Entah darimana datangnya, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba ia sudah ada di sampingku. Ia bukan Nabi Sulaiman yang mampu melakukan perjalanan dibantu angin yang mempercepatnya ke tujuan. Ia juga bukan Zeuz yang datang bersamaan dengan petir dan hujan. Ia hanya teman unik, yang selalu membuatku merenung, sekaligus tertawa saat ia membuka sandiwara. Ia duduk di sampingku yang tengah membaca buku tentang Isa dan Imam Mahdi di bawah pohon rindang suatu taman.
”Kau mau aku ceritakan suatu rahasia tentang dua manusia itu?” ia celingukan, seakan memastikan tiada orang yang menguping ucapannya – selain aku. ”Ini benar-benar rahasia tentang mereka,” matanya menatapi buku yang ku baca, mengisyaratkan ia sungguh akan membeberkan rahasia tentangnya.
Ah, paling-paling rahasia siapa bapak dan emaknya Ipin Upin. Terbesit dihatiku kata-kata itu.
”Memangnya apa?” aku pura-pura penasaran.
”Aku pernah berkunjung ke masa depan, ketika Al Masih benar-benar datang kembali ke bumi, disambut Al Mahdi,” suaranya yang begitu pelan, membuatku mencondongkan kepala, mendekatinya.
”He?” aku mengerutkan kening. Hendak tertawa, namun tak bisa. Tak enak, tertawa ketika seseorang serius berbicara.
”Iya, kau pasti tak percaya. Tapi sungguh, kau cukup mendengarkannya saja,” ia mencoba meyakinkan. ”Bolehlah, kalau bertanya tentang ini, tapi nanti ya kalau aku sudah selesai bicara,”
”Saat itu – ketika Al Masih dan Al Mahdi muncul, masyarakat akan terbagi secara besar menjadi tiga kategori. Mereka yang percaya, mereka yang menentangnya, dan mereka yang acuh tak peduli, tak mau tahu. Mereka yang percaya, kebanyakan dari orang-orang yang terbuang di masyarakat masa depan, termasuk aku,” ucapnya serius.
”Orang-orang miskin, PSK, gelandangan, para pengidap AIDS, preman-preman sangar, termasuk para ulama yang tak terlihat seperti ulama. Dan kategori kedua, kebanyakan...” ucapannya belum selesai ketika aku memotong ucapannya.
”Bentar bentar, masyarakat terbuang bagaimana? Bukannya Al Masih dan Imam Mahdi ada dalam semua agama? Harusnya para ulama dong, di barisan terdepan. Iya sih, dalam Hindu dan budha memang bukan dengan nama itu,”
”Dengerin dulu,” ia berbisik lagi.
”O! Maaf, maaf,” akhirnya aku terjerat juga dengan ceritanya. Kali ini aku benar-benar penasaran.
”Itu dia, justru sebagian besar ulama masuk kategori penentangnya, malah ada yang tak peduli,”
”Lho?! Kenapa??”
”Sst! Jangan keras-keras. Dengerin dulu,”
”Kebanyakan ulama saat itu menyangsikan, mengapa manusia utusan itu justru mendekati kaum yang tak mereka sentuh. Gelandangan, PSK, memasuki Cafe dan diskotik, mengobati penderita AIDS yang menurut mereka tinggal mati saja,” ia berhenti bicara saat setiap ada orang yang melewati kami. Seakan benar-benar rahasia. ”Selain itu, sebagian mereka lebih percaya pada aturan penguasa. Nah, Al Masih dan Al Mahdi ini, yang juga akrab dan sering main ke Klenteng dan Gereja, suka banget mengritik pemerintahan, termasuk para koruptor dan kaum borjuis pemerintahan. Pasukannya dari kaum terlantar itulah, yang membuat pemerintah geram,”
”Heemm.. terus?”
”Entar dulu, ada orang lewat,” ucapnya sembari menyunggingkan senyum dan mengucapkan salam pada orang yang lewat.
”O iya,” aku sampai merasa bego sendiri. Orang yang aku anggap aneh saja, bisa dengan senyum dan salam menyapa suster gereja – yang melewati kami, masa’ aku tak bisa?
”Perjuangannya begitu hebat, hingga utusan pemerintah yang menamakan dirinya kelompok ulama, aku lupa apa namanya, yang berisi gabungan ’ulama’ dari berbagai agama di bangsa ini, menangkap mereka – Al Masih dan Al Mahdi,” lanjutnya.
”Lho LhO? Kok ditangkap?”
”Iya, karena telah dianggap mengganggu stabilitas nasional. Berbondong-bondong masyarakat dari seluruh negeri ingin menemui, dan berikrar – bai’at – pada mereka. Tapi tak satupun orang yang berniat bertemu dengan mereka, sanggup menemukan kediamannya. Hingga bangsa ini mengalami kekacauan sosial, akibat dua orang itu,” ia diam sejenak, seakan benar-benar menggali ingatan dari masa depan yang pernah dikunjunginya.
”Lalu, kalau misalnya orang yang berniat mencari mereka, tapi nggak bisa menemukannya, kenapa pemerintah sampai bisa menangkap mereka?” tanyaku lebih penasaran.
”Itu dia, anehnya, pasukan intel dan antiteroris yang makin canggih pun tak bisa menemukan mereka. Sampai pada suatu hari, tanpa sepengetahuan kami, mereka mendatangi kantor polisi,” ia mendengus kesal. ”Mereka dikurung, memang bukan di LP, tapi di penjara rumah oleh para kelompok ulama gabungan,”
”Udah, gitu aja?”
