“Omong kosong masalah cinta!” ucap seorang teman saat beberapa rekan KKN lagi asyik membicarakan perihal anak laki-laki yang kurang ganteng (bahasa sopannya) namun tajir. Yang ujung-ujungnya masalah cinta (‘c’ kecil). “Kenapa aku ngerasa tersinggung waktu kalian bilang ‘jelek’ ya?” celetuk saya. Mendengar ini – yang mungkin ungkapan kejujuran saya – mereka tertawa.
Sekedar menebak saja, teman yang ‘mengutuk’ tentang cinta saat kami berbincang, mungkin ia salah satu laki-laki yang lebih sering disakiti oleh lawan jenisnya daripada dicintai. Kalau saya lihat, teman saya yang satu ini memang cukup ideal. Tubuh cukup atletis (kalau dibandingkan dengan saya, hahaha!), maklum dia kuliah di jurusan olahraga, pasti selalu menjaga tubuhnya. Cukup berpunya dan bahasanya juga sopan (sunda lemes). Ada dua hal yang mungkin menjadi alasan mengapa ia sering (syukurlah, untung bukan selalu, kayak saya, hehe) disakiti oleh perempuan yang ia cintai. Pertama, masalah tampang. Kedua, masalah pemanfaatan para kekasihnya dulu terhadap apa yang dia punya. Dalam hal ini, kesialannya menjalin kasih dengan para cewek zuper matre (Soalnya 6 tahun ini, ternyata susah juga nyari cewek yang nggak matre, hehe). Tapi masalah tampang sih, saya masih kalah jauh. Dan saya yakin, masalah pertama (kalau itu termasuk kendala) akan tertutupi oleh permasalahan kedua.
Wajar saja kalau ia mengumpat masalah cinta gara-gara masa lalunya itu, meskipun sebenarnya laki-laki dan perempuan punya kemungkinan yang sama besar dalam masalah ‘pengkhianatan’ cinta (Lebay, hahaha!). Lho, kok kamu bisa ngomong kayak gitu, Jon? Emang situ udah berapa kali disakiti oleh mereka (kaum hawa)? Eits! Sori ye. Perlu diketahui, sakit hati itu bukan termasuk sakit fisik. Ketidaknormalan dalam tubuh tidak terjadi saat terserang ‘penyakit’ itu. Kecuali, yang sengaja menyakiti fisik gara-gara sakit hati (terlalu meratapi, misalnya). Dan yang paling penting, sakit hati ya hanya bisa dirasakan oleh manusia-manusia yang memiliki hati – entah manusia-manusia yang suka menyakiti masih memiliki hati juga atau tidak. Sedangkan, saya tak tahu masih memiliki hati atau tidak. Sekalipun saya selalu berusaha dan tak mau menyakiti seseorang (Bahkan binatang dan tumbuhan). Buktinya apa Jon, kamu ngomong gitu? Orang, mau menyakiti atau membahagiakan saya, perasaan tetap saja, biasa. Sedih enggak, senang juga enggak. Saya juga tidak tahu mengapa, mungkin ini bukti saya kelahiran Planet Mars, hahaha!
Pernah suatu saat ada seorang adik yang bertanya tentang cinta (masih ‘c’ kecil) dan balas dendam. “Kang, gimana caranya biar saya bisa menghilangkan rasa dendam. Atau kalau enggak, kasih tahu saya cara untuk balas dendam,” ini terjadi waktu kami diskusi di perpustakaan kampus. Ia ingin balas dendam pada perempuan yang telah mengkhianati cintanya. Di tangannya masih menempel buku yang menandakan ia membagi konsentrasinya. “Mengapa harus dihilangkan? Semua perasaan itu harus diungkapkan.
Masalahnya, kita harus sadar waktu dan tempat ketika melampiaskan perasaan-perasaan itu. Dan yang paling penting, kita harus tahu orang itu, sanggup atau tidak menerima pengungkapan perasaan kita.”
“Wah, susah banget? Berarti harus proporsional dong?”
