Dikisahkan ketika Nabi Muhammad (siapa di antara kita yang tidak mencintainya? Lalu mengapa kita tidak mengikuti jalannya?) wafat, seorang sahabat mengabarkan pada Umar bin Khottob – yang saat itu tengah bermusyawarah memilih khalifah sete;ah Nabi Muhammad SAW, bahwa Nabi tercinta itu telah wafat. Seketika Umar teriak, ”Siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal, ia akan berhadapan dengan ujung pedangku ini!” sontak semua sahabat terdiam. Baru ketika Abu Bakar ash Shidiq datang, Umar tersadar. ”Siapa yang menyembah Muhammad SAW, ia telah wafat. Tapi siapa yang menyembah Allah, Ia akan tetap hidup!” kata mertua sekaligus sahabat Nabi Muhammad itu.
Apa pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa itu? Atau masih ingatkah kita dengan sikap Umar yang meragukan kerasulan Muhammad ibn Abdulloh saat perjanjian hudaibyah I? Umar bin Khotob memiliki karakter asli orang arab. Keras bagai tulang, sekaligus lembut bagai sutra. Ia berwatak keras – contoh cerita di atas, namun sangat mudah menerima kebenaran. Sekalipun kebenaran itu tidak mengenakkan bagi dirinya.
Tulisan ini aku buat sebagai otokritik terhadap organisasi tempatku bergabung sekarang. Bukan mencari kesalahan, seperti yang kita lakukan terhadap organisasi lain, tetapi sebagai refleksi kehidupan kita ke depannya. Aku sadar, dua hari saja sangat tidak cukup untuk mengenali organisasi itu lebih jauh. Karena itu, akupun membuka pintu kritik seluas-luasnya. Apalagi, mengingat aku bukanlah siapa-siapa. Bahkan anak kecilpun, tiada masalah aku menerima kritik dari mereka. Bukankah kritik lebih bersifat membangun, mengonstruksi pemahaman kita terhadap kehidupan yang kita jalani?
Terlalu banyak yang ingin aku sampaikan dalam tulisan ini, namun paling tidak, aku menjadikan beberapa hal itu sebagai bagian penting yang harus kita perbaiki. Bukankah tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan? Di mana ada kebahagiaan tanpa kenyamanan? Kaum mustad’affin menerima perlakukan penguasa terhadap mereka, karena mereka merasa nyaman dengan keadaan itu. Jika tidak, maka perlawananlah pada akhirnya.
Pertama aku melihat dari segi simbolisme. Hal kecil seperti term kata ’bai’at’, kurang sesuai dengan organisasi ini. Kita mengaku sebagai organisasi kultural, satu wadah yang merangkul budaya bangsa demi kemajuan. Tapi mengapa masih memakai simbolisme arab? Bukankah kita cinta Indonesia, dengan dibuktikan – salah satunya, dari Mars kita? Aku kira penggunaan ’ikrar’ atau ’sumpah’ sudah lebih dari cukup. Jika kita menggunakan term ’bai’at’, mengapa organisasi kita tidak diberi nama ’Harokah Thalaba Muslim fii Indonesia’? Kita menolak menyebut ’Akhi’, ’Ukhti’, ’Akhwat’, ’Ikhwan’, dan arabisasi semacamnya, namun mengapa menerima term ’bai’at’? Paling tidak, aku yang awam ini mengetahui term ’itu’ digunakan oleh saudara kita di HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan NII (yang kita sebut sesat itu).
