Sesaat lagi, upacara itu akan ku lakukan bersama calon suamiku. Acara besar, yang akan dihadiri baik keluargaku, mempelai pria, juga tamu undangan lainnya. Hari yang cukup indah mungkin, ketika dua keluarga bersatu dengan melingkarnya cincin indah di jari manisku dan suamiku.
Aku tertegun ketika melihat diriku sendiri di hadapan cermin. Membayangkan seseorang yang begitu dekat denganku, namun tak dapat ku miliki. Seorang pria yang selalu ada di dekatku, yang akan menjadi pemain musik tunggal saat pernikahanku nanti. Memainkan keahliannya memetik senar-senar gitar yang harmonis, menghiburku terakhir kali dan para tamu. Rino, ia menjadi teman yang mungkin seperti kakakku sendiri. Aku mengenalnya saat pertama kali memasuki dunia kampus. Sosok pria melankolis, pendiam, namun memiliki pribadi yang membuatku kagum. Terkadang, aku menyesal, mengapa bukan dia yang meminangku? Seseorang yang selalu memahamiku, mendengar keluh kesahku, dan memainkan gitarnya saat ku mulai menangis. Ia yang selalu tersenyum saat ku datang dengan kesedihan hari-hari perkuliahan. Ia yang dengan lembut memainkan gitarnya saatku selesai memarahinya. Tidak, ia tidak pernah membuatku sedih, apalagi marah. Sampai saat inipun, aku tak tahu apa yang ada dipikirannya saat ku mulai menagis dan berkeluh kesah dihadapannya. Keluh kesah yang ku dapatkan dari calon suamiku itu, ketika masih berpacaran.
“Emh, apa kau memiliki pensil lagi?” tanyaku saat pertama kali melihatnya, sekitar lima tahun yang lalu. Betapa ceroboh diriku ini, pensil 2B yang seharusnya ku bawa untuk mengisi formulir, entah terjatuh di mana.
“Ini,” tanpa melirik ataupun memandang wajahku, ia memberikan pensil dan lantas membuka tasnya lagi – mengambil pensil.
“Buat kamu sendiri, ada?” tanyaku basa-basi. Namun ia tak menjawabnya, sekedar memutarkan pensil dengan jemarinya, pensil yang baru ia ambil dalam tas. Seakan ia menjawab, “Tenang, masih ada,”
Dari kejadian itu, kami mulai mengenal lebih jauh. Aku sendiri, masih terlalu awam dengan dunia kampus. Untung, aku bertemu seorang pria yang nantinya benar-benar mengenalkanku pada dunia dan kehidupan yang sebenarnya. Seorang pria perfect, paling tidak, itu menurutku. Terus terang, aku mengaguminya, ingin menjadi wanita impiannya, atau sekedar menjadi inspirasinya untuk menciptakan musik-musik baru, dari gitar kesayangannya. Namun, hingga lima tahun kami menjadi sahabat, ia lebih seperti kakak yang menganggapku sebagai adiknya. Kasihan. Padahal, aku berharap lebih dari itu. Secara fisik, wajahku tak kalah jika dibandingkan dengan Asmirandah atau Nikita Willy. Tapi mungkin ia tipikal pria yang tak mementingkan itu. Atau mungkin, ia telah memiliki wanita pujaan yang selama ini ia tutup-tutupi dariku? Janji setia sampai mati kepadanya? Ah, aku tak yakin. Karena aku tak pernah melihatnya sekalipun berduaan dengan wanita di kampus kami. Kalaupun ia berduaan, mereka sekedar teman diskusi. Sampai calon suamiku datang meminangpun, aku tak pernah menanyakan perasaannya padaku lagi. Ia sangat terganggu jika aku usik dengan perasaannya padaku. Jalani saja, mungkin seperti itu yang ada dalam pikirannya. Sampai saat ini, aku tak pernah mengganggunya lagi dengan pertanyaan konyol itu. aku takut ia menjauhiku karena itu. Aku lebih takut ia menjauh dariku daripada memikili pujaan hati. Karena yang kedua itu, tidak mungkin.
“Kenapa kamu nggak coba cari cewek sih?” suatu saat aku menggodanya. Ketika kami berbincang di sore hari, teras lantai dua rumah kontrakannya, ditemani kopi capucino. Meski tampak cuek, pandangannya tak pernah lepas saat aku bicara padanya. Gitar coklatnya nyaris tak pernah lepas dari pangkuannya.