“Apaan tuh proporsional?”
“Sesuai,”
“Oo.. hahaha. Balas dendam itu, bisa haram, bisa halal, bisa sunah, bisa juga mubah.”
“Waduh, apaan lagi tuh?” sambil menutup bukunya.
“Hehe.. balas dendam haram, kalau itu menyakiti orang yang kita balasdendami. Halal kalau kita sudah tahu cara terbaik untuk balas dendam, tentunya dengan tidak menyakiti orang lain. Sunah, kalau kita sudah bisa mengikhlaskan sakit hati kita. Dan mubah, kalau sakit hati kita nyampai pada puncak kekesalan dan kamu nggak menemukan orang yang bisa dijadikan tempat curhat, sebagai peredam kemarahanmu.”
“Ribet banget kang?”
“Iya,”
“Gimana caranya balas dendam tanpa menyakiti orang lain?”
“Balas dendam bisa halal atau wajib, kalau kita sudah paham dengan cara yang terbaik. Benar-benar ‘baik’, bukan baik menurut kita. Tapi ‘baik’ menurut kemanusiaan. Maksudnya, cara yang terbaik untuk menyadarkan dia kalau menyakiti kamu, atau siapapun bahkan apapun adalah sebuah kesalahan besar. Sakit hati yang kamu rasakan, kita balas dengan melakukan perbuatan kebaikan kepada orang banyak, malah kalau bisa kepada semua makhluk hidup. Bahkan kalau misalnya ada pocong yang jatuh tersandung dan meminta pertolongan, bantu dia. Dia kan termasuk penduduk bumi, hahaha..”
“Huwah... apaan? Nggak mau lah kalau gitu,”
“Maksudnya, kita jangan sampai cuman gara-gara disakiti orang, menghentikan fitrah kita sebagai manusia yang baik. Dari yang terdekat aja, misalnya, mengasihi anak-anak jalanan dan anak-anak yatim. Santun kepada siapapun, termasuk pada alam dan rerumputan. Jadikan waktu kita untuk terus berkarya nyata, tanpa harus memiliki dia. Karena tanpa tindakan-tindakan baik ini, usaha kamu untuk melupakan dia bakal susah. Padahal, perlu kita ingat, semakin kita munafik ingin melupakan dia, bayangannya akan semakin mengakar dalam pikiran kita. Satu cara, dengan mendatangi bayangannya dalam imajinasimu, dan katakan dihadapannya, ‘KAU AKAN MENYESAL TELAH MEMBUANGKU!’ dan jangan lupa untuk terus berkarya.”
“Iya,” dia nampak mengerti dengan mengangguk-anggukan kepalanya, meskipun matanya terlihat banyak pertanyaan dalam pikirannya.
“Di kitab suci apapun, mengajarkan kita untuk selalu memberi. Konotasinya memang baik, tapi kalau kita telah disakiti model ‘penjajahan’, baik itu personal atau kolektiv, kita tetap harus balas dendam dengan memberi. Jangan salah paham dulu, kita tidak akan memberikan kebaikan pada orang yang seperti itu. Melainkan memberi sebuah gerakan pemberontakan, hahaha...”
“Ah, pemberontakan? Lebay nih si akang. Saya mana bisa?”
“Eh, jangan minder gitu. Timur Lenk aja yang berbadan kurus dan berkaki pincang bisa melakukan ‘pemberontakan’ super hebat. Lagian, pemberontakan di sini, bukan tindakan anarkis. Itu mah nakal. Tapi berupa ketidakpatuhan kita, protes atau kritikan-kritikan kepada orang atau kelompok itu. Coba, sebelum dilanjutkan. Menurutmu mengapa manusia bisa marah, bisa sakit hati, juga bisa ingin balas dendam?”
“Yaa... karena manusia punya hati lah... wajar kan?”
“Wajar kalau kita belum paham dengan hubungan sosial kemanusiaan,”
“Maksudnya?”