Kedua, kita selalu menyuarakan bahwa kuliah tetap prioritas pertama kita, meskipun organisasi tidak bisa disepelekan juga. Agenda luhur yang kita adakan dua hari kemarin, sangat terlihat inkonsisten kita terhadap ucapan kita tersebut. Kita menuntut ilmu di luar kuliah, dan aku sangat senang dengan ini, tetapi juga harus sesuai dengan jatah waktu dan ruang kita – sebagai mahasiswa. Bukankah dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan), kita selalu diingatkan bahwa konteks ruang dan waktu jangan sampai terlupa dalam paradigma kita? Alhasil, (mungkin ini kejelekan aku sendiri) subuhku terlambat hari senin ini (jam 6-an pagi), kuliah tidak masuk karena telat. Mungkin ini alibiku saja, tapi kita juga harus tahu seperti apa kondisi yang sedang dialami para kader di dekat kita. Sudah satu minggu ini aku sakit gigi, jika bukan karena ini adalah satu niat kebaikan, maka aku tidak akan menjalaninya. Seperti sholat misalnya, kita bisa mengelak sholat bisa ditunda karena kita tengah menuntut ilmu – aku agak setuju, namun apakah harus setiap saat? Jika kita mencintai Allah, mengapa kita menunda-nunda panggilan-Nya? Kita memang bukan kekasih-Nya, tapi paling tidak kita menjemput-Nya saat panggilan itu datang. Apakah kita mau disebut sebagai fawailulil musholiin, alladzina hum ’ansholaatihim saahuun? Maka celakalah orang yang mendirikan sholat, orang-orang yang lalai terhadap sholatnya? Contoh kecil dalam realitas, ketika kita mules tak tertahan, maukah kita selalu menunggu orang yang berada di dalam toilet setiap kali kita mules? Seperti apa perasaan kita, saat orang yang kita panggil-panggil dalam toilet (agar bergantian) ternyata tidak mendengarkan suara kita (tersumpal headset misalnya)? Pasti sangat mengesalkan.
Ketiga tentang rokok. Aku juga suka merokok, tapi setiap kali aku mau merokok dihadapan orang yang tak merokok, pasti aku meminta izinnya. Kita mungkin bisa menyalahkan mereka, ”sudah tahu ada orang merokok, mengapa tidak pergi saja?” atau ”Suruh siapa nggak ikut ngerokok juga?” bukankah ini sangat tidak dianjurkan oleh prinsip ’enam huruf’ kita itu? Aku juga merokok, bahkan di bus juga. Tapi tetap saja, tidak merokok jika keadaan (konteks ruang) tidak mengizinkan aku merokok. Ada anak kecil, orang tua, ibu-ibu, atau wanita. Bukankah Muhammad ibn Abdulloh mengajarkan kita agar memuliakan wanita? Itu mengapa aku tak pernah pacaran (ngeles! Alibi!). Bahkan aku hampir bertarung dengan bapak-bapak di bus, saat aku melarangnya merokok, perihal ada bayi di dekatnya. Bukankah selain habluminalloh (Hubungan baik dengan Alloh), habluminanass (hubungan baik dengan manusia), kita dianjurkan juga untuk habluminnal alam (hubungan baik dengan alam)? Tahu konteks waktu dan ruang.
Menjelang terakhir – mungkin nanti bisa bertambah, bagaimana dengan menyebarkan salam? Bukankah Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah) mengajarkan kita agar bisa menyebarkan keselamatan dan kebahagiaan? Bagaimana jika kita membuat suatu laskar salam di kampus? Menyebarkan salam pada siapapun yang kita temui. Akan lebih romantis, jika kita menyapa perempuan – cantik, dengan cara salam. Bukankah salam bukan hanya dalam Islam? Syalom dari bahasa ibrani itu, juga digunakan dalam Yahudi, Nasrani – kaum dari nazaret, juga hindu di India? Bukankah perubahan seringkali melalui masa yang panjang, dan mengalami dramatisasi sejarah? Mengapa kita tidak lestarikan saja dari awal? Aku tidak akan menyarankan hal ini jika aku belum melaksanakannya.
Terakhir, tolonglah kita tak perlu membandingkan dengan saudara-saudara kita yang wahabi, persis, muhammadiyah, atau bahkan Ahmadiyah. Kita memiliki ’otak’ masing-masing, namun tidak di samakan oleh Allah. Jika kita tidak menghargai dan menghormati itu, maka bisa dipastikan kita menyangsikan kekuasaan Allah. Bukankah perbedaan merupakan satu dimensi keindahan dalam kehidupan ini? Dalam alqur’an atupun hadits, tidak ada satu ayatpun yang menganjurkan kita untuk memusuhi orang yang berbeda pendapat dengan kita. Atau dalam konteks kebangsaan, apakah mau kita disebut sebagai generasi makar yang melawan undang-undang dan apancasilais?
Tulisan ini sebatas kritik, yang lebih ditujukan untuk diriku sendiri. Jika memang ada yang tidak berkenan, mari, kita berlomba dalam hal literasi. Membalas kritik dengan karya yang setimpal. Karena aku tidak menginkan, sahabat dan saudaraku – paling tidak sesama akidah, memiliki kelemahan yang terpelihara. Begitupun aku. Aku mencintai Allah – paling tidak sedang belajar, rasul, juga alam, dan inilah satu bagian dari implementasi cintaku itu.
Senin, 2 Mei 2011