Bulan Agustus lalu, ada sebuah himpunan salah satu jurusan yang menyelenggarakan perlombaan menulis cerpen – salah satunya – tingkat kampus. Ketika pertama kali saya melihat selebaran yang mereka tempel di tembok-tembok rumah orang, naluri saya mengatakan, “Ini sebuah kesempatan!” satu kesempatan untuk menunjukan eksistensi saya sebagai penulis amatir. Namun setelah saya renungkan kembali, mosok saya sudah membuat dua buku, masih menjadi peserta lomba sih? Akhirnya, dengan inisiatif dan tekad bulat, saya hadiahkan saja dua buku saya – novel fantasi dan buku ilmiah – untuk siapapun pemenangnya. Dan saya tak jadi ikut perlombaan itu. Bukan berarti saya sombong, dengan mengira kemenangan telah ditangan karena – sedikit – kemampuan saya dalam menulis. Bukan. Melainkan saya sangat menghargai orang-orang yang ingin berkarya lewat tulisan. Apa buktinya? Ketika salah satu panitia menawarkan ‘imbalan’ untuk saya dengan ucapan, “Terus, kita akan buat kesepakatan atau perjanjian kerjasama nih, dari hadiah dua buku anda?” saya jawab, “Tidak ada kesepakatan. Tak perlu perjanjian. Saya hanya ingin memberikan penghargaan pada mereka yang mau berkarya nyata!” sampai sekarang, saya tak pernah menghubungi mereka lagi. Padahal, jika saya memiliki pamrih politis, saya bisa meminta mereka untuk masuk menjadi anggota forum penulisan saya, minimal perwakilan dari himpunan mereka. Sekali lagi, saya hanya ingin memberi!
Di lain waktu, seorang sahabat menyerbu saya dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa saya tidak ikut demo dengan kelompoknya – seorang aktivis kampus – sebagai salah satu bukti ‘karya nyata’ mahasiswa. Bukan berarti saya tak mau ikut demonstrasi, hanya saja saya sangat dislike pada suatu tindakan yang tidak ada tindak lanjut ke depannya secara kontinyu. Meskipun, bukan berarti saya tidak pernah ikut demo – kecuali demo masak, karena saya sedikitpun tak bisa memasak - dengan aksi turun ke jalan. Yah, meskipun tak sebanyak sahabat saya itu, paling tidak saya pernah menjadi kordinator aksi sebuah longmarch yang paginya aksi itu dimuat di halaman terdepan salah satu media cetak lokal – termasuk serbuan sekitar tujuh wartawan yang ingin mewawancarai. Sangat jelas, ‘medan’ itu bukan wilayah saya, bukan fokus saya.
Setiap manusia hidup dengan menggenggam ‘tugas’ kehidupan. Siapapun itu. Entah ia miskin-kaya, cantik-jelek, pejabat-rakyat, semua ‘menggendong’ sebuah ‘tugas’ kehidupan yang harus dikerjakan secara berkesinambungan. Bahkan bukan hanya manusia, semua yang ada di alam ini membawa ‘tugas’ hidup masing-masing. Semut bertugas membawa persediaan makanan, saling salam dan sapa ketika bertemu rekan, tetap bekerja dan berdzikir tak mengenal tidur hingga ia mati. Matahari bertugas terbit dari ufuk timur dan tenggelam di barat. Tikus sawah bertugas menggasak padi para petani yang tak mau menyisihkan panennya sebagai zakat pada yang membutuhkan. Izroil bertugas mencabut nyawa secara paksa para pengkhianat ‘amanah’-Nya, entah ia Presiden, Pejabat, juga orang-orang melarat. Termasuk saya yang – mungkin – ditugaskan untuk menyampaikan apa yang memang harus disampaikan lewat tulisan. Meskipun saya sadar, tulisan saya kadang masih kacau, tidak fokus, ‘liberal’, sa’enak’e dewek, juga kadang tak jelas. Namun dari tulisan-tulisan semu saya itulah saya bisa mengevaluasi apa yang saya tulis.
