Eskapisme (para) Aktivis Kampus

Java Tivi
0
Sebuah pertanyaan aku berikan untuk mengawali esai bebas ini, ”Apa perbedaan orang (dalam konteks ini, aktivis) yang bertindak secara moral dan mereka yang tidak?” namun rasanya bukan hak saya untuk menjawab pertanyaan ini.

Berbagai kebijakan irasional dikeluarkan oleh kampus, namun nyaris semua kebijakan ’aneh’ tersebut terlaksana. Ke manakah para sosok pejuang moralitas? Kapasitas saya yang hanya sebagai rakyat (baca:mahasiswa) kecil, menjadikan kepasrahan saja yang bisa saya lakukan. Hanya mampu menerka, bahwa sesuatu yang ’aneh’ hanya bisa dikeluarkan oleh subjek yang ’aneh’ pula. Seberapa irasionalkah para pejabat kampus ini hingga ’memuntahkan’ hasil kerancuan berpikir – kebijakan – seperti itu?

Sungguh luar biasa jika saya melihat spirit pergerakan para aktivis kampus. Dari mulai slogan takbir yang menggetarkan langit, hingga ’rekaman-rekaman’ suara Soekarno dan Tan Malaka bagi yang berjiwa sosialis dan nasionalis. Namun setelah itu, hampir tak terlihat kontinyuitas jiwa patriotisme yang mereka gemakan. Seakan spirit yang dahsyat itu tertinggal di pojok-pojok kampus yang tersembunyi.

Siapa yang tak miris mendengar bahwa kampus akan memutuskan bahwa biaya kuliah naik 100%. Namun siapakah yang mampu untuk menggagalkan kebijakan itu, jika para aktivis memiliki invisible hand’s yang mengatur skenario di belakang mereka? Para pejabat kita seakan menyengajakan memutar sandiwara di depan kita, yang tanpa kita sadari, kita sebagai penontonlah yang ternyata menjadi ’badut-badut’ penghibur mereka. Kampus seakan lebih memerhatikan kemajuan keagamaan, dengan memberikan perhatian yang lebih pada organisasi-organisasi agama. Apakah benar, mereka menghendaki kemajuan spiritualitas?

Di satu sisi, kita bisa melihat pengakuan ’lebih’ pada organisasi keagamaan sebagai upaya meningkatkan kesadaran rohani para mahasiswa. Namun di sisi lain, kita mendapatkan realitas yang sangat bertolak belakang dengan itu. Pertama, organisasi keagamaan sengaja ’diangkat’ agar para mahasiswa – termasuk aktivis di dalamnya – menjadi seperti chaoz di Eropa abad pertengahan. Mengondisikan kita ke jalan The Dark Age, alias zaman kegelapan, kebekuan berpikir. Masih ingatkah mengapa Marx mengatakan bahwa agama adalah candu? Legitimasi agama dijadikan sebagai benteng pembenaran ketidakmanusiawian penguasa.

Kedua, dan ini yang paling unik, yang sudah dan sedang terjadi sekarang. Bahwa sesama aktivis kampus – terlepas perbedaan bendera – saling membenci dan terjadi disintegrasi antar mereka. Jangankan berbeda ideologi, berbeda aliran dalam satu wadahpun – agama – mampu terjadi konflik yang menggelikan. Satu organisasi X menjelek-jelekan organisasi Y dalam forumnya, begitupun sebaliknya. Namun mereka masih mampu munafik, dengan menganggap bahwa tidak terjadi konflik di antara mereka. Apa yang terjadi hingga sesama aktivis terkurung dalam bahaya disintegrasi antar mereka? Variabel apakah yang menjadikan situasi seperti ini terjadi? Kembali ke permasalahan pertama, bahwa siasat adu domba, belah bambu – mengangkat yang di atas dan menginjak yang di bawah, oleh pihak kampus mendapat kesuksesan besar dalam hal ini. Pemberian perhatian yang lebih pada satu ’aliran’ organisasi membuat organisasi lain merasa tak diperhatikan – sedangkan mereka mempunyai hak yang sama. Lucunya, inilah yang menjadi latar belakang kekacauan – dalam ketidaksadaran – itu terjadi.

Apa yang terjadi setelah organisasi keagamaan nampak mendominasi dalam kampus ini? Kebekuan intelektualitas, absurditas spiritualitas para aktivis kampus. Ketika terjadi intrik politik antar aktivis dengan pejabat kampus – karena kebijakan irasional, sebagian aktivis justru berlomba-lomba escape of the task. Bukan tindakan kesinambungan yang dilakukan oleh aktivis kita, namun sebaliknya, melarikan diri dengan dalih kenyamanan yang kontinyu. Mereka yang telah asyik dalam rutinitas ritual keagamaan, tak mampu lagi berdiri mengangkat ’pedang’ melawan musuh yang telah terbiasa menyuapi mereka. Lebih memilih untuk duduk mantap di masjid, memegang kitab, bangun di tengah malam sekedar untuk nilai bagus dan lulus cepat. Tidak ada pemikiran untuk bersama dengan kaum minoritas yang dengan semangat sisa, berupaya menggagalkan kebijakan konyol itu.

Eskapisme memang begitu menyenangkan. Ketika sebuah tanggung jawab besar menghadang, kita dengan mudahnya menghindar dan menggunakan topeng kepragmatisan dan oportunisitas kita. Kita lebih asyik memikirkan akherat, dengan khusu’ melakukan ritual individu egoistis. Kita lebih memilih menjadi entrepreneur dan bisnismen muda ketimbang menjadi aktivis yang lelah dengan gerak konsistennya – moralitas. Sebagian justru lebih menggelikan dengan mengalihkan isu yang sejenak redup itu, untuk mengunjungi para kaum tertindas di luar kampus ’sana’. Bukan sebuah kesalahan, namun kita harus memiliki prioritas gerakan. Kebijakan itu belum gagal benar, hanya sejenak redup, karena memang skenario ’berucap’ seperti itu. Jika kita tidak sadar dengan eskapisme diri seperti itu, maka sudah dipastikan ’mereka’ akan semakin tertawa melihat ’badut-badut’nya berjoged ria – tak sadar ada penggerak di belakangnya.

Apakah kita tak sadar bahwa intelektualitas kita tengah beku dan spiritualitas kita nyaris mati? Mampukah kita membuktikan dengan karya konkret yang kontinyu untuk menyatakan bahwa intelektualitas kita tidak beku? Mana bukti spiritualitas kita masih hidup, jika kita masih lebih mementingkan keshalihan egoistis individu daripada keshalihan sosial humanisme? Apakah kita tidak takut, akan menjadi seperti yang diucapkan-Nya, fawailulil musholiin, alladzina hum ’ansholaatihim saahuun? Maka celakalah orang yang mendirikan sholat, orang-orang yang lalai terhadap sholatnya? Kita tidak sadar, ada skenario yang menjadikan kita terasa lepas dan bebas, yang mengarahkan kita pada kematian kesadaran kita. Atau mungkin karena kita akan menjadi penindas selanjutnya kelak, karena para elite intelektual sendirilah yang sebenarnya akan menjadi penindas lalim selanjutnya.

Mungkin dibutuhkan seorang ’Luther’ yang akan menghancurkan kebekuan spiritualias berkedok simbolisme agama. Namun siapakah tokoh itu, yang membawa ’pedang’ kejernihan intelektualitas dan spiritualias, serta membawa tameng moralitas kemanusiaan? Sebagai rakyat kecil, aku hanya berdoa, semoga cepat Tuhan mencabut nyawa para pejabat bejat.

Selasa, 3 Mei 2011
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)