Sebenarnya keinginan untuk (pura-pura) menjadi pengamat kampus akhir-akhir ini sudah mulai menurun di benak saya. Menjelang akhir masa perkuliahan ini, saya berharap bisa santai dengan ‘hanya’ memikirkan tugas-tugas akhir kemahasiswaan saja. Namun nampaknya keinginan untuk bisa damai di alam pikiran mahasiswa tua, menjadi seperti apa yang dituliskan Gie dalam artikelnya : Mimpi-Mimpi Mahasiswa Tua. Berharap akan ada mahasiswa indie yang bukan hanya mengkritik dengan dasar otot (teriak-teriak bikin capek sendiri) tetapi juga otak. Tentunya dengan konsistensi yang jelas. * Memangnya bung siapa, sok banget ngomong beginian?
Hitler yang konon membantai enam juta umat Yahudi, pernah mengatakan, “Jika suatu kekeliruan dipropagandakan secara terus menerus pada masyarakat, kekeliruan itu akan menjadi suatu kebenaran,” benarkah?
Ada yang mengherankan, dalam suatu system pendidikan yang dipenuhi oleh sesepuh para penyandang gelar Doktor atau bahkan professor, propaganda tentang pengeliruan (maksa!hehe), distorsi kebenaran meresap dalam pada alam pikiran para penghuni system itu. Kekeliruan dalam hal apa? Banyak. Namun dalam tulisan (tepatnya, corat-coretan) kali ini, saya ingin bercerita tentang tariff parkir yang menjadi kebijakan baru di kampus yang haru.
Tahun berapa aktivis kampus mulai meredup (bahasa halusnya – kasarnya ‘Memble’) hingga diperlukan bahan bakar yang begitu MAHAL untuk menguatkan kobaran semangat mereka? Ah, ini pertanyaan faktual, rasanya tidak sesuai jika diberikan pada ummat yang bernama mahasiswa. Mengapa semangat aktivis kampus seakan redup, sedangkan tugas mereka sebagai social control dan agent of social change masih tetap di tangan?
Rasanya bukan tugas para Doktor atau Profesor untuk membangunkan kesadaran para aktivis yang tengah tertidur lelap – menciptakan pulau dan menggerung keras. Selain kesadaran tidak bisa dipaksakan, juga cenderung bukan dari sisi eksternal individu. Sisi eksternal hanyalah challenge (tantangan) yang seharusnya menumbuhkan respon (tanggapan) dari dalam diri. Tapi kenyataannya tidak. Ada, bahkan banyak selentingan – semoga saja tidak benar – aktivis yang disumpal mulutnya ‘hanya’ dengan selapis laptop atau bahkan rupiah yang menjadikan hatinya tertutup oleh dua materi itu. Otomatis, tidak ada lagi idealisme, tidak ada lagi kesadaran membela kebenaran. Yang ada hanya bagaimana agar bisa mendapatkan ‘gamparan’ rupiah lagi, meskipun dengan cara menyetor informasi tentang kelemahan-kelemahan mahasiswa, atau menjadi ‘tukang kompor’ di antara oraganisasi-organisasi kampus.
Semangat gerak para rekan aktivis mulai kendur, selain memang harus menyeimbangkan antara nilai – yang berujung pada kelulusan yang efisien, juga konsistensi gerakan dalam organisasinya (Ya… kalau mahasiswa indie sih, tidak konsisten juga tak masalah, lha dia ndak punya kepentingan apapun selain perubahan itu sendiri sih. Ngeles! Hehe).
Secara intelektualitas, para aktivis saya kira sudah di atas rata-rata daripada mahasiswa pada umumnya – meskipun ada juga yang jauh dari anggapan ini. Kepekaan atau kepedulian sosial, saya kira juga tidak jauh berbeda. Dan karya? Tidak selalu karya itu dalam bentuk yang konkret, benar?
Begitu banyak kebijakan kampus yang sebenarnya menggiring para mahasiswa – termasuk aktivis di dalam giringannya itu, untuk menjauh dari karakter mahasiswa yang seungguhnya. Karakter mahasiswa yang sesungguhnya? Seperti yang diceritakan di atas, sebagai social control dan agent of social change. Namun seakan control dan perubahan (atau lebih tepatnya, menjaga keseimbangan/adil) semakin menjauh dalam diri mahasiswa. Nyaris setiap organisasi kampus membanggakan diri dengan ‘pengkotakkan’ pemikiran mereka masing-masing. Berlomba mempromosikan diri demi ‘pengemisan’ kader penerus. Ini aneh, mengapa seakan organisasi yang (sangat) membutuhkan kader? Bukankah seharusnya tak perlu promosi pun, memang sudah seharusnya mahasiswa aktif dalam organisasi? Dalam artian, ada timbal balik, bukan keinginan sepihak. Dan lebih lucunya, ada kabar terbaru, entah benar atau tidak, munculnya Aliansi Mahasiswa Apatis yang hendak merekrut mereka-mereka yang sedang dalam proses ‘perobotan’ – menjadi robot. Semoga saja kabar itu tidak benar.
