“Suami saya hanya seorang kuli petani desa, bayarannya hanya 15 ribu/ harinya. Bagaimana mungkin saya bisa membayar biaya pendaftaran sebesar itu dalam waktu singkat?” keluh seorang ibu sekitar 2-3 bulan yang lalu. Ia datang dari pelosok Jawa Tengah ke kampus megah ini untuk mengharap belas kasih dari siapapun yang akan membantunya. “Itu salah satu profil salah satu orang tua mahasiswa kampus ini,” kata seorang rekan mantan ketua UPM (Unit Pers Mahasiswa) sekitar satu bulan lalu.
Saya tidak akan membicarakan tentang hak-hak asasi manusia (mahasiswa), pengentasan kebodohan, apalagi tentang kapitalisasi pendidikan. Toh, kemungkinan besar saudara tidak paham dengan momok-momok menyebalkan itu. Dan sangat mungkin, saudara tidak peduli terhadap permasalahan-permasalahan kesejarahan itu.
Untungnya, saya hanyalah mahasiswa biasa. Bukan seorang aktivis, apalagi organisatoris, namun sebatas mahasiswa ‘kecil’ yang selalu diunderestimatekan. Jadi tenang saja, apapun yang saya lakukan untuk mengubah keadaan, sangat mungkin diacuhkan oleh semua orang dan dianggap sebagai angin lalu. Jadi tak perlu khawatir dengan orang yang bisanya hanya bicara, menulis, tanpa karya nyata – misalnya mengospek MARU sedemikian rupa di tempat nun jauh dari kampus dengan euforia lepasnya status siswa SMA.
Lantas apa hubungannya dengan cerita di awal paragraf? Dalam pemikiran mahasiswa awam seperti saya, ada dua jenis mahasiswa di kampus. Pertama adalah mahasiswa Asli, sejati, sempurna, dan ideal. Kedua adalah mahasiswa Palsu, tak jelas jenis kelaminnya, dan tidak ada kemauan menuju kesempurnaan. Mahasiswa ‘Asli’ adalah para agent of change dalam segala bidang. Entah itu pendidikan, budaya, sosial, termasuk politik. Mahasiswa Asli akan selalu belajar untuk menjadi peluru-peluru yang akan menghancurkan sisi-sisi kebobrokan kehidupan tersebut. Sedangkan mahasiswa Palsu adalah mereka yang tak tahu dan tak mau tahu dengan status kemahasiswaannya, menikmati maqom mahasiswa dengan percuma, menghabiskan ‘rupiah’ orang tua dengan sia-sia, menyepelekan kuliah, dan hanya bisa ngoceh pada adik kelas yang baru bisa ‘angguk-angguk dan geleng-geleng’ terhadap ucapan kakak kelasnya – omong kosong senioritas-yunioritas! Lalu apa hubungannya dengan mahasiswa yang tak mampu membayar biaya pendaftaran ngampus di sini? Toh, mereka belum tentu satu jurusan dengan kami?
Itu! Apa yang diajarkan – mayoritas – para ‘generasi tua’ pada generasi muda di kampus ini adalah omong kosong! Membutakan realitas yang ada di sekitar mereka, dengan alasan ‘kaderisasi’ yang tak masuk akal. Membodohi dan ‘membudayakan’ kebohongan akan kenyataan pada mahasiswa baru. Apakah ketika seseorang mengalami kecelakaan parah, lantas kita tanya, “Saudara orang mana? Suku apa? laki-laki atau perempuan? Agamanya apa? bangsa Indonesia bukan? Atau, anda manusia bukan?” dan akan kita bantu saat jawaban yang ia berikan sesuai dengan harapan kita? Para ‘generasi tua’ tak bisa menunjukan pada generasi mudanya tentang realitas kehidupan. Menyaksikan mereka-mereka yang dibodohi, dimiskinkan, para gelandangan, para pengemis (mengemis kok ke manusia?), para pengamen anak-anak, bahkan para wanita pinggir jalan yang hanya untuk mengganjal perut mereka harus menjual diri. Apakah selalu seperti ini nasib MARU, siap mendapat ‘penggemblengan’ yang nyaris membutakan hati dan logikanya?
Dan saudara bisa melihat, ribuan sarjana yang ‘bebas’ dari kampus, mayoritas mereka hanya menjadi penambah daftar pengagguran dan ‘sampah’ negeri. Karena memang saat menjadi mahasiswa, kita menjadi mahasiswa Palsu. Tak bisa memikirkan dan mencari solusi berbagai problem dunia dan kehidupan – meskipun dari lingkup terkecil, dan tak bisa menunjukan karya nyata – selain skripsi – yang bisa menjadi modal ketika mengabdi pada masyarakat yang sesungguhnya. Sekali lagi, mayoritas. Semoga saja saudara bukan termasuk dalam kategori mayoritas itu.
Saudara bisa mengelak, “Mengapa saya harus memikirkan mereka – MARU, membimbing – dengan kontinyuitas – mereka dalam orientasi konkret? Hidup-hidup saya, mengapa saya harus mementingkan mereka?”
Baik. Mungkin saya yang terlalu awam tentang keorganisasian. Sekarang mohon kasih orang awam ini sebuah pencerahan tentang apatisnya saudara terhadap generasi muda. Apakah saudara kuliah dengan biaya sendiri? Baju yang saudara pakai – dari mulai pemungutan kapok hingga pakaian jadi – dibuat oleh saudara sendiri? Hidup ini memang hidup saudara sendiri, namun apakah saudara akan mengubur sendiri saat saudara menjadi mayat? Dengan enaknya saudara mengatakan hidup ini untuk anda sendiri, jelas-jelas mahasiswa palsu! Sungguh tak lucu!
Dalam tulisan ini, saya berikan judul ‘Satu Geranat Untukmu I’, karena selain akan ada tulisan yang sama ke depannya, ditangan mahasiswa lah – para pemuda, masa depan bangsa digenggam. Di tangan kita, bung! Para manusia yang merasa bangga dengan sebutan ‘kaum intelektual’, agent of change, dan jargon-jargon topeng menipu lainnya. Terserah mau kita apa-kan ‘Geranat’ ini. Akan kita lempar pada gerombolan pasukan kebodohan. Atau sebaliknya, kita lepas – dari genggaman – ‘Tugas’ sebagai agen pengubah, dengan tetap menggeggam ‘Geranat’ itu setelah pemicunya terlepas – telah menjadi sarjana?
Kamis 15 Oktober 2010, Indekost batur.