Menjemput Izroil (serial Jon Traktor)
May 28, 2011
0
“Lihat ke bawah! Woi, lihat ke bawah, sini!” teriak Jon saat aku berada di lantai lima gedung fakultas. Ia sekali lagi muncul tiba-tiba saat aku tengah bersantai dan menatap langit biru yang tenang.
“Saat berada di atas, memang lebih enak melihat ke atas lagi ya? Daripada sejenak menunduk ke bawah…” ucap Jon yang tiba-tiba telah berada di sisiku.
“Maksutnya?” aku masih memandangi langit dari jernihnya jendela gedung.
“Ya kayak tadi itu, aku harus memanggilmu berkali-kali baru kau sadar, ada orang di bawahmu,”
“O iya, he he,”
Aku teringat kenangan ini saat melamun menunggu dosen di sudut kelas dekat jendela luar, lantai lima. Sekali lagi aku menyesal, karena baru tersadar saat orang itu telah tiada. Kebanyakan orang ketika berada ‘di atas’ akan sulit untuk melihat apa-apa yang ada ‘di bawahnya’. Para orang – yang merasa telah – kaya, pejabat, rector, pejabat kampus, hingga mahasiswa, seringkali sangat susah untuk sekedar ‘menundukan kepala’, menengok atau datang setelah dipanggil oleh orang-orang yang berada ‘di bawah’. Itu pun setelah dipanggil beberapa kali, layaknya Jaelangkung. Di pikiran orang-orang itu, mengapa orang-orang hebat, pejabat, atau bahkan mahasiswa yang harus mendatangi kaum yang selalu berada ‘di bawah’? atau sengaja secara terstruktur mereka diposisikan ‘di bawah’. Sehingga mengharuskan kaum yang berada ‘di bawah’ itu yang harus datang merengek, menangis pada mereka untuk meminta pertolongan, begitu ya? Seakan keberadaan orang-orang yang berada ‘di atas’, akan abadi. Mana mungkin ada layang-layang yang selalu bergoyang di awan? Suatu saat ia pasti akan mendarat. Di mana ada burung yang selalu terbang tanpa sejenak menepikan diri di ranting dan batang pohon?
Mengapa Tuhan ‘memasangkan’ mata di muka, bukan di belakang? Untuk apa telinga ‘diletakan’ di posisi tengah? Dan alasan apa yang menjadikan leher bisa digerakan hampir 180 derajat?
Tuhan ‘memasangkan’ mata di muka (depan), agar manusia selalu melihat ke depan – tidak meratapi sesuatu yang telah lalu, memiliki semangat optimistic dan orientasi berpikir pada masa depan. Menjadikan mata bisa melirik ke kiri dan ke kanan, juga ke atas dan ke bawah. Seringkali kita untuk maju harus melirik kanan dan kiri, sebagai antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak kita harapkan. Sekedar melirik ke bawah, agar tidak jatuh terpeleset, terpelosok pada lubang yang sama. Juga melirik ke atas, apakah langit mengizinkan kita untuk melanjutkan perjalanan, atau harus sejenak berteduh? Meskipun begitu, seringkali manusia lebih memikirkan apakah ada lubang di bawah kakinya, daripada langit yang tengah terik atau sebentar lagi turun hujan. Berbeda dengan kenyataan, seringkali kita lebih suka melihat ke atas, hingga tak sadar air liur kita menetes karena menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan – melainkan nafsu. Kita lebih suka bergaul dengan orang-orang yang berada ‘di atas’, orang-orang yang telah memiliki ‘sayap’ untuk terbang. Terlepas ketidaksadaran mereka, suatu saat ‘sayap’ itu akan letih dan akhirnya jatuh. Mendarat tersungkur, terjerembab, dengan berganti posisi dari ‘atas’ menjadi ‘bawah’.
Untuk apa telinga berada di posisi tengah kepala? Ia moderat. Ia penasehat. Ia pengendali. Ia penyeimbang antara depan dan belakang. Ia yang menasehati kita agar bisa mendengarkan keluhan dan teriakan orang-orang di samping kita. Mendengar bisikan-bisikan ketertindasan di belakang kita. Dan mempersiapkan perencanaan dari pelajaran yang didapatkan dari samping dan belakang kita. Kita dianugerahi dua mata dan dua telinga, jelas agar kita banyak melihat dan mendengar daripada bicara, karena kita hanya memiliki satu mulut. Telingalah yang hampir-hampir tidak pernah istirahat. Saat kita tertidur, ia masih terjaga. Saat kita baru setengah hidup dalam kandungan, ia telah hidup secara utuh. Ketika mata bisa tertutup secara otomatis saat ada hal-hal yang tidak menyenangkan, telinga harus dibantu oleh yang lain untuk menutupi suara yang tidak menyenangkan. Suatu hil yang mustahal, sekalipun telinga memiliki fitrah seperti itu, dalam kenyataan lebih banyak telinga-telinga yang tuli, apalagi berfungsi seperti yang sudah diceritakan di atas.
