Sebagai bukti bahwa aku memang tengah belajar menjadi hamba-Nya yang baik, hari Sabtu-Minggu (29-30 April) aku bergabung dengan sahabat-sahabatku di PMII – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Seperti di artikel sebelumnya (Bukan Pengikut, tapi Bergabung), jika itu memang satu niatan menuju arah kebaikan yang dinamis, aku pasti bergabung. Namun bukan berarti aku selalu kontinyu dalam kebaikan, atau tak pernah salah. Sama sekali bukan. Bahkan mungkin hidupku yang sok ’kere’ di masa mahasiswaku ini – mencontoh Muhammad ibn Abdulloh, adalah sebuah kesalahan. Tindakan yang sebenarnya lebih ke pemaksaan psikologis, dengan cara menjauhi beberapa (jika bukan segala) tawaran kenikmatan duniawi.
Di satu sisi, sangat tidak pantas aku membagi pengalaman-pengalaman, baik spiritual, apalagi sosial-intelektual pada orang lain – karena ada kecenderungan untuk menyombongkan diri. Namun di sisi lain, cerita-cerita petualangan sosial yang aku lakukan bukan untuk mendapatkan pujian, apalagi imbalan. Bukan. Sekedar saling mengingatkan pada sesama. Belajar mengamalkan rahman dan rahim yang diajarkan-Nya pada Muhammad ibn Abdulloh. Seperti yang sering aku ucapkan pada saudara-saudaraku di forum kecil kami, ”Ketika orang lain baru saja ’membuka mata’ kehidupan, kita harus sudah mampu ’melihat ke depan’. Saat orang lain baru saja ’melihat ke depan’ dalam kehidupan ini, kita harus sudah bisa ’berpikir ke depan’, hingga yang terakhir kita mampu merasakan sensasi-sensasi kehidupan orang lain, tanpa orang lain itu merasakan perasaan kita – altruisme”. Sama sekali aku tidak mengharapkan pujian, bahkan terkadang hati ini ’mati’, tak tahu mana pujian, mana cacian.
Awalnya aku juga mengikuti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di tahun 2009. Namun karena ketidakpedulian rekan-rekan organisasi dengan ide dan gagasanku – tak masalah mereka tidak mempedulikanku, aku pasrah dan menerapkan ide dan gagasan itu bersama para saudara dekatku. Ide dan gagasan tentang intelektualitas, kepekaan sosial, dan karya, akhirnya kami lakukan sendiri lewat forum kecil dan ’ilegal’ kami. Dari forum inilah, kami ’berpetualang’ mencari jalan Tuhan dengan cara kami sendiri – yang sangat unik (paling tidak kata sebagian orang). Petualangan yang mengenalkan generasi muda pada kehidupan ’keras’ luar kampus, kebekuan akal yang kita jaga, juga ’mandulnya’ mahasiswa dalam konteks karya. Alhasil, sekitar dua tahun aku menjauh dari organisasi tersebut, meskipun silaturahim dengan para anggotanya tetap terjaga. Selalu salam dan sapa setiap bertemu siapapun anggota itu.
Beberapa sahabat nampak begitu senang ketika aku bergabung dengan organisasi bentukan para tokoh nahdliyin itu. Karena mungkin memang mereka tahu, seberapapun liberal, sekuler, aneh, dan stressnya aku, ada satu potensi kecil yang bisa dioptimalkan. Mana mungkin aku menolak niatan baik orang lain, dan menanggapinya dengan sikap acuh-ku? Itu tidak diajarkan, baik oleh Muhammad ibn Abdulloh, guruku, atau bahkan bapak dan ibuku yang SD saja tak lulus. Beberapa rekan aktivis mengiyakan, bahwa aku orang aneh, karena masih mampu membalas orang-orang yang dulu membenciku dengan (kalau boleh aku katakan) kebaikan. Mereka, sahabat-sahabat yang mengajakku untuk bergabung dengan PMII, pernah diposisikan menjadi orang-orang yang ’lupa’. Sangat wajar, karena sebagai manusia kita memiliki potensi-potensi itu – salah dan lupa, meskipun tidak baik juga kita berlindung di balik kata-kata itu.