“Belum mau aja,” jawabnya sembari memetik senar sembarang. Sesekali ia menyeruput capucino yang ada di sampingnya.
“Kenapa?” aku tersenyum kecil.
“Eh, mau nggak kita nyanyi bareng? Nyanyi ‘Kemesraan Ini’ yuk?” aku tahu, jika sudah begini, maka aku tak mau melanjutkan tema pembicaraan. Ia memang tak pernah marah, namun sikap marahnya terlihat dari pembicaraannya yang menjauh dari tema. Apa boleh buat, aku datang padanya untuk mengobati kekesalan hari itu. Mana mungkin, setelah aku ia hibur, kemudian aku usik dia dengan membicarakan hal-hal yang tak disukainya?
Sesekali aku teringat dengan rayuan gombalnya. Meskipun begitu, aku lebih suka ia rayu, daripada rayuan dari kekasihku sendiri. Terdengar lebih tulus dan tanpa maksud.
“Anggap aku sebagai kakakmu. Aku sediakan pundakku untuk tempat bersandar saat kamu sedih. Dan aku berikan waktuku, untuk menguatkanmu ketika keadaan mengharuskanmu menangis,” dan selalu saja, senyum tulusnya membuat kekesalanku lenyap tak berbekas.
Kekasihku sendiri, yang kini menjadi calon suamiku, tak pernah curiga jika kami tengah berbincang berdua. Pernah suatu saat ia memarahiku, melarangku agar tak begitu dekat dengannya. Lucu. Aku kenal dan dekat lebih dulu dengan Rino daripada dia. Mana mungkin aku mampu minanggalkan orang yang begitu memahamiku? Suatu saat nyaris saja mereka berdua adu jotos di taman kampus. Kekasihku yang tak sabaran itu, cemburu dan ingin menghajar Rino.
“HeH bRenGsEk! Maumu apa berduaan dengan cewek gue?” aku tersentak saat melihatnya telah berada di samping kami. Namun berbeda dengan perasaanku yang kalut, sikap Rino nampak seperti tak terjadi apa-apa. Tetap tenang, memainkan gitar.
“A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku saat itu.
“Mestinya aku yang nanya itu!” teriaknya. “Minggir, tuh anak memang mesti diberi pelajaran!” satu pukulan nyaris mendarat di wajah Rino, saat aku tiba-tiba menghalangi itu. satpam yang melihat kejadian itu, sontak berlari mendekati kami.
“Aku pulang,” ucap Rino seperti tak terjadi apa-apa. Mungkin ia tahu, jika terus di tempat itu, akan terjadi hal-hal yang memalukan. Aku sangat paham, ia bukannya tak mau berkelahi. Tapi ia tak mau mempermalukan kekasihku itu. Rino juara karate tingkat daerah saat ia SMA.
Aku tersenyum sendiri jika membayangkan kejadian-kejadian lucu antara kami bertiga. “Hhh.. akhirnya, hari perpisahanku dengannya tiba. Dua hari lagi, ia akan memainkan musik terakhirnya untukku,” aku menggumam sendiri di depan cermin. Aku sebenarnya tidak memintanya untuk menjadi penghibur, pemain musik tunggal di acara pernikahanku. Namun katanya, “Anggap saja ini hadiah terakhir dariku,” saat aku memberikan undangan pernikahan padanya. Aku kira ia akan sedih, marah, atau berekspresi semacamnya. Ternyata tidak, ia nampaknya benar-benar menganggapku adik. Sebatas adik. Terus terang, ada satu rasa yang mengatakan ketidaktegaannya melihatku bersanding dengan pria lain. Dan dia hanya mampu menatapku, sembari fokus pada senar gitarnya, nanti. Ah, mungkin hanya prasangkaku saja.
