Kampus yang Miskin?

Java Tivi
0
Jujur saja, saya bukanlah seorang aktivis yang sok idealis mempertanyakan kelucuan yang terjadi di kampus ini. Juga bukan mahasiswa organisatoris yang memiliki kepedulian social setinggi langit, untuk melayani ribuan persoalan rekan-rekan sesama mahasiswa. Karena selain bukan kader organisasi, saya juga bisa dipastikan tak punya harga diri untuk menyandang gelar aktivis kampus. Sekedar mahasiswa lumrah yang awam, hanya bisa berkarya – empat buku – dan menjadi teman para mahasiswa papa. Haqqul yaqin, selain saya bukan aktivis kampus, juga bukan orang yang berbahaya dalam hal perubahan. Bukan kader organisasi yang dikasih makan oleh rector (at) – dengan dalih harus patuh menari dan bernyanyi di depannya. Karena yang disebut aktivis, yang pantas membicarakan politik ‘lucu’ kampus, pastinya adalah kader suatu organisasi fisik – kalaupun saya disebut aktivis, bisa dipastikan dari organisasi metafisik. Entah itu definisi dari siapa.

Dua buku telah saya tulis berkaitan dengan moral, tugas, dan kewajiban mahasiswa yang semakin ‘lucu’ di kampus yang terlalu berlebihan ini – kampus lebay! Tunggu! Anggap saja ini penilaian subjektiv saya saja. Karena saya tidak tahu sistematika kinerja para aktivis kampus. Lagipula, mana mungkin orang yang hanya ‘melihat’ dari luar, tahu isi dalam ruangan? Kecuali saya memiliki ajian kebatinan weruh sakderenge winarah – tahu meskipun tak diberi tahu.

Maaf! Saya tidak sedang bercurhat ria. Sekedar mengingatkan, karena sedikit kepedulian saya sebagai sesama mahasiswa. Tentu saja, mahasiswa lumrah seperti saya hanya bisa mengingatkan lewat karya – karena tak bisa beraksi layaknya aktivis. Sebelumnya, saya telah rehat dari menulis tentang aktivitas mahasiswa kampus ini, apalagi tentang aktivis. Karena dimensi aktivis adalah dimensi malaikat yang hanya bisa dilakukan dengan pengumpulan energi dan kekuatan cahaya yang begitu besar. Namun bukan berarti saya tak bisa sedikit ‘mengintip’ lucunya kehidupan di dekat saya. Sekedar mengingatkan, bukan mengingatkan orang lain, melainkan diri sendiri. Itupun tanpa pemaksaan orang lain untuk mendengarnya, mendengar dari hati yang masih hidup.

Saya kembali memikirkan – sedikit – tentang kampus, karena ada kabar tentang keputusan pembantu rektor terhadap mahasiswa yang tak mampu membayar biaya semesteran. Banyak rekan mahasiswa yang kebingungan, dari mana mereka melunasi dalam waktu hanya beberapa hari. Dan mengapa begitu ‘kejam’, hingga mahasiswa yang tak mampu membayar, harus ‘mengundurkan diri’ dan lenyaplah kuliah selama beberapa tahun itu. O! Betapa halus bahasa itu. Saya kira mengatakan Drop Out tidak begitu kejam. Karena konsep kejam sendiri relatif.

Ada dua hal yang menjadi bahan pikiran saya tentang persoalan di atas. Pertama, tentang ucapan seorang teman yang menyatakan ‘kejam’ pada orang – jika masih bisa disebut itu – yang memberlakukan kebijakan D.O itu. Kedua, tentang dikeluarkannya kebijakan itu sendiri.

Pertama tentang perspektif ‘kejam’. Siapa di ‘istana’ ini yang tidak memiliki sifat agung itu? Mahasiswa yang tak bisa berkarya, berangkat ke kampus hanya untuk memenuhi kebutuhan presensi, ia ‘kejam’ pada masa mudanya. Aktivis yang memble dalam kreasi dan inovasi, rendah kepedulian sosialnya, dan berintelektualitas rendah, mereka ‘kejam’ pada label keaktivisannya. Profesor dan para dosen pun ‘kejam’, karena mereka menjadikan pendidikan sekedar profesi dan tak mampu mengeluarkan pendidikan mirip pelatihan beruang sirkus itu. Bagaimana dengan Rektor (at)? Saya kira saudara bisa perkirakan, di mana ada ilmuwan yang tak bisa berkreasi membebaskan keprofesionalitasannya, mengubah dunia pendidikan kampus, menjalankan sistem pendidikan kemanusiaan, di sanalah ada penguasa yang tirani – lebih dari kejam.

