumpul di pos ronda. Satu persatu ia akrabi. Saling mengenal lebih dekat, dan mencoba menjadi pendengar yang baik – meskipun yang dibicarakannya hanya hal-hal sepele. Setelah sekitar tiga jam ia bercengkerama dengan para pemuda desa, mencari kelemahan mereka untuk ia jadikan kesempatan, ia berkunjung pada beberapa ustadz desa itu. Berbeda dengan pembicaraan bersama para pemuda desa – menjadi pendengar yang baik, dihadapan para ustadz ia mencoba melontarkan pertanyaan-pertanyaan remeh tentang agama. Tentu saja, seorang pemuda yang berpetualang, mau memikirkan permasalahan orang lain, mana mungkin pemahaman agamanya rendah?
Ia bertanya seputar sentuhan antara pria dan wanita yang non mahrom (muhrim), tentang pacaran, juga tentang sekolah pesantren para ustadz tersebut. Ia paham, seorang ustadz yang ‘sedikit’ lalai, akan sangat senang ketika ada orang ‘bodoh’ yang mau diceramahi panjang lebar olehnya. Setelah ia mengira sudah mendapatkan hati para ustadz tersebut, sore hari ia mulai silaturahim pada para pamong praja.
Di rumah-rumah para pamong praja, ia mulai melancarkan triknya. Mencoba memancingn dengan mimpi-mimpi mereka tentang sebuah desa, bahkan bangsa yang ideal. Ia juga paham, bahwa para pamong praja memiliki kecenderungan untuk berbicara tinggi tentang masa depan. Dari kesempatan itulah, ia mulai mengambil hati mereka. Selepas berkeliling desa untuk mencari ‘pintu keluar’ permasalahan desa itu, ia pulang ke gubuk sang kakek. Ia sholat di gubuk itu bersama sepasang kakek-nenek tersebut.
Pagi harinya, ia mulai mengeluarkan salah satu kreativitasnya, membuat layang-layang. Desa yang nyaris habis penduduknya itu, membuat daya kreasi penduduknya berkurang. Awalnya tidak ada yang tertarik untuk mendatangi sang pemuda dengan kesibukannya itu. Namun ketika layang-layang telah dimainkan, bergoyang ke sana- ke mari di langit luas, para pemuda desa mulai sadar. Ada kegiatan yang sepertinya lebih mengasyikan daripada tidur atau main kartu di pos ronda. Di saat itulah, sang pemuda mulai memberikan kesempatan pada para pemuda desa untuk memainkan layang-layang itu. Tentu saja, mereka gagal untuk memainkannya, karena memerlukan latihan agar mahir menerbangkan layang-layang. Saat mereka asyik berlatih, sang pemuda berucap, “Bagaimana kalau kalian ikut bersamaku membuat layang-layang, dan menjualnya di kota? Hasilnya, untuk kalian sendiri,” kata sang pemuda. Beberapa orang setuju, namun sebagian nampaknya enggan.
Pagi hari sekitar pukul delapan, sang pemuda mulai memotong bambu dengan ukuran yang pas untuk dijadikan beberapa layang-layang. Mungkin baru sebuah awal, hanya satu dua orang saja yang mau mendekatinya untuk belajar membuat layang-layang itu. Dari dua pemuda desa itulah, sang pemuda mulai memahami lebih jauh tentang seluk beluk desa itu.
Hari berganti minggu, dan minggu berpindah menjadi bulan. Semakin hari sang pemuda semakin dekat dengan penduduk desa dari kegiatannya yang menyenangkan itu. Dengan kedekatan inilah, sang pemuda mulai meluaskan gerakannya. Ia mulai dengan membersihkan surau yang sudah dikeroyok laba-laba. Kali ini bukan hanya dua tiga orang, namun hampir sepuluh orang membantunya dalam merapikan surau tersebut. Sebagian besar mereka memang tak tahu dan mungkin tak mau tahu dengan niat sang pemuda. Yang mereka paham adalah, mereka hanya ingin selalu berdekatan dengan sang pemuda yang menyenangkan itu.
Setelah ia memperbaiki surau, menyervis mikropon dan toa surau itu – ia memiliki sedikit ketrampilan elektronika, ia mulai membersihkan selokan yang sudah mengering tertimbun oleh dedaunan. Kali inipun ia sama, beberapa pemuda membantunya, meskipun tidak sedikit juga yang mencemooh mereka. “Orang gila, penduduk sendiri saja tak mau melakukan hal percuma seperti itu, kok dia mau?” kata beberapa orang. “Ia kira akan datang hujan yang sudah menjadi mimpi di siang bolong, membersihkan selokan seperti itu,” kata sebagian yang lain.