***
Saat yang ditunggu-tunggu tiba. Ada suatu perasaan aneh, ketika tamu mulai berdatangan, menjabat tangan dan berucap, “Selamat menempuh hidup baru ya…” nyaris setiap tamu yang mengatakan itu, pandanganku tertuju padanya : Rino. Ia yang masih asyik, memejamkan mata sambil memainkan gitar akoustik. Setelah ini, aku harus melupakannya dari ingatanku. Oh, tidak. Aku masih ingin curhat ditemani petikan senar gitarnya. Aku rindu mendengar rayuan-rayuan tulusnya. Aku butuh senyumnya saat ku jatuh terjerembab. Mengapa orang tuaku dengan orang tua suamiku harus berkenalan di zaman dahulu? Seandainya saja mereka tak saling kenal…
Alunan dari senar gitarnya mulai mengganggu hatiku, saat ia memainkan ‘Depapepe:Kazamidori’. Alunan gitar sendu, yang biasa ia mainkan di saat ku pilu, dahulu. Aku baru sadar, nada-nada yang ia mainkan selama ini menuntunku menjadi diri yang utuh. Apakah ia tak menyadari, bahwa hatiku hanyut terbawa alunan musiknya? Aku selalu berandai-andai, jika saja ia…
Aku tak memerhatikan permainan gitarnya lagi, karena begitu banyak tamu yang berdatangan. Terakhir kulihat, ia masih memejamkan matanya, fokus memainkan alunan senar gitar, saat ku menyapa para tamu baru. Dari kejauhan, setelah ia memainkan beberapa aransemen lagu, nampak seorang tamu menghampirinya. Seorang perempuan yang nampak tak asing bagiku. Tapi aku tak ingat siapa dia. Perempuan itu menyapanya, berbincang, dan memberikan minuman sirup jeruk dengan gelas pesta yang ia ambil. Setelah itu, Rino tersenyum dan melambaikan tangannya padaku, seakan mengatakan ‘Selamat tinggal’ dan menghilang, bersama sang perempuan.
***
“Musik yang lembut,”
“Terima kasih,”
“Ini, kamu pasti haus,”
“Em? Terima kasih,”
“Hanya itu yang mampu kamu ucapkan? Sang pemusik patah hati, yang hanya mampu mengucapkan ‘terima kasih’? (tersenyum) “Maukah kamu menemaniku, keluar dari gedung yang sumpek ini? dan memainkan satu musik untukku di luar sana?” (tersenyum)
“Emh, mari, keluar…”
Duduk di bawah sebuah pohon pinus.
“Makasih ya, sirupnya,”
“Hanya itu?” (tersenyum). “Em, maukah kamu membaca ini,” (menyodorkan empat amplop)
“Apa ini?” (memegang amplop satu persatu)
“Baca saja,” (meminum sirup)
Setelah dibaca, “Apa hubungannya surat pinangan ini denganku? Kau bingung memilih satu dari empat laki-laki ini?”
“Aku memilihmu,” (tersenyum) “Aku tahu, kamu mencari wanita yang mencintaimu seutuhnya. Diri dan musikmu itu. Aku tahu, kamu membutuhkan seorang wanita yang memahamimu seutuhnya. Aku juga tahu, dari musikmu itu, kamu sering kesepian dan mencari seseorang yang tak menganggapmu ‘aneh’ sedikitpun,” (tersenyum)
“Kamu tak suka dengan sebutan autis, termasuk oleh pacarmu yang baru menikah itu,” (tersenyum)
“GLeK! uHuK!” (tersedak sirup)
(Memegang telapak tangan Rino) “Maaf ya, aku telat membaca blogmu. Tulisan-tulisan tentang aku, wanita jutek yang kamu suka sejak lima tahun lalu. Bukankah itu saat kamu meminjamkan pensil pada temanku itu? Aku memilihmu, Rino,” (pandangan mereka bertabrakan)
“Jadi, kamu mau menerima cincin dariku ini?” ia mengeluarkan cincin yang selalu ia bawa dalam saku celananya.
(Sabtu, 21 Mei 2011)
bergaya "thinking" terruuuss :p
ReplyDeleteAh, kurang romantis, gimana sih, masa' calon penulis novel besar (amiiiin) kagak romantis ??
salah satu cara romantis :
{aku contohin ah->sok tau TurnON}
"this tesis is dedicated to my wife, my first child , my second child, my third child
...and most of all I would like to thanks to my wife for her understand and for her patien to take care our children."
:D smangat TA TurnON
weiiii...aku lg kehilangan kemampuan menulisku niiiih...bca geura cerita kepada langit II XD
ReplyDelete