“Emang sih, ini pendapat subjektif. Tapi menurutku mengapa kita bisa marah, benci, juga sakit hati, karena manusia berharap pada manusia selain dirinya sendiri.”
“Lha, bukannya berharap itu wajar? Lagipula, kita harus marah dong, kalau misalnya harga diri kita dihina orang lain? Agama kita dihina, misalnya?”
“Iya, emang wajar. Cuman, kebanyakan kita tak tahu dengan konsekwensi dari sifat harap itu.”
“Emang ada konsekwensinya?”
Sebenarnya saya ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, tapi tak apalah. Saya suka kalau ada generasi muda yang lapar akan pemahaman baru. Banyak nanya.
“Ada. Konsekwensinya adalah kekecewaan karena harapan yang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.”
“Terus, gimana biar nggak kecewa?”
“Bentar, saya jawab dulu pertanyaan sebelumnya. Biar kita nggak kecewa, yang harus kita lakukan ya terus berusaha. Ada tujuan, tapi tak perlu memikirkan tujuan itu sebelum sampai ditujuan itu. Intinya berusaha dan terus bekerja.”
“Lho, bukannya berusaha itu karena adanya harapan?”
“Iya. Terus?”
“Nggak mungkinlah berusaha tanpa berharap?”
“Saya bisa kok. Saya nggak bakalan ngomong panjang lebar kalau saya belum pernah melakukan, atau minimal merasakannya. Manusia memang wajar marah kalau harga dirinya diinjak-injak – meskipun saya yakin Sang Pencipta Harga Diri tak pernah marah-marah karena alasan ini – tapi bukan dengan keluarnya ucapan-ucapan kasar, mengumpat, apalagi melakukan tindakan-tindakan anarkis. Agama kita dihina, kita boleh marah. Tapi bukan dengan mulut atau kekerasan.”
“Terus dengan apa?”
“Pada orang yang menyakitimu, doakan dia agar mendapatkan jodoh yang sempurna, hahaha... selalu dilindungi dan berumur panjang. Kalau bertemu, kasih salam hangat yang tulus dari hatimu. Kalau membutuhkan bantuan, ya kamu harus membantunya. Tapi tetap, tak perlu berharap. Kepada kelompok yang menghina kita atau agama kita, tunjukan pada mereka kalau kita tidak seperti yang mereka sangkakan. Dengan apa? Karya nyata sesuai yang kita bisa. Contoh, zionis membantai palestina. Hanya orang-orang yang bego yang bisanya cuman mengumpat, menghina, menyebarkan suara-suara kebencian, bahkan seruan untuk memblokir jejaring sosial yang merupakan karya mereka untuk umat manusia. Yang harus kita lakukan ya dengan membuktikan kepada mereka kalau kita bisa lebih CERDAS, lebih BERKARYA, dan lebih BERMANFAAT untuk umat manusia daripada mereka.”
“Berkarya? Kan saya penuh dengan keterbatasan, kang?”
“Manusia mana yang nggak punya keterbatasan? Itu kenapa kita saling mengenal. Untuk saling melengkapi dan memahami. Saya tidak tahu apa itu ikhlas, sabar, atau pun syukur, dan saya tidak peduli itu, yang pasti kekurangan orang yang saya kenal akan saya tutupi dengan kelebihan saya. Dan kekurangan saya seharusnya ditutupi oleh kelebihan orang lain. Meskipun, saya nggak pernah maksa untuk itu. Setiap orang memiliki kemampuan unik masing-masing. Kemampuan itulah yang harus kamu tunjukan untuk kebaikan banyak orang. Dan tetap, mengharap kepada manusia bagaikan menanti bidadari dari surga.”
“Itu yang dinamakan Cinta, ‘C’ besar ya?”
“Maksudnya?” saya tak paham.
“Cinta universal, yang dicita-citakan Nietcze dan Gandhi.”
“Hah? O, iyalah bebas. Saya nggak tahu tentang itu..”
“Hahaha...”
Ciwidey hari Minggu, 8 Agustus 2010