Ada orang yang bilang bahwa ‘Tidak ada pembicaraan yang lebih puitis selain membicarakan tentang Cinta dan Kebenaran." Entah benar atau ‘ngawur’ pernyataan ini, saya tak terlalu memikirkannya. Sebatas merenungi sih, iya.
Tak tahu angin apa yang membuat saya, setelah beres sholat subuh, teringat salah seorang sahabat SMA yang ‘kabur’ ke Jakarta 2006 lalu. Hanya sekitar tiga bulan ia duduk sekelas dengan saya empat tahun lalu. ‘Hanya’ gara-gara peristiwa kecil, ia ‘minggat’ meninggalkan kota kelahirannya. Alasan apa sih yang membuat ia meninggalkan semua sahabat dan kenangannya di kota itu? Hingga sekarang saya belum pernah melihatnya lagi.
“Say, maaf ya. Mulai entar besok, kayaknya aku bakal jarang maen ke sini. Soalnya motor mau dijual,” ucap teman saya saat terakhir bertemu dengan kekasihnya. “Iya, nggak apa-apa kok. Lagian, aku juga males punya cowok yang nggak punya motor..” jawaban singkat, padat, jelas (banget!) seperti itulah yang keluar dari mulutnya. Masalah cinta (‘c’ kecil) lah yang membuatnya ‘ngasab’ ke Jakarta.
Itu satu kisah. Cerita yang hampir sama (bahkan mungkin lebih ‘menggelikan’) terjadi di daerah sekitar Bandung. Saya berkenalan dengan cewek ini lewat dunia cyber sekitar tahun 2009. Dasar ‘sok’ wartawan, saya ‘mengintrogasinya’ hingga cerita-cerita yang tak pernah ia ceritakan ke orang-orang, ia ceritakan pada saya. Cewek SMA ini juga mengalami hal serupa di atas. Tahun 2008 lalu, kegadisannya direnggut oleh kekasihnya karena ‘iming-iming’ materi (harta). Dari perkenalan inilah saya seakan mendapatkan tugas baru untuk ‘menyervis’ moralnya, karena (dulu, sekitar 2 bulan setelah kenalan) masih mau ‘bobo bareng’ hanya karena materi yang tak bisa ia beli. Untungnya, kabar terakhir yang saya dapatkan ia nampaknya sudah ‘agak’ sadar kalau itu perbuatan yang salah. Semoga saja ia sadar yang tak ‘ke-agak-agakan’ (hehehe) hingga mendapatkan pasangan abadi hidupnya.
Sekilas nampaknya saya sok ‘suci’ ya? Hahaha. Entahlah, yang saya yakini sih, setelah Muhammad Ibn Abdulloh, tak ada lagi orang yang bisa menempati ‘maqomat’ suci. Dan yang pasti, mas atau mbak pembaca bebas menilai saya, tapi maaf saja saya tak akan menilai mas atau mbak, sejelek apapun moral (apalagi akhlak) anda.
Kisah terakhir (sebenernya masih banyak heuh, tapi buat kesempatan ini cukup tiga kisah saja) dari daerah Sukabumi. Pemuda yang (secara tampang saya kalah telak) mungkin lagi sial ini berkali-kali disakiti kekasihnya gara-gara tak ‘mengantongi’ harta yang cukup. Ia secara ekonomi dapat dikategorikan kurang mampu (tenang pren, kita kan bro... kagak jauh koq dari sayah..hehehe). Terakhir kali bertemu dengan kekasihnya, ia dicaci maki sedemikian rupa. Dan jujur saja, bukan hatinya saja yang ia ‘tampar’, tapi juga wajah cerahnya, mungkin sampai 2-3 kali. adahal, ia belum pernah menyakiti perempuan manapun, apalagi gara-gara ‘harto’.
