Tubuhku merinding, saat bertemu dengannya lagi. Aku kira dia telah tiada, karena dulu ia dibawa oleh beberapa keluarganya menuju peristirahatan terakhir – makam. Si Jon, dia kembali lagi dan mencegatku di depan perpustakaan kampus. Gila, ini orang kok tidak berubah sedikitpun, tetap aneh dan tak masuk akal. Tak peduli dengan penilaian orang lain pada tindakannya. Apa yang ia lakukan? Mendorong pilar perpustakaan, seakan ingin menggesernya.
”MhaUukaH... kAu membanthuku..? eRrgGh..” ucapnya tanpa keheranan saat melihatku lagi.
”A-apa yang kau lakukan? Bukannya kau sudah...” aku menjawab lirih sembari mata masih tak percaya.
”Memindahkan perpus ini, HaAaAkh...”
”Mau kau pindah ke mana? Hei, kau belum menjawab pertanyaanku,”
”Ke dekat rumah, atau mungkin ke samping kosanmu yang jelek itu,” ucapnya sembari tertawa kecil. ”Oh, Ii..tu, kau menganggapku telah mati?” ia tertawa kembali.
”Muung..kin,”
Hah hAh HaH...
”Perpustakaan ini cuman jadi pelengkap saja di kampus ini. Ternyata susah juga memindahkannya, di sini tak dipedulikan oleh para penghuninya,”
”Bego,” kataku.
”Memang!” ucapnya cepat. ”Banyak orang-orang bego di kampus ini, tapi mengapa kau masih sanggup hidup di antara mereka, Wonk?”
”Maksudku.. ah, entahlah,” aku tak tahu apa yang harus ku katakan. Aku mengatakan bego pada dirinya, bukan pada pejabat kampus ini. Kami duduk di taman depan perpustakaan.
”Aku dengar, biaya semesteran naik 100% ya? Dana praktikum diambil fakultas ya? Kampus ini hanya boleh dimasuki kaum menengah ke atas ya? Tempat-tempat gelap di kampus ini digunakan untuk kencan mahasiswanya? Taman mesum lebih penting daripada penyempurnaan perpus ya? Pejabat kampus korupsi? Gedung-gedung kampus keropos seperti otak para pejabatnya? Banyak sampah bertaburan diteritoti intelektual ini ya?”
”HeI! Satu-satu dong!” aku menatapnya marah. ”Kau ini siapa? Bukankah kau sudah mati? Mengapa kau hidup lagi? Apa urusannya masalah-masalah itu denganku?” jawabku ketus.
”Hidup, mati, hidup lagi...” ia mulai lagi bicara tak jelas. ”Wahuwaladzi ahyaakum, tsumma yumitukum, tsumma yuhyiikum..” lanjutnya.
”Setelah hidup kembali, sekarang kau jadi ustadz ya?”
”Enggak, itu yang biasa aku baca kalau ada orang kerasukan setan. Buat ngusir jin,”
”Wa-waduh, kau kira temanmu ini jin? Aku bukan jin, tapi tuyul! Puas?!”
”Kau yakin, sekarang ini kau sedang hidup? Apa bukti dan perbedaannya dengan mereka yang mati?”
”Yaa... nggak tahu, yang penting kan aku hidup aja, bisa melihat, berpikir, pacaran, pokoknya itu lah...”
”Melihat? Apa kau melihat sesuatu di belakangmu? Berpikir? Apa bukti kau sedang berpikir? Dan pacaran? Kalau begitu, lebih baik kau mati saja seperti para penyelenggara kampus ini,” ucapnya terus terang.
Lagi dan lagi. Ia selalu begitu, bicara tak peduli perasaanku. Padahal ia sendiri yang mengatakan, konsekuensi seseorang yang memiliki pengetahuan lebih, ia harus lebih sering memahami orang lain.
”Ya enggaklah, mataku ini cuman di depan wajah. Bukti sedang berpikir? Emm.. otakku mungkin? Jangan menuduh sembarangan!”
