Tulisan (tepatnya corat-coretan) ini, sebagai kelanjutan dari diskusi tadi sore tentang ’bahasa sederhana’.
Saudara pembaca yang sudah pernah menonton film Im Not Stupid Too atau mungkin Obama Anak Menteng pasti melihat adegan ketika tokoh utama (anak SD) bertanya tentang ’Dari manakah asalnya bayi?’ pada gurunya. Apa yang akan kita jelaskan pada anak kecil tersebut – jika kita diposisikan di sana – agar si penanya paham? Akankah kita menggunakan bahasa ilmiah dari mulai cairan sperma hingga ovum? Atau bagaimana?
Terkadang kita sering meremehkan pertanyaan yang terdengar ’sepele’ seperti itu. Atau mungkin kita yang sok jadi mahasiswa, terkadang ’sombong’ dengan menjelaskan konsep-konsep kaum intelek pada masyarakat awam dengan bahasa ’saklek’. Lucunya, kita terkadang (atau mungkin selalu?) tidak sadar telah melakukan kesalahan itu. Pengalaman pribadi pernah aku alami saat ada anak SD yang bertanya, ”Pak, Allah sekarang sedang apa ya?” apakah kita akan menjawab dengan bahasa kita, bahwa Alloh tidak sedang beraktivitas, karena aktivitas terbatas oleh ruang dan waktu, sedangkan Alloh tidak terbatas oleh dimensi?
Pengalaman – tentang masalah ini – sebagai mahasiswa (kaum yang sok pinter) yang belajar mengabdi pada masyarakat, sangat terasa saat KKN (kuliah kerja nyata). Begitu banyak persoalan dari mulai sosial politik, hingga agama yang masyarakat belum paham akannya. Tentu saja, aku harus menjelaskannya dengan bahasa mereka. Di sanalah – dekat dengan masyarakat, waktu ketika kita ditempa untuk menjadi jenius. Karena jenius adalah bagaimana kita dengan mudah menyederhanakan sesuatu yang rumit – Gregor Mendel.
Jika kita mengamati bahasa kita sehari-hari, mungkin bisa kita bagi dalam beberapa ’potongan’. Bahasa yang baik dan benar, bahasa baik dan enak, dan bahasa kaum terminal. Semuanya berbeda ruang dan waktunya. Coba saja kita bayangkan jika hendak naik becak, namun menggunakan bahasa yang baik dan benar. ”Bapak, hantarkan saya menuju Rumah Sakit ’anu’,” bukankah terdengar tidak wajar? Apa susahnya tinggal mengatakan, ”Pak, ke rumah sakit ’anu,”?
Bahasa sederhana sangat dibutuhkan, karena akan kita – yang mengaku kaum intelek/mahasiswa – gunakan sebagai penghubung dari ’langit’ (bahasa akademis) ke masyarakat awam. Meskipun tidak dengan tujuan untuk meremehkan mereka juga. Karena tetap saja, kita harus melihat latar belakang sosio-kultural masyarakat tempat kita berkomunikasi. Lebih khusus untuk para guru atau pengajar. Kita seringkali ’sombong’ dengan sok mengeluarkan bahasa ’langit’. Walaupun tidak jarang juga, kita sebenarnya tidak paham benar apa yang kita ucapkan. Beberapa rekan diskusi yang sedang praktek mengajarpun menyadari hal ini. Bahwa sebagai guru, kita harus mampu menyederhakan bahasa-bahasa yang rumit.
Seorang rekan diskusi yang sedang praktek mengajar juga sempat teringat, ada satu siswa yang pernah bertanya, ”Ibu, nyeleneh itu apa?” ia jawab ”nyeleneh itu artinya menyimpang,” lalu siswa bertanya lagi, ”menyimpang itu apa, bu?” hingga akhirnya ia berpikir sejenak untuk mencari kata yang lebih sederhana.
Coba kita pikirkan, jika kita diposisikan dalam sebuah forum desa, yang sedang membicarakan tentang demokrasi. Apa yang akan kita jelaskan? Apakah ”Demokrasi adalah paham pemikiran tentang kebebasan dalam berpolitik. Dalam hal ini, pemerintahan harus memiliki intelektualitas tinggi. Agar transparansi menegemen pemerintahan berjalan terstruktur.” bisa bayangkan, wajah warga desa seperti apa?
Merujuk pada tridharma perguruan tinggi – pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian pada masyarakat, seharusnya kita memiliki ’bekal’ bahasa yang cukup untuk masyarakat manapun. Wajar jika kita bicara menggunakan bahasa intelek pada masyarakat kampus. Namun sangat tidak wajar kita menggunakan bahasa yang sama di tempat yang berbeda – desa pelosok misalnya.
Seorang yang cerdas, salah satunya dilihat dari cara komunikasi yang ia lakukan. Tidak ada seorang ’duta’ atau diplomat yang diutus tanpa mengerti bahasa tempat yang dituju. Tidak ada pejabat yang akan menengok masyarakat di daerah pelosok tanpa memahami kondisi historis masyarakat tersebut – entah kalau di Indonesia. Sangat rawan jika kita tak mengetahui alat komunikasi kehidupan ini – bahasa. Beda daerah, beda bahasa. Lain rumput, lain belalang. Semua memiliki bahasa masing-masing. Dan tugas seorang yang mengenyam pendidikan tinggi, jelas harus mampu memahami hal ini.
Mungkin kita merasa sebagai orang yang banyak membaca buku, juga perenungan kita cukup dalam. Namun ketika berbicara dengan teman, seringkali mereka tidak paham. Nah, saat itulah kita salah dengan persepsi kita sendiri. Orang lain mungkin tahu, kita ingin mengingatkan mereka – yang salah misalnya. Namun karena bahasa kita yang tak dimengerti, akhirnya niatan kita tak tersampaikan. Seseorang yang mudah bergaul, biasanya mudah memahami bahasa orang lain. Gampang menyederhanakan bahasa rumit yang belum dimengerti kawan bicaranya. Bahkan, Allah pun mengutus setiap nabi dengan mengerti bahasa kaumnya. Wamaa arsalnaa mirrosuulin illa bilisaani qoumih... begitupun dalam beberapa hadits, bahwa para ulama – ilmuwan – harus menggunakan bahasa sederhana di masyarakat tempat ia berada. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ’keawaman’ kita. Seperti penamaan masjid misalnya, rasulpun mencontohkan untuk menamakannya secara sederhana, nama tempat misalnya – masjid Quba. Penamaan yang menggunakan bahasa – misalnya – arab, menjadikan kita semakin terlihat ’keawamannya’. Padahal, saran rasul, kita harus menggunakan bahasa kaum kita dalam menyampaikan risalahnya. Cukup saja beri nama ’Masjid Besar Bandung Raya’ misalnya. Aku kira tidak akan mengurangi kesucian dan kemegahan masjid tersbut.
Tidak salah, perkara menyederhanakan bahasa merupakan pekerjaan ’berat’ atau membutuhkan waktu yang relatif lama. Mungkin, tapi tidak pasti. Karena jika kita belajar, maka dengan sendirinya otak kita akan terbiasa mencari padanan kata yang lebih sederhana sebagai penggantai kata-kata intelek.
Rabu, 4 Mei 2011
paragraf 9...
ReplyDeleteada orang yg ga ngerti ma bhas tmpat yg dituju. contohnya