Secret Admirer (Cerpen)

Java Tivi
0
“Baiklah…,” ucap Izy. Ia tengah berbincang dengan Ifah – seorang gadis yang ia sukai dari awal masuk sekolahnya. Cowok dengan tubuh jauh dari ideal itu, berdiri santai bersandar pada dinding teras rumahnya. Ia menyukai Ifah dari pandangan pertama saat MOS– masa orientasi siswa – SMA. Malam minggu yang dingin itu, seakan menjadi teman akrabnya. Tidak ada angin, tidak ada suara jangkrik, yang ada hanyalah kilatan-kilatan petir di langit, menandakan mungkin akan turun hujan.
Sesekali ia duduk di kursi bundar yang tersusun rapi di teras rumahnya. Seolah, ia gugup dengan suara lembut yang ia dengarkan lewat wahana eletronika tanpa kabel itu. Hawa dingin yang mendekap, tak dihiraukannya. Ia hanya fokus pada gadis yang ia sukai selama hampir tiga tahun bersekolah di SMA-nya. Mungkin karena ia ingin menjaga perasaan Ifah, ia tak pernah membicarakan secercah cinta yang ada di hatinya. Awalnya ia mengelak, perasaan yang ada dalam dirinya adalah sebuah cinta. Ia bersikeras bahwa yang ia rasakan hanyalah sebatas suka. Meskipun pada akhirnya, ia harus mengakui bahwa apa yang ada dalam hatinya adalah sebuah rasa ; cinta.

“Entar kita bahas ini ya? Tapi nanti. Aku akan menghargai kehidupan pribadi kamu, kalau kamu juga menghargai masalah pribadiku. Sekarang aku mau fokus dulu pada ujian nasional,” lirih suara perempuan dari mobile phone Izy. Mungkin karena Ifah masih terdaftar sebagai siswi Rohis sekolah, ia mencoba untuk menjaga perasaannya dengan lawan jenis. Atau mungkin, memang sebuah kesalahan tidak mengungkapan perasaan hati pada seseorang yang disukainya. Yang menjadikan tidak ada chemistry yang terjadi antara mereka.

“Bentar bentar. Jangan salah paham dulu. Bagiku, kamu tahu ada seseorang yang menyukaimu saja sudah cukup. Seorang ksatria nggak pantas bersanding dengan seorang putri. Ia hanya seorang pengawal yang harus menjaga kenyamanan tuan putrinya. Seorang pengawal yang menjaganya berjalan menuju seorang pangeran,” balas Izy.

Mereka berdua satu angkatan, namun beda kelas. Ifah yang cukup pintar dalam mata pelajaran eksak, masuk ke kelas unggulan. Izy yang hanya memiliki kecerdasan rata-rata, masuk di kelas para berandalan. Namun bukan berarti ia juga berandal. Terbukti ia aktif dalam ekskul Mading. Rajin menulis artikel resume pelajaran sekolah, cerpen, resume novel, atau sekedar puisi. Dari cerpen dan puisi yang ia buat itulah, Ifah menyadari ada seseorang yang menyukainya. Sangat disayangkan, Ifah belum pernah melihat Izy secara langsung. Atau lebih tepatnya, ia telah lupa dengan seorang teman satu kelompoknya saat MOS tiga tahun lalu. Ifah belum pernah melihat Izy lagi, karena selain ia sibuk di Rohis, juga aktif mengadakan penelitian-penelitian biologi di laboratorium sekolah. Ia juga beberapa kali mengharumkan nama sekolah dengan memenangkan perlombaan cerdas cermat tingkat kota. Selain cerdas, ia juga berpenampilan santun, layaknya seorang muslimah sejati.

Berbeda dengan Izy. Meskipun tulisannya sering dimuat dalam majalah remaja, ia memiliki tingkat kecuekan super. Sangat pemalu, bahkan tak mau difoto oleh siapapun, kecuali oleh dirinya sendiri. Penampilannya memang acak-acakan seperti teman-teman sekelasnya, namun ia memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan rekan sekelasnya. Mudah bergaul, namun memiliki filter saat kawan-kawannya berniat melakukan kenakalan di sekolahnya.

Di sekolah, Izy lebih sering bermain di pojok-pojok sekolah dengan beberapa temannya. Menyendiri di toilet sekedar untuk mencari inspirasi. Mungkin ia terinspirasi dari para sastrawan terkenal sekelas Kahlil Gibran atau Emha Ainun Nadjib yang mendapatkan inspirasi saat mereka rileks. Perbedaan kelas dan kesibukan itulah yang menjadikan mereka berdua tak pernah bertemu kembali setelah tiga tahun berlalu. Ia mendapatkan nomor Ifah dari teman sekelasnya yang aktif juga di Ekskul Mading. Tapi Izy sengaja menyuruhnya agar merahasiakan permintaannya itu. Dan Ifah mulai mengenal Izy secara maya, selain dari sms dan telepon, juga dari cerpen buatannya yang sering menggunakan namanya sebagai tokoh utama dalam cerpennya.

