Hari ini (28/10/2010) selain memperingati kependekaran para pemuda Indonesia – Sugondho Djoyopuspito Cs, mengenang pengkhianatan pemuda masa kini dari sejarah bangsanya, juga – katanya – Mr. Presiden bertolak menuju Mentawai yang baru saja di piwarang tsunami. Konon katanya 300-an orang hilang ditelan bulat-bulat oleh si tsunami. Itu ndak bikin tsunami muntah ya menelan sekaligus?
Seakan akhir tahun adalah saatnya Indonesia mendapatkan jatah ‘hiburan’ dari alam. Lho, kok dari alam? Semua ini ya dari Tuhan, ta? Wuaduh, sa’enak’e dewek mengatakan ‘hiburan’ ini dari Tuhan. Memang iya Tuhan menghendaki adanya ‘hiburan-hiburan’ itu, tapi fenomena alam ini murni proses dialektika tangan-tangan jahil dan otak-otak perusak manusia. Sedangkan Tuhan berada di atas semua itu, jauh tak terjangkau, dekat tak tersentuh. Eits! Tunggu dulu. Sudah jelas-jelas ini adalah ujian dari-Nya, atau azab dari-nya, kok disebut ‘hiburan’ sih?
Ya bagaimana lagi, wong rakyat Indonesia sekitar sepuluh bulan ini terlalu serius, kok. Memikirkan pencaplokan wilayah Indonesia oleh negara – nakal – tetangga, kerusuhan di berbagai daerah, pendidikan yang ndak masuk di akal, masalah hukum yang remang-remang, hingga masalah ‘sepele’ kesejarahan semisal kemiskinan dan kelaparan. Untungnya Alloh Maha Baik Hati dan tidak sombong. Jadi ya dikirimlah ‘hiburan’ ini sekedar sebagai penyejuk jiwa. Biar manusia-manusia Indonesia sejenak ngaso dari memikirkan tuan-tuan dewan yang lucu hingga rekayasa konspirasi melipat hukum dalam undang-undang dan pasal-pasal. Manusia Indonesia itu kuat-kuat, dijajah – katanya – 350 tahun saja masih bisa bertahan, je. Jadi oleh Yang Maha Kuasa ndak dikasih cobaan atau ujian. Lha cobaan atau ujian dikasih ke manusia kan biar jadi kuat, kalau manusianya sudah kuat, ya ndak usah dikasih cobaan atau ujian lagi, ta? Makanya dikasihlah sebuah ‘hiburan’, karena ini Republik Dagelan!
Di azab berapa kali juga kita ndak akan sadar. Karena kesadaran bisa aktif ketika alam bawah sadar telah aktif. Untuk mengaktifkan alam bawah sadar – agar kita sadar, ya harus dalam keadaan rileks, santai, kalem beibeh. Untuk itulah Tuhan memberi ‘hiburan-hiburan’ ini agar manusia Indonesia bisa rileks, lalu diharapkan bisa sadar. Tapi kalau belum sadar juga, ya berarti harus ada frekuensi yang lebih intens dan besar untuk menghadirkan ‘hiburan-hiburan’ itu.
Wa au haa Rabbuka illan Nahl... Dan Tuhanmu mengilhamkan pada lebah untuk membuat rumah-rumahnya. Kita terkadang lucu, kitab suci terus kita baca, tapi tanpa kita pelajari. Pada lebah saja Tuhan berfirman, menyampaikan, menasehati, kok. Apalagi ke manusia? Lebah, dari spesies binatang, yang katanya derajatnya lebih rendah dari manusia, sekali firman ia langsung tunduk. Lha manusia? Yang dihadiahi akal dan hati, naluri dan nurani, logika dan intuisi, butuh berapa kali kah kita untuk diingatkan? Kemarin banjir bandang di Wasior Papua, nyaris ndak ada mahasiswa-mahasiswa yang peduli. Hanya mahasiswa dari papua yang lari-lari menjemput sedekah kita. Padahal mereka sebagian besar adalah orang-orang yang tak mengenal konsep sedekah, infak, apalagi zakat. Katanya kita negara kesatuan, lho kok saudara sendiri terkena musibah kita ndak ada empati sedikitpun? Bukankah yang namanya kesatuan – persaudaraan – bagaikan tubuh, yang ketika jempol kaki terkilir, mulut meng-aduh, mata menangis, kepala juga turut pusing? Betapa lucunya diri kita ini. Lha hidup di Republik Dagelan ndak lucu ya ndak pantes, ta?
Jakarta seakan menjadi langganan air yang ngiring ngalangkung setiap tahunnya, agar manusia-manusia modern yang terlalu sibuk dengan mengejar dunia, sejenak eling dan waspodo. Lalu Merapi yang dari tahun-tahun lalu, sebenarnya ndak tahan dengan tingkah lucu para manusia Indonesia. Akhirnya ia batuk agak parah, dan ndak ada rumah sakit yang bisa merujuknya. Lalu diiringi oleh mbak Tsunami di Mentawai. Belum cukupkah ‘hiburan-hiburan’ ini? Masihkah kita belum sadar bahwa kita ini manusia, yang harus menjaga bumi layaknya kita menjaga diri kita sendiri? Berapa kali alam ini harus memaksakan menyiksa diri hanya untuk mengingatkan manusia yang tidak lebih cerdas dari lebah?