Pelajaran apa yang bisa pembaca ambil dari kisah ‘lucu’ di atas? Atau mungkin kurang jelas karena kurang lengkap cerita yang saya suguhkan? Jika pertanyaan kedua yang menjadi persoalan, terus terang ‘bae’ ditulisan ini saya tak berniat menceritakan detail kisah tiga sahabat saya itu. Melainkan sekedar ingin ‘curhat’ tentang judul yang saya torehkan di atas. Yaitu tentang materi, yang saya fokuskan pada tiga hal, harta, tahta, dan rupa. Lebih sempitnya, lebih ke perihal ‘harto’, si harta. Fuluz alias si ‘rupiah’. Sebagai penyempurna, saya kutipkan ‘pembelaan’ (kenapa orang senang kalau ada yang membela ya?) dari seorang filsuf Jerman berjenggot tebal dan putih, berkaitan dengan uang, salah satu bagian kecil dari ‘harta’ ;
“Dalam kehidupan sehari-hari, kita seakan tak bisa apa-apa (berkreasi) tanpa uang. Hampir segala aktivitas kita tergantung pada uang. Semakin banyak punya materi (fuluz), kita bisa lebih bebas beraktivitas. Aktivitas kita bukanlah ungkapan otonomi individual kita. Karena ikatan dengan uang, aktivitas kita dari dan demi materi (fuluz).
Kekuasaan saya sendiri sama besarnya dengan kekuasaan uang. Kekayaan uang adalah kekayaan dan fakultas-fakultas saya. Siapa saya dan apa yang dapat saya lakukan, oleh karenanya, sama sekali tidak ditentukan oleh individualitas saya. Wajah saya buruk, tetapi saya bisa membeli seorang perempuan atau laki-laki yang cantik ataupun tampan. Dengan demikian, wajah saya tidak buruk lagi, karena keburukan saya ditutupi oleh uang. Sebagai seorang individu saya lemah, tetapi uang menyediakan 24 kaki untuk saya... saya menjadi tidak lemah lagi. Saya adalah orang yang menjijikan, hina, jahat dan bodoh, namun uang saya dihargai melebihi penghargaan orang lain pada pemiliknya. Uang adalah kebenaran tertinggi, sehingga pemiliknya juga demikian. Selain itu, uang menyelamatkan saya dari kesulitan, karena berbuat tidak jujur, saya dianggap jujur... uang merupakan inversi umum dari individualitas, yang mengubahnya menjadi sebaliknya dan mengasosiasikan kwalitas-kwalitas berlawanan individualitas tersebut.
Uang tampak sebagai sebuah kekuatan yang mengganggu individu dan ikatan-ikatan sosial, yang mengklaim menjadi entitas yang mandiri. Uang mengubah kesetiaan menjadi pengkhianatan, cinta menjadi benci, dan benci menjadi cinta, kebenaran menjadi kesalahan, dan kesalahan menjadi kebenaran, pelayan menjadi majikan, kebodohan menjadi kecerdasan, dan kecerdasan menjadi kebodohan..” (Metode Pendidikan Marxis Sosialis ; Nurani Soyomukti. 107-108)
Tebak saja siapa filsuf itu. Tapi sayangnya sekalipun jawaban mas/mbak benar, tidak akan mendapatkan uang dari jawaban itu...hehehe
Itu satu sisi kecil dari ‘harta’. Belum bagian-bagian lainnya yang membuat banyak orang tergiur hingga tidak mempedulikan lagi apa itu kejujuran dan kebenaran. Keyakinan sekuat apapun, jika terus-terusan diserbu oleh si ‘harto’, tahta, dan rupa, kemungkinan besar akan hancur juga. Meskipun selalu ada pengecualian.
Saya ambil contoh kecil, ungkapan di atas ‘Pelayan menjadi majikan’, menurut pembaca apa yang ingin disampaikan Mbah Marx dari kalimat itu? Sebelumnya, tolong jangan klaim saya sebagai penganut Marxisme. Saya ya saya. Nggak ikut ke mana-mana. Paling banter saya ikut aliran ‘Wonkissme’, kalau ada. Hehehe (Kagak lucu!)