Ia rela menjadi secret admirer. Selain demi menjaga perasaan Ifah sebagai anak Rohis, ia juga tak mau menyakiti hatinya jika ternyata ia telah memiliki kekasih hati. Ia tak pernah mengajak Ifah untuk saling bertemu. Begitupun sebaliknya, Ifah tak mungkin mengajak Izy untuk saling bertemu. Ia takut ada ‘fitnah’. Ia takut menjadi gosip di sekolah. “Mana mungkin anak Rohis pacaran?” pernah terbesit kata-kata itu dihatinya.

Berbeda dengan apa yang dipikirkan Izy. Ia tak pernah berpikiran untuk berpacaran dengan Ifah. Ia hanya sebatas mengagumi. Mungkin mencintainya, tapi tak berani untuk mengungkapkan dihadapan Ifah. “Cukuplah, ia menjadi seorang putri di hatiku,”

Apa yang ia katakan bukan tanpa logika. Mungkin usianya memang baru beranjak dewasa, namun apa yang ia baca sungguh di luar kebiasaan siswa-siswa sekolah menengah. Buku-buku karangan para sastrawan ternama sebagian besar ia telah membacanya. Mulai dari Kong Fu Tse, Sun Tzu, Shakespiere, Dante, hingga Kahlil Gibran dan para penulis lokal Indonesia yang berkelas internasional. Ia juga belajar banyak tentang cinta. Baik dari pengalaman-pengalaman sekitar, juga dari kisah-kisah dalam sejarah. Ia belajar dari Napoleon Bonaparte sang singa daratan Eropa, yang telah repot-repot menuliskan 7500 surat cinta untuk kekasih hati, Josephine Bouharnies. Juga dari kisah Taj Mahal, pengabadian cerita cinta antara Raja Syah Jahan pada Mumtaz Mahal. Tak ketinggalan ia membaca kisah tunduknya Julius Caesar pada dekapan Cleopatra. Bukan hanya itu, ia juga telah mengambil pelajaran berharga dari kisah-kisah seperti Laila Majnun, Romeo dan Juliet, Rama dan Shinta, Ken Arok dan Ken Dedes, juga kisah Dewi Anjani dengan Sang Hyang Girinata. Ia belajar tentang cinta individu dan personal dari kisah-kisah abadi itu.

Sebagai penyeimbang, ia juga membaca tentang cinta individu dan kolektif. Cinta yang lebih besar kasih sayangnya dari cinta lokal individu. Ia belajar dari Isa atau Yesus tentang Agape – cinta tak terputus dan tanpa timbal balik. Ia juga belajar dari Muhammad Saw, yang mengajarkan tentang Mahabbah Ilallah yang dibuktikan dengan cinta pada seluruh alam. Ia belajar tentang cinta dari Gandhi, Gautama, juga Dalai Lama. Dari pembelajaran tentang cinta individu dan cinta kebersamaan itulah, ia tak mau mengambil resiko. Tak mau menyakiti perasaan orang yang ia cintai. Hanya ingin terus mengasihi.


“Karena cinta tanpa pengharapan apapun, sedikitpun,” ucapnya, masih berbicara dengan Ifah.

“Tapi aku telah menemukan pangeranku.” ucap Ifah, lirih. Mengira Izy akan tersinggung.

“Emh, ya syukurlah. So, my task as a Knight finished?” kata Izy.

“Tapi masih boleh kan, aku menyukaimu? (tersenyum)” sambung Izy.

Ifah tak membalas pertanyaan itu. Ia menutup teleponnya, mungkin sudah merasa terganggu dengan kata-kata Izy. Malam yang semakin larut itu, seolah menjadi saksi kesunyian hatinya. Sesekali ia memandangi bintang, berharap ada yang jatuh. Dan ia akan menceritakan kisah ketulusannya pada bintang jatuh itu. Bibirnya tersenyum tipis, sembari masih memandangi bulan yang setengah terlihat.

“Karena tak kenal maka tak sayang; bila sudah sayang akan selalu terbayang. Aku menyayangimu karena aku mengenalmu. Tapi engkau tak akan menyayangiku selama engkau belum mengenalku. Kau tahu, itu ucapan siapa, wahai langit?” ia menggumam dalam kesendiriannya. Tanpa melanjutkan, menjawab pertanyaannya sendiri. Semua pembelajaran yang ia dapat dari kisah cinta dalam sejarah membuatnya semakin yakin, bahwa Tuhan selalu menyayangi makhluk-Nya – sekalipun makhluk-Nya tak pernah mengenal-Nya.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)