Seperti artikel (lebih tepatnya coret-coretan) sebelumnya tentang mahasiswa yang terancam di D.O karena belum mampu membayar biaya semesteran, dalam tulisan ini saya sharingkan beberapa kemungkinan mengapa kampus mengeluarkan kebijakan tarif parkir, layaknya di Mall-Mall tempat menghabiskan uang. Sekalipun ada kesamaan – sama-sama menghabiskan uang, paling tidak di kampus itu uang yang dihabiskan sedikit tidak percuma, karena tergantikan dengan ilmu (beda lagi dengan tipikal para penghapal!).
Pertama, mengapa tariff parkir diberlakukan karena alasan operasional – seperti yang disosialisasikan, fasilitas kendaraan yang konon menghabiskan dana 900 juta dalam satu tahunnya. Itu duit kalau dibelikan dawet dapat berapa ya?
Kedua, masih dalam konteks operasional, ada dalam cita-cita bahwa kampus itu akan menjadi Universitas berkelas internasional. Siapa bilang naik kelas tidak membutuhkan dana? Bukan hanya butuh, bahkan banyak. Layaknya masuk di kampus ini, bisa beres ikut menjadi mahasiswa, meskipun tanpa diawali tes. Karena lewat jalur UUD, Ujung-Ujungnya Duit. Siapa yang akan malu, jika universitas kelas dunia, tapi fasilitas kelas desa – primitive pula? Tentunya semua bagian dari keluarga universitas ini toh.
Sebentar, jangan menghakimi dulu bahwa saya orang yang pro dengan kebijakan ‘unik’ itu.
Ketiga, ini yang terakhir deh, kemungkinan semakin menipisnya kas keuangan istana putih. Kampus itu ‘kan sudah BUMN (BUM = meledak, N= Nuklir), alias mengolah keuangan sendiri, jadi darimana lagi jika tambahan rupiah bukan dari dalam ‘negeri’? Itu bukan kampus kecil, bung. Istana Putih harus menyiapkan dana yang begitu besar, mulai untuk dana operasional, hingga mungkin jatah satpam. Tuh, yang kena malah satpam – maaf pak!. Ketika satpam ditanya, “Pak, di kertas ini – peraturan tentang parkir – tertulis ‘Kehilangan pada Kendaraan anda bukan tanggung jawab kami’. Jadi kalau misalnya hilang (misalnya lho, semoga sih jangan), bayar parkir iya, rugi ditanggung sendiri iya?” jawab pak satpam sesuai dengan sepengetahuannya, “Betul sekali,” karena memang mereka hanya pelaksana – yang seringkali dikurbankan. Pertanyaanya, mengapa kas keuangan Istana Putih semakin menipis, padahal asupan rupiah dari eksternal tetap mengalir? Saya tidak mau berspekulasi.
Saya sedikit bersyukur karena memang tidak menggunakan kendaraan bermotor untuk ngampus di universitas ini. Mengapa sedikit bersyukur? Karena tak bisa apa-apa melihat semakin susahnya para pencari ilmu. Lha ndak lucu gimana toh, pendidikan kok mbayar? Malu rasanya pada Bapak Pendidikan Indonesia, mana ada pendidikan dibayar oleh peserta didik? Terlalu mahal ilmu yang harus terwarisi secara turun temurun, demi kelangsungan peradaban manusia. Jika tidak ada para pencari ilmu, para pemuda yang antusias, pergi dari kampungnya nun jauh di ujung negeri, akan dibawa ke mana kelanjutan paradaban bangsa ini?
Apalagi dengan ditambah-tambahi kebijakan yang lebih unik seperti itu. Untung saja belum ada yang datang ke Istana Putih dengan sekarung koin rupiah, alih-alih sebagai rasa iba mahasiswa dengan kekurangan cadangan kas pribadi kampus. Atau seorang mahasiswa ‘gila’ yang datang ke meja Tuan Rektor untuk membayar tariff parkir secara langsung tanpa perantara, tanpa perwalian, atau bahkan tanpa saksi di meja beliau, “Ini Bapak Rektor, Yang Terhormat diri saya sendiri, semoga bermanfaat…” sambil menyodorkan sepuluh recehan 100 perak di atas meja.
Selasa, 8 Maret 2011