Bahkan, saat manusia telah berbaring di dalam gundukan tanah, konon masih bisa mendengarkan derap langkah kaki saudara kita yang satu persatu meninggalkan kita di tempat gelap, sempit, dan kotor itu.
Alasan apa yang membuat leher bisa digerakan hampir 180˚? Kita lebih sering melihat sesuatu yang menyenangkan di depan kita, daripada sejenak menengok ke belakang agar tidak tertipu oleh fatamorgana di hadapan kita, seperti yang telah di alami orang-orang di belakang kita – para pendahulu. Hanya orang-orang sehat, yang lehernya waras, yang bisa selalu menengok ke belakang untuk melihat, menyaksikan, mengambil pelajaran, memungut bekal, untuk menjelajahi jalan yang terbentang di depan kita. Mengenang orang-orang yang telah kita tinggalkan, atau mengizinkan kita untuk menapaki kehidupan selanjutnya, sekedar mengingat orang-orang yang telah lebih dulu berbaring menyatu dengan tanah.
“Apa kau kira ia jauh darimu? Ia selalu dekat denganmu, hanya saja inderamu yang terbatas saat ini hingga kau tak sanggup untuk menatapnya. Kejarlah dunia hingga kau kehabisan tenaga, pada akhirnya kau akan seperti orang kehausan yang meminum air laut. Kuasailah orang-orang yang lemah, seperti kau menguasai hembusan nafasmu, jangan hiraukan Sang Penguasa segalanya, karena Ia tidak ada dan tak pernah ada. Tindaslah orang-orang yang ada di bawah ketiakmu, layaknya kau menginjak-injak sejarah yang telah terlewat. Dan tunggulah saat kau sekarat. Ia akan muncul tergantung seberapa banyak kebaikan yang telah kau lakukan. Ia akan muncul di sebelah kanan jika kau memiliki kebaikan yang cukup untuk bersemayam di sisi-Nya. Dan ia akan muncul di sebelah kirimu, jika hidupmu hanya untuk mengejar kepentingan pribadi, menindas orang yang lebih lemah darimu. Kau tahu siapa dia? Ia adalah dirimu yang menjelmakan diri menjadi Izroil…” ucap Jon beberapa bulan lalu.
Jon pernah menceritakan pengalaman spiritualnya saat ia masih seumuran denganku. Dalam imajinasi asketisnya, ia pernah melihat tangga melingkar dari permukaan tanah menuju langit, yang terbuat dari pelangi. Ia menaiki tangga pelangi itu, namun di tengah jalan ia dicegat oleh seseorang yang tak ia kenal. Melarangnya untuk meneruskan perjalanannya. Entah apa artinya cerita itu, yang pasti saat itu aku hanya pusing karena tak mampu mengimbangi suasana kejiwaannya. Beberapa waktu setelah ia menceritakan itu, ia ternyata telah mendaki tangga pelangi itu hingga tiba di hadapan-Nya.
“Terus naik! Dakilah terus!” teriak Jon saat kami berpetualang naik gunung suatu saat. Ia tidak mempedulikan rasa lelahnya telah berjalan sekian jauh. Ia hanya selalu berteriak agar aku terus mendaki mengikuti langkahnya yang telah jauh di depan. Aku baru sadar, terkadang kita mudah putus asa dalam menaklukan kehidupan ini, bak mendaki gunung. Seperti yang ia teriakan padaku, “Dakilah terus!” seakan ia berpesan agar aku bisa menghadapi segala ‘hiburan’ yang datang bertamu. Seberapapun terjal jalan hidup ini, sekalipun penuh liku, kerikil, bunga-bunga di tepi jalan, dakilah terus hingga sampai di tujuan. Manusia bukanlah yang menentukan apa yang diusahakan, manusia hanya mengusahakan apa-apa yang Dia tentukan. Ia tidak akan memberikan apa yang kita inginkan, tapi Ia akan menghadiahkan apa yang kita butuhkan. Termasuk kebutuhan untuk menyatu dengan-Nya.
“Aku tidak akan merepotkan Izroil untuk susah-susah menjemputku. Karena aku hanya orang kecil,” kata seseorang.
“Lha, bagaimana kalau ternyata ia sudah dan selalu ada di dekatmu, hanya kamu saja yang tidak melihatnya?” jawab Jon Traktor. Aku hanya diam mendengarkan dialog mereka. Merinding membayangkannya.
Kamis 04 November 2010 Indekost Olangan
Tags