Apa hakekat seorang pemimpin? Presiden, menteri, tuan DPR, DPRD, gubernur, walikota, bupati, hingga lurah dan Pak RT? Apa yang terjadi ketika para ‘pelayan’ ini dibutakan oleh harta, tahta, dan rupa? Baiklah jika tidak pantas menganggap para pemimpin adalah sebenarnya para pelayan. Saya ambil contoh langsung ke Mbahnya para pemimpin. Muhammad Ibn Abdulloh hanya karena mementingkan para pejabat, beliau ditegur karena mengabaikan rakyat tua dan buta yang menginginkan ‘curhat’ padanya. Lalu? Pikirkan saja jika saudara termasuk seorang pemimpin (diri sendiri).
Para pemimpin (atau lebih tepatnya para Penguasa?) Indonesia (saya yakin, 10% sih, hehehe) sangat mencintai kebenaran. Mungkin juga punya keyakinan yang bisa disombongkan, karena menganut agama dan Demokrasi Pancasila, Boo... Tapi apa yang terjadi dengan kebenaran dan keyakinan mereka terhadap agama ketika tengah berada di tengah-tengah materi, harta, tahta, rupa yang bisa dinikmati kapan saja dan di mana saja? (Ah, elu ngomong gitu kan gara-gara belum punya kesempatan... hehehe).
Sungguh, saya mengagungkan semua agama dan demokrasi pancasila, dan tidak ada niatan sedikitpun untuk menjelek-jelekan tanah air yang saya cintai ini. Okelah kalau begitu, saya tidak akan membahas para ‘pelayan’ yang menjadi majikan lagi. Saya akan bercerita lagi tentang cinta (masih ‘c’ kecil) melanjutkan peragraf-paragraf awal.
Muhammad ibn Abdulloh berpesan, “Manusia yang paling baik adalah manusia yang bermanfaat untuk sesamanya,” termasuk ke seluruh alam. Karena memang beliau ditugaskan sebagai ‘Rahmatan lil ‘Alamin’, kasih sayang (Cinta, ‘C’ besar) untuk seluruh alam. Termasuk alam Jin (itu kenapa di Alqur’an ada surat Jin).
Gandhi saat ditanya tentang agama yang dianutnya oleh seorang wartawan, ia menjawab, “Agamaku adalah agama Cinta..”
Yesus pun (sudah sering saya singgung ditulisan-tulisan sebelumnya) mengajarkan Agape dan Altruisme (Itshar, dalam Islam). Tiga ‘Mursyid’ ini mengajarkan pada semua manusia agar memahami Cinta (‘C’ besar), mencintai (‘C’ besar) kebenaran, dan menguatkan keyakinan pada dua hal tersebut.
Tapi mengapa yang terjadi dalam kehidupan lebih sering kebalikan dari itu? Mungkin benar apa yang dikatakan para intelektualis Indonesia, “Wajar dunia dipenuhi dengan kontradiksi-kontradiksi alami. Namun sekarang, sangat tidak wajar jika dunia sudah dipenuhi kontradiksi-kontradiksi struktural yang membawa peradaban menuju kehancuran. Apa yang diidealkan diinjak-injak, apa yang salah ‘dibudayakan’ dalam keseharian..” Lho?! Apa buktinya itu semua? Manusia mengidealkan hidup harmonis (karena itu diciptakan agama-agama, yang katanya untuk menjaga keharmonisan alam), saling memberi (tentunya dalam Cinta), juga saling melengkapi. Tapi pada kenyataannya? Yang kaya membiarkan yang miskin, hingga jarak mereka semakin jauh. Yang pintar menjelek-jelekan yang bodoh (beda lagi urusannya kalau ada orang bodoh yang tak mau pintar). Yang cantik menghina yang kurang cakep (halah!). Lagipula, mana ada sih, orang yang cengar-cengir gara-gara dihina karena kemiskinannya, jelek, kurus, hitam (ngomongin sayah sendiri, loh. Hehehe) di dunia ini? Tapi ironi itulah yang kebanyakan orang diterapkan dalam kehidupannya. Wa’allohu a’lam kalau itu tanpa disadarinya. Tapi kalau yang kurus, jelek dan hitam sih, saya sadari. Hehehe.