Mungkin benar, kendala pengetikan sangat membatasi gerak saya, tapi bukan berarti itu menghentikan ‘tugas kecil’ ini. Saya menulis bukan karena suka, hobi, atau bahkan karena pesanan, melainkan ada yang memang harus saya sampaikan lewat tulisan. Entah itu kesenjangan sosial, ‘humor’ politik, masalah filosofis manusia, masalah egosentrisme banyak orang, hingga ‘gelitikan’ untuk para orang-orang bijak. Bahkan, jika dihitung-hitung, lebih banyak tulisan yang saya buat atas dasar ketidaksukaan saya pada menulis itu sendiri. Kejenuhan dalam kontinyuitas ‘menyampaikan’ pentingnya berkarya pada sesama. Bukan hanya dalam keadaan suka, senang, gembira saja saya menulis. Justru inspirasi akan sangat berjejalan masuk ke otak ketika saya tengah tertekan – stress. Hingga sakit pun bukan menjadi alasan saya untuk berhenti berbagi ilmu, saling mengingatkan, saling menyampaikan dalam kebaikan dan kebenaran, lewat coretan sederhana saya. Meskipun seakan tidak ada perubahan yang saya buat dari hal ‘sepele’ itu.
Di waktu yang lain, seorang adik kelas bertanya, “Mengapa anda tidak setuju dengan kebijakan yang kami – organisasinya – buat?” permasalahan setuju atau tidak setuju adalah hal wajar dalam demokrasi – terlepas keraguan saya pada demokrasi. “Sebelumnya, kita harus pastikan kita bukanlah siapa-siapa. Bukan orang yang memiliki pengaruh dalam mengambil suatu kebijakan. Karena jika saudara adalah orang yang berpengaruh, saya khawatir saudara akan terpengaruh oleh saya, yang nantinya bisa mengubah kebijakan yang telah saudara putuskan,” tanya-jawab singkat ini terjadi saat saya tidak setuju dengan apa yang akan dilakukan organisasinya – saya termasuk kader (murtad?) organisasi itu. Dalam hal politik, memang wajar pengaruh-mempengaruhi. Namun saya tidak mau menjadikan manusia lain sebagai ‘kerbau yang dicocok hidungnya’ oleh manusia lain. Saya hanya ingin menganggap dan memperlakukan manusia sesuai dengan kemanusiaan seutuhnya – meskipun masih jauh dari sempurna. Ada jargon terkenal yang diajarkan oleh dosen-dosen saya, bahwa, “Tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik. Yang abadi hanyalah kepentingan,” pantas peradaban manusia semakin hancur, yang dipikirkan – seringkali – kepentingan pribadi atau kelompok saja, bukan kepentingan kemanusiaan secara umum. Tidak ada rasa memanusiakan dalam benak para ‘politikus’ yang menganut mazhab itu. Dan ketika ada seseorang yang ingin selalu memanusiakan manusia, termasuk dalam ‘wilayah’ politik, orang tersebut akan tersingkirkan – dan nyaris terasingkan.
Saya pernah mendiskusikan ini dengan salah seorang rekan di kios buku. Perdebatan tentang kepentingan dalam berpolitik. “Bahkan Rasululloh pun mengutamakan kepentingan dalam manuver politiknya,” iya, Rasululloh. Lha kita? Baca al qur’an saja belum tentu khatam tiap bulannya, bawa-bawanya rasul. Nampaknya rasul akan malu jika mengetahui ummatnya menyalah artikan kepentingan yang ia lakukan pada zamannya. “Kalau itu jelas, Cak Nun memiliki mazhab yang berbeda dalam berpolitik. Dan ia sadar dengan konsekwensi yang akan ia dapatkan, berupa pengucilan dan pengasingan dari dunia luar,” kata seorang rekan yang sama saat saya mengambil contoh salah satu mantan tokoh ICMI, Emha Ainun Nadjib, sebagai prototype orang yang tidak menganut mazhab yang dosen saya sampaikan.
Sebagai seorang manusia, seharusnya sadar akan ruang dan waktu yang ‘mengikatnya’. Peribahasa kuna mengatakan ‘Mikul Dhuwur, Mendem Jero’. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menghargai semua makhluk hidup, termasuk mengharumkan nama baik keluarga – lembaga, organisasi, komunitas – sebagai tempat pendidikan sejati kita. Juga mengubur dalam-dalam segala egosentrisme pribadi atau kelompok, memendam segala hasrat kebinatangan yang masih ada di dalam diri, juga ‘memakamkan’ segala kejelekan-kejelekan orang – keluarga, lembaga, atau apapun itu – sebagai pembelajaran untuk kita. Menganggap sedikit kebaikan yang kita berikan pada orang lain, dan menganggap banyak apapun kebaikan yang orang lakukan pada kita. Bukan malah terbalik, orang yang selalu baik kita jelek-jelekan hingga ia ragu, apakah kebaikan yang dulu ia lakukan merupakan sebuah kejelekan di matanya?