”HeI! Bangun! Bangkitlah kawan!” dia menggoyang-goyang bahuku. ”Ternyata wanita itu telah mematikanmu begitu tragis. Akalmu beku, inderamu berkuasa kini, dan hatimu mati. Kau bukan kawanku yang dulu,”
”Hei hei, jangan menuduh sembarangan,” aku mengelak. ”Aku hanya merasa, masa itu telah lalu. Kini giliran para pemuda kampus untuk mengritik rumahnya sendiri,”
”Matamu hanya di depan wajah? Konyol. Dunia ini telah terpenuhi segala sesuatu yang menyebalkan. Jika kau, temanku satu-satunya, sudah berubah seperti orang-orang modern yang picik, maka lebih baik aku kembali ke alam barzah,” kepalanya tertunduk. ”Kau telah gila, seperti mereka yang merusak bangsa,”
”Wait wait wait, kau bilang aku gila? Aku normal, lihatlah diriku ini, bung,” aku membela diri. ”Justru kau yang nampak gila. Kau telah mati, lalu hidup lagi, namun kegilaanmu masih seperti dulu,” aku tersenyum menyeringai, meremehkannya.
”Kau mengkhianati sejarah,” ucapnya lirih, seakan ia kehabisan tenaga tubuhnya. ”Kau tahu Al Fatih, yang menaikan kapal perang ke atas gunung? Kau ingat Jabal Thariq, yang membakar kapal pasukannya sendiri saat di kepung musuh? Kau tahu Abu Nawas, Nasruddin Hoja, Syeikh Juha yang mengocok perut para penguasa? Dan kau lupa pada nabimu sendiri yang disebut penyihir setelah membelah bulan? Dunia ini telah membutakan penglihatan penghuninya. Kau mengikuti dunia, yang sebenarnya menghilangkan, mematikanmu. Sebenarnya, kini kau siapa?” kepalanya terangkat, menatap tajam ke arahku.
”Aku ya si Wonk,” jawabku singkat.
”Nenek-nenek merem juga tahu, kalau namamu itu,” ia tertawa kecil. ”Aku tanya, sebenarnya kau ini siapa? Siapa kau jika telah menjadi seperti orang-orang yang merusak bumi sendiri?”
”Siapa aku?” sial, pertanyaan ini telah ku pendam dalam-dalam semenjak semester enam. ”Aku ya...” kalimatku belum selesai.
”Burung bisa terbang, karena ia dibekali sayap. Ayam, ia memiliki cakar dan paruh untuk bekerja. Kucing, menggunakan cakar untuk mencengkeram korbannya. Kau? Otakmu, tanganmu, akal dan hatimu? Apa yang telah kau kerjakan untuk bangsa dan bumimu ini?”
”Ahh... aku tak peduli siapa diriku ini. Bekerja untuk bangsa dan bumi? Aku punya jalan hidup sendiri, Jon. Begitupun setiap orang. Kau jangan memaksakan orang lain, untuk sepaham dengan penglihatanmu akan dunia dan kehidupan yang aneh itu,”
”Jalan hidup untuk dirimu sendiri?” ia kembali tertawa. ”Kau benar-benar hidup dalam kematian. Kau ini belajar sejarah, Wonk. Sejarah! Konsekuensi orang-orang yang belajar sejarah, ia memiliki beban untuk mengubahnya. Kau lupa itu?”
”Sedikitpun tak lupa. Apalagi ada kau yang selalu mengingatkanku,” aku menghela nafas yang terasa berat, setalah ia mengatakan itu. ”Begitu banyak orang-orang yang belajar sejarah. Dan sebanyak itu pula orang-orang yang menginjak-injaknya setelah mempelajarinya. Dengan apatis, individualis, hidup sebatas urusan perut dan penis. Anggap saja aku salah satu di antaranya, Jon.”
Suasana hening. Ia tak langsung berucap kembali. Apakah ia merasakan apa yang ada dalam hatiku? Entahlah. Lagipula, aku tak tahu hatiku masih hidup atau telah lama mati.
”Kau dengar tadi pertanyaan-pertanyaanku? Kau belajar sejarah, seharusnya kau tahu itu. Kehancuran terjadi karena kondisi sebelumnya yang menyebabkan semua itu. Kau berpikir? Bohong, jika kau berpikir tapi hanya berhenti di dalam otak saja. Mana bukti konkretnya?” ia berdiri, menceramahiku seperti biasa. Dan aku karena pemahaman yang lemah, hanya bisa menjadi pendengar setianya saja.
”Kampus ini pernah hidup, dan sekarang sedang mati. Mungkin nanti hidup lagi,” ucapnya. ”Dan kau tidak merasakannya? Kau sama seperti pejabat kampusmu itu, mati akal dan hati. Siapa yang akan menghidupkannya kembali? Tuhan? Alasan apa yang menjadikan Tuhan harus melakukannya? Kebaikan-Nya bukan untuk orang-orang mati!” ia kemudian pergi, kembali meninggalkanku sendiri.
Kamis pagi, 26 Mei 2011