Ada kebahagiaan tak terungkapkan, jika kedua mata bolototku ini memandangi langit. Awan yang tipis, bak dilukis oleh seniman legendaris, membuatku selalu menatap lekat padanya. Terkadang, aku duduk di teras penginapan untuk memandanginya dan berkhayal : adakah suatu negeri di atas awan dengan penduduk bersayap megan?
Aku pun mulai bercerita. Hari ini, aku bertemu dengan gadis yang ku cinta. Bukankah suatu hal yang biasa, seorang pemuda mengalami nuansa asmara? Toh jika memang pemuda itu memiliki akal, aku yakin, ia hanya akan sekedar mengungkapkan rasa sayang. Tidak lebih. Karena seorang pemuda yang berpikir, ia akan menjemput impiannya mengubah dunia, terlebih dahulu daripada berpelukan nyaman dalam dekapan perempuan.
Namun ia nampak menghindar, langit. Ia berjalan tergesa, hendak menuju KOPMA : Koperasi Mahasiswa. Tapi tenang, langit. Aku memang tak berniat berlama-lama dengannya, sebatas mengucapkan rasa penyesalan. Hanya meminta maaf saja, karena sering mengganggunya. Padahal, aku tak menghendaki ia lari, terburu-buru menghindari rasa ini. Ah, itu sih pemikiranku, berdialog dewasa tanpa rasa apa-apa. Tapi memang degup jantung tak mengenal kompromi, dag dig dug meski hanya sekedar ungkapan kata.
Walaupun memang, jangan lari nanti kau bisa jatuh. Benar apa yang dinasehatkan ibu kita waktu kita masih kecil. Tak perlu lari, berjalan tenang juga sudah cukup. Jika kita jatuh, pasti kita merasakan sakit juga. Jika kaki kita yang lari, dan kaki kita yang terjatuh, tentu saja kaki kita yang sakit. Tapi jika hati kita yang lari, dan nantinya kita ‘jatuh’ – melihat kenyataan yang membuat kita menyesal, manusia mana yang ingin merasakan sakit hati? Aku sering mengatakan, kita mungkin bisa lari dari masalah, namun sedikitpun kita tak akan mampu bersembunyi dari masalah itu. Hadapilah fase hidup ini, toh aku bukan seorang raksasa yang menakuti hati. Aku hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan diri. Dan mengapa kau tak mau memberi sedikit nasehat agar aku lebih baik dari ini?
Rabu, 18 Mei 2011