Terkadang ia main ke rumah para ustadz, dan bertanya tentang sikap Nabi yang memuliakan masjid (surau). Yang pada akhirnya, berujung pada kesimpulan, “Bukankah dengan tampil di masyarakat, pamor ustadz akan semakin dikenal orang?” dari kesimpulan inilah, beberapa ustadz terangsang untuk menemaninya sholat di surau kecil itu. Setiap datang waktu sholat, sang pemuda mengumandangkan adzan, yang menjadikan seluruh penduduk desa tersentak. ‘Suara siapakah itu,” “Suara dari manakah itu? Begitu indah,” kata para penduduk yang mendengarkan adzannya.
Akhirnya, para pemuda yang awalnya ramai berkumpul di pos-pos ronda untuk bermain kartu, kini mulai banyak yang meramaikan surau dengan suara pengajian. Begitupun dengan dua ustadz yang dekat dengan sang pemuda, mereka silih berganti menjadi imam surau.
Dari kesinambungan perubahan karakter masyarakat desa itu, langit kian mengubah bentuknya. Hari-hari biasanya, jangankan mendung, awan teduhpun tak pernah terlihat. Nampaknya sang pemuda telah melihat solusi dari permasalahan masyarakat desa itu.
Selain layang-layang, sang pemuda juga melatih para pemuda lainnya untuk menyervis alat-alat elektronik. Meskipun hanya satu dua orang yang akhirnya mahir, mereka mampu mendapatkan pekerjaan tetap di kota. Mulai berangkat pagi dan pulang sore dengan membawa sekantong keresek oleh-oleh dari kota. Pos ronda yang dulu ramai dipenuhi oleh kemalasan, kini telah berganti fungsi kembali – menjadi pos keamanan.
Para pemuda desa seakan telah menemukan semangatnya kembali, para ustadz sepertinya telah mendapatkan pencerahan yang dulu hilang, juga sedikit demi sedikit, para pamong praja mulai berkeliling desa – menanyakan kabar warga. Sekitar satu bulan aktivitas masyarakat berjalan lancar, membalikan sejarah yang kelam. Tanpa disadari oleh warga, sang pemuda mulai meninggalkan desa itu. Ia berpamitan pada kakek-nenek yang menemaninya selama sekitar tiga bulan. Seminggu telah terlewati selepas kepergian sang pemuda. Satu persatu warga mulai menanyakan kabar sang pemuda yang sampai saat itu belum mereka kenal benar. Namun apa daya, sang pemuda telah jauh melanjutkan perjalanannya.
Hari jumat datang, surau yang tadinya tak dipakai untuk sholat jumat, kini telah memenuhi syarat. Selepas sholat jumat itu, keajaiban mulai muncul di desa itu. Bukan hanya langit yang teduh dan angin yang segar menyelimuti desa, tetapi juga rintik hujan mulai turun. Sadar akan hal ini, satu pemuda di shaf pertama mendadak tersungkur sujud syukur. Melihat itu, semua jamaah sholat jumat surau itupun sujud syukur, berterima kasih dengan keajaiban yang telah mereka dapatkan kembali. Sang ustadz berdoa menangis, diiringi tangisan para jamaah di belakangnya. Dalam doanya, para pamong praja mulai tersadarkan diri dengan ulahnya selama ini.
Kini, Sawah-sawah mulai terisi air. Begitupun aliran air di selokan, mengalir seakan gembira dengan keadaan itu. Rumput hijau mulai menutupi pekarangan pedesaan. Sawah mulai terdengar kembali suarau cangkul, suara sapi, juga mesin traktor. Jalan-jalan mulai dirapikan dengan komando langsung dari para pamong praja. Kini desa itu sedikitpun tak nampak gelagat kemalasan dan kemurungan. Orang-orang desa yang dulu lari ke kota, kini telah kembali. Karena di kotapun ternyata mereka hanya menjadi gelandangan dan pengemis. Termasuk anak semata wayang kakek-nenek pemilik gubuk tempat singgah sang pemuda. Ia kembali dengan senyum cerah dan tangisan. Kini desa itu menjadi salah satu desa termaju di daerah pelosok itu. Namun sampai saat itu, siapa sosok sang pemuda tak pernah mereka pahami. Tentu saja, pemuda tersebut bukanlah malaikat.