Ketika seorang sahabat organisasi itu berbincang denganku, tentang kehidupan kampus, saat itulah aku berterus terang apa yang sebenarnya aku inginkan dari mereka. ”Akhirnya, doaku nyaris empat tahun ini terkabul,” ucapku saat itu. Sekitar dua tahun aku dekat dengan mereka sebelum aku ’diasingkan’ saat memanasnya politik organisasi jurusan. Jujur saja, aku lebih baik mengalah, daripada bertarung dan harus menjatuhkan saudara sendiri dalam arena politik – sekalipun lingkup kecil. Aku berterus terang, bahwa dua tahun itu – sebelum mereka semakin ’tersesat’ dalam organisasi jurusan, aku mendekati mereka sekedar agar mereka sadar dengan kemanusiaan mereka. Jika memang muslim, ya harus sholat, menjauhi zina – meskipun berat, menjaga perkataan dan tindakan, tidak mengonsumsi minuman keras, dan hal-hal merusak lainnya. Aku bahkan sempat membantu mereka saat kehilangan hape. Meskipun sebenarnya aku hanya menunjukan caranya saja – mereka bisa karena kemampuan tak sadar mereka sendiri. Aku menunjukan cara agar ’maling’ hape tersebut berkunjung ke kosan mereka lagi. Sama sekali aku tidak mengharapkan apapun dari mereka, sama seperti ketidakpamrihan-ku terhadap ’pelayananku’ pada hamba-hamba-Nya yang lain. Satu yang pasti, aku hanyalah seorang abdulloh. Atau paling tidak, tengah belajar menjadi itu. Seorang hamba, budak, pelayan Tuhan. Di mana ada budak yang berhak menentukan imbalan pada Tuannya? Entahlah kalau budak leutik.
Aku sadar, aku bukanlah orang yang memberikan petunjuk – hidayah – pada orang lain. Karena itu hak prerogativ Tuhan. Karena itulah, usaha lahir telah aku lakukan – untuk amal ma’ruf – pada mereka, namun gagal, hingga akhirnya aku hanya mampu menadahkan tangan agar mereka tidak menyakiti diri sendiri seperti itu. Aku juga sadar, memiliki kehidupan yang sangat ’aneh’ dengan pemuda kebanyakan. Ketika ada seorang tunanetra tersandung saat berjalan, kakiku juga ikut tersandung. Saat kuku jempol ibu kosan terkelupas, aku merasakan perih, merinding, dan pusing juga. Apalagi semacam merusak diri dengan minuman keras, rokok yang berlebihan, menelantarkan masa muda, hedonisme dan sebagainya. Aku harap di masa lalu sahabat-sahabatku itu tidak melakukan itu, karena perbuatan merusak seperti itu aku dapatkan di masa remaja SMA-ku dulu.
Aku bersyukur sahabat-sahabatku itu masih memiliki satu ruang kosong yang tercerahkan oleh cayaha ilahi. Karena aku yakin, kami adalah pemuda yang masih dalam pencarian ’ke-aku-an’. Syukur alhamdulillah, pintu langit masih mencurahkan cinta-Nya pada kami, hingga menemukan jalan-Nya kembali. Innaladziina kadzabbuu bi aa yaatinaa wastakbaruu ’anhaa laa tufattahu lahum abwaabus samaaa’i... sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka. Syukur alhamdulillah, diri kami yang hina ini, masih diberikan kesempatan untuk ’menyegarkan’ diri dari kucuran cinta-Nya dari pintu-pintu langit-Nya. Kami yang sombong dan angkuh pada ayat-ayat-Nya, masih diberikan kesempatan untuk menghirup ’udara’ Islam yang baik.
Dalam organisasi yang baru saja ’berkenalan’ denganku itu, ternyata bukan aku saja yang memilih organisasi ini daripada organisasi sebelumnya. Ada yang dari organisasi-organisasi ’kiri’, nasionalis sekuler, atau bahkan sesama organisasi-ku dulu. Bagiku, bukan masalah perbedaan bendera dan pemikiran atau bahkan oragnisasi, karena esensi yang terpenting adalah kontribusi. Peran atau sumbangsih seperti apa yang nantinya akan kita beri untuk bangsa atau bahkan agama lewat organisasi yang kita gerakkan.
Sungguh, aku tidak pernah merasa lebih baik, benar, atau bahkan lebih suci dari orang lain. Itulah mengapa aku lebih memilih memberikan salam cintaku lebih dahulu, setiap bertemu dengan siapapun kenalanku – meskipun sebenarnya kepada setiap manusia jika mencontoh Muhammad ibn Abdulloh. Belajar untuk selalu mendoakan kebaikan sekalipun pada orang-orang yang membenci dan memakiku. Belajar menjadi teman siapapun yang ingin berjalan beriringan menuju jalan-Nya, jalan kebaikan dan kebenaran. Aku tidak ingin menjadi manusia seperti yang diucapkan-Nya, alladziina yashudduuna ann sabilillah wayabghuunahaa ’iwajjaa... orang-orang yang menghalangi orang lain dari jalan Allah, dan hendak membelokkannya. Apa jadinya, orang yang penuh kerendahandiri ini menjadi manusia hina seperti itu?
Aku hanya manusia pembelajar yang masih ’ammah – awam – dalam kehidupan ini. Berusaha menjemput nasehat dan kritik sekalipun dari anak kecil. Merendahkan suaraku ketika berbicara dengan para sepuh dan anak kecil. Membalas kebencian orang lain dengan kebaikan yang tersisa dalam diri ini – jika memang masih ada. Semoga Allah selalu bersama kami, para manusia yang belajar untuk mencintai-Nya.
Senin, Isya 2 Mei 2011-05-02