”Belum... masih panjang ceritanya. Hingga dunia ini benar-benar dipimpin oleh mereka. Tapi sebelum mereka menjadi pemimpin, aku keburu pulang ke waktu ini lagi,” ceritanya bagai seseorang yang benar-benar melakukan perjalanan melalui lorong waktu. ”Ditahanan inilah, dua orang itu semakin menderita. Bukan karena diperlakukan kejam, tapi karena mereka dijauhkan dari masyarakat yang membutuhkannya,”
”Mirip Soekarno ya, waktu dipenjara rumah?”
”Itu kan cara membunuh seorang pengubah dunia, secara pelan-pelan,” ucapnya bak seorang sejarawan. ”Di penjara rumah ini, Al Masih dan Al Mahdi berkali-kali dihina. Dibawakannya seorang pengidap AIDS, tapi mereka tak mau menyembuhkannya. Membuat para penangkap meremehkan dan semakin tak percaya,”
”Wah, jangan-jangan mereka bukan Al Masih dan Al Mahdi, tapi penyihir,” aku berkomentar.
Jon tertawa kecil, seakan ia meremehkan komentarku itu. ”Sebagian orang yang tak peduli, berpendapat seperti itu. Mereka tak peduli, karena dahulu ada orang yang menurut mereka lebih hebat dari itu, dari daerah India sana. Orang yang mampu mengubah pasir jadi beras, dan besi menjadi emas,”
”O! Si kriting gendut itu ya?”
”Tepat,” jawabnya cepat. ”Aku percaya pada mereka, karena ciri-ciri mereka sesuai dengan apa yang dikatakan Rasulullah, dahulu. Dalam hadits, Al Masih akan membunuh babi-babi dan menghancurkan salib. Itu benar, tapi bukan dalam arti menghancurkan, meluluhlantakan. Namun meluruskan penyimpangan orang-orang yang mempercayai itu – salib dan babi. Mereka datang membawa cinta,” ceritanya membuat nafasku bergerak cepat. ”Al Mahdi, bernama Muhammad Ibn Abdullah, ia masih keturunan Nabi Muhammad jika ditarik silsilah dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra,”
Dari kisahnya yang menurutku tak masuk akal itu, pikiran skeptisku mulai memudar. Jangan-jangan...
”Lanjut,” pintaku.
”Mereka diberikan pasir, dan disuruh untuk mengubahnya menjadi beras, karena saat itu kita impor beras begitu besar. Namun tetap tak mau,”
”O! Bentar bentar! Jangan-jangan, mereka tak mau melakukan itu karena para penangkap akan bereaksi seperti kaum quraish, saat Nabi Muhammad membelah bulan?”
”Tepat lagi,” jawabnya sembari menganggukan kepalanya. ”Selain mereka akan semakin percaya bahwa dua orang itu adalah penyihir, mereka akan memanfaatkan dua orang itu. Padahal, Al Masih dan Al Mahdi mampu lebih dari itu jika dihadapan manusia-manusia yang benar-benar yakin pada mereka, dan tentunya, Allah Swt,”
”Contohnya?”
”Ya itu, mereka menyembuhkan para pengidap AIDS yang berikrar setia, mengubah pasir menjadi beras, menyembuhkan penyakit, menurunkan hujan, menyadarkan pamong praja yang bejat, menyadarkan manusia-manusia modern yang putus asa melarikan diri ke cafe dan diskotik,”
”Wah? Pantas banyak yang menganggapnya penyihir. Lalu, bagaimana dengan ritual keagaaman mereka?”
”Tetap seperti biasa, sholat berjamaah, malah mereka berdua selesai sholat sering mendatangi gerombolan pemuda yang asyik mabok, hingga mereka menjadi pengikut dua orang itu,” ceritanya. ”Mereka juga sering silaturahim ke rumah ibadah umat lain, bukan untuk bersembahyang menyembah Tuhan mereka, tapi tadi, untuk berdakwah dengan cara mereka yang unik – cinta,”
”Benar-benar hebat,”
”Inna dzaalika ’Alallahi Yasir... memangnya ada yang susah dihadapan Allah?”
”Terus terus? Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Emm.. dan kau, apa yang kau lakukan saat itu?” aku semakin penasaran, jangan-jangan Jon Traktor hanya sebagai ’penonton’ pasif saja. Tidak seperti yang selalu ia ajarkan padaku, agar menjadi subjek dalam kebaikan dan kebenaran.
”Yah, aku memang tak berbuat banyak. Aku hanya menjadi semacam pengajar di ’sekolah’ yang dibuat mereka, dengan sistem pendidikan praktis dan unik ciptaan mereka sendiri. Hingga hasilnya, pasukan dari mulai orang dewasa hingga siswa-siswaku serentak menyerbu penjara rumah dua orang utusan itu,”
”Akhirnya mereka terlepas, dan memimpin Indonesia menuju kedamaian Dunia?”
”Aku tak tahu, karena tiba-tiba aku telah kembali ke sini,”
Yah, mendengar jawabannya itu, tubuhku terasa lemas. Aku kira akan ada happy ending atau justru sebaliknya, sad ending. Tapi tak apalah.
Sabtu, 28 Mei 2011 pukul 10:39