Dengan mudahnya kita mengatakan ‘kasihan’ pada saudara kita yang tertimpa bencana. Padahal, jika kita cerdas, seharusnya kita tidak menganggap mereka – saudara kita – layaknya kucing yang tertabrak mobil. Hanya bisa mengucapkan term ‘kasihan’ yang sedikitpun tak cocok disematkan pada manusia. Lha ‘kasihan’ ya cocoknya hanya untuk hayyawan dan tumbuhan yang disiksa oleh kita. Hamster sakit, kita bilang, “Kasihan ya,” kucing kesayangan sakit, “Kasihan ya,”. Mosok dikasih ke manusia juga? “Kasihan ya korban Merapi dan Mentawai...” bukan kasihan, tapi ‘Sayang’. Padahal Tuhan setiap detik mengajarkan tentang kasih dan sayang, tentang Cinta. Namun seakan kita terkena amnesia raya secara kolektiv. Dengan mudah kita melupakan begitu saja.
Ucapan, “Astaghfirullahal’adzim, ya Rabbi...” keluar dari mulut kakak saya, seketika saat saya membawa jasad kucing yang terlindas sebuah mobil malam minggu kemarin. Detik itu ia mencari pacul dan menggali tanah depan rumah untuk mengubur kucing itu, padahal malam hari, gelapnya malam tak mengurungkan niatnya untuk terus menggali. Hari ini pun sama, ia mengingatkan pada adik-adiknya agar selalu eling dan waspodo, jangan sampai kita hanya berucap bela sungkawa saja, minimal mendoakannya. Apalagi tertawa di atas penderitaan mereka, dengan sikap acuh dari pemberitaan bencana negeri ini.
Jujur saja, kita memang terkadang lucunya ndak ketulungan. Ada perempuan kepleset gara-gara pakai sepatu hak ketinggian, kita menertawakannya, bukan malah menolongnya. Tapi ketika ia berjalan melewati kita, mulut kita seakan terangsang untuk menggodanya. Kita benar-benar aktor profesional dalam skenario Republik Dagelan ini. Mungkin kelucuan ini warisan dari ‘orang tua’ kita ya yang duduk di legislatif dan eksekutif. Jadi bisanya cuma meratapi nasif (maksain dikit, maksutnya nasib) tanpa upaya serius untuk mengubahnya.
Salah satu ‘maskot’ Merapi adalah adanya sosok Mbah Maridjan. Ia meninggal tertutup abu dari Merapi yang selalu ia jaga. Saya yakin ia tidak sedikitpun takut pada ‘Mak Lampir’ sosok penunggu Merapi yang muak dengan peran kita dalam Republik Dagelan ini. Si Mbah mangkat dengan posisi sujud, meminta ampun pada ilahi Rabbi atas kelancangan para aktor yang bermain ndak fair di Republik ini. Mengapa dia yang harus meminta ampun? Wong jelas banget manusia-manusia – yang katanya – modern di bangsa ini ndak banyak yang hobi menginstropeksi diri. Meminta ampun atas kesalahannya sendiri. Lho kok mbah roso ini mau-maunya mengorbankan nyawa untuk manusia-manusia lucu – termasuk saya – di negeri ini?
Mbok ya di peringatan sumpah pemuda ini kita – para pemuda – sekali-kali merenung, menafakkuri apa yang terjadi. Baik dalam kehidupan pribadi ataupun kehidupan negeri. Mosok kita yang masih banyak memiliki waktu luang, ndak bisa sejenak merenungi fenomena-fenomena itu? Mbok ya pacarannya jangan ke Mall dan bioskop terus, sekali-kali ajaklah belahan jiwa untuk berkunjung ke tempat-tempat yang menjernihkan hati, ngaso sebentar dari tempat nyepi. Me-re-wash hati dan pikiran kita. Karena memang sudah sewajarnya kita ndak menyia-nyiakan pemberian akal dan hati ini. Meskipun proses ‘melihat lebih dalam’ tentang kehidupan ini cukup berat, tapi ya ndak apa-apa sekali-kali dicoba. Afala yatafakkarun...afala ta’qilun... hanya untuk orang-orang berpikir, hanya untuk orang-orang berakal dunia dan kehidupan ini.
Kita sering latah dan salah kaprah, sih. Dunia yang jelas-jelas hanya sekedar Dagelan, banyolan, senda gurau, kita anggap sebagai hal yang harus diseriusi. Lha sebaliknya, ayat-ayat Tuhan baik yang ada di kitab ataupun berserakan di alam ndak pernah kita seriusi, bagaimana seh? Kapan kita mengenal-Nya kalau ndak pernah belajar dari ayat-ayat-Nya?
Apalagi kita yang sehari-hari belajar dari masa lalu – sejarah, mosok kita ndak mau belajar dari apa yang setiap hari kita pelajari? Atau jangan-jangan benar kata Kuntowijoyo, “Berpikir dengan akal sehat terkadang menyesatkan!” hingga kita meninggalkan akal sehat sepenuhnya dan berdagelan ria di atas penderitaan rakyat Merapi dan Mentawai. Ah, lucu nemen yakin sung, negeriku ini...
Kamis 28 Oktober 2010, mengenang Sumpah Pemuda & Bencana Merapi, Mentawai