Namun kita harus tahu, kehidupan tidak akan berjalan dinamis, jika diisi dengan saling menyalahkan. Kita hanya perlu lebih banyak belajar, saling belajar dari masa lalu. Bukankah masa lalu adalah guru terbaik? Alaisa minkum rojulur rosyid... Tidak adakah di antara kalian yang pandai? ¾ isi alqur’an adalah sejarah. Apa yang kita – para aktivis, jika saya boleh menggunakan term ini – baca dari kitab itu, hingga tak mau mempelajarinya? Bukti dari kita telah belajar adalah perubahan.
Kedua, tentang dikeluarkannya edaran D.O. mahasiswa ‘miskin’. Mengapa miskin? Miskin bukanlah sekedar materi, tetapi juga otak – ilmu – dan watak – moral. Penyikapan yang negatif, akan mengarahkan kita pada salah satu kemiskinan di atas. Ada beberapa kemungkinan alasan, mengapa rektor (at) ‘memuntahkan’ kebijakan itu.

Pertama, mungkin memang sudah saatnya mahasiswa belajar disiplin. Bukan hanya disiplin dalam pencarian ilmu pengetahuan saja, tetapi juga dalam berhemat : menabung! Bukankah sedari SD kita dididik disiplin ini? Nampaknya satir, namun itulah kenyataannya. Lagipula, seharusnya waktu dua bulan yang diberikan untuk mahasiswa melunasi ‘hutangnya’, sudah cukup untuk membayar itu. Terlepas dari mana kita mendapatkan dana itu. Toh, istana putih itu tak peduli sekalipun mahasiswanya – misalnya – memiskinkan wataknya dengan mencuri – atau bahkan mungkin melacur (kan otaknya).

Kedua, bisa jadi kampus memang sedang membutuhkan dana yang cukup banyak. Misal untuk menambal retak-retak gedung gara-gara gempa September 2009, untuk membeli cat putih, karena istana putih telah luntur, seperti lunturnya keshalihan sosial – meminjam istilah Kuntowijoyo – para penghuninya. Bisa juga demi kemaslahatan kampus 10-50 tahun ke depan dengan mambangun taman-taman indah sebagai penyejuk mata bagi para tamu undangan. Juga tidak menutup kemungkinan, dana untuk menutup ‘kas-bon’ kampus, banyak yang ‘main’ tapi tak tahu jalan pulang, alias hilang tak tahu ujungnya. Kita ‘kan sebuah keluarga, masalah ‘bapak’ juga menjadi masalah seluruh anggota keluarga. Entah masalah siapa si anu dan si ano yang tak bisa membayar biaya semesteran karena memang benar-benar tak mempu. Ironisnya, mereka juga termasuk anggota keluarga.

Ketiga, semoga ini tidak termasuk. Namun yang namanya kaum ilmiah, tentu memiliki kemungkinan-kemungkinan dari ilmu yang dipelajarinya, kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan. Bukankah salah satu prinsip ilmu, dapat memprediksi masa depan? Tentunya, kecuali sejarah. Karena selain jarang ada yang mau mempelajarinya, laboratoriumnya telah tertinggal di masa lalu. Lanjut, kemungkinan ketiga adalah ‘asupan gizi’ rekening dan dompet/saku yang terlalu kecil akhir-akhir ini. Hingga harus mencari asupan alternatif untuk memenuhi kebutuhan itu. Bukankah anak memang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan bapaknya – keluarga? Juga, di kampus ini, orang miskin tak boleh kuliah! Itu mengapa term kejam saya sematkan di depan.

Alfaridzy Al Jawi, Sejarah ’07, Selasa 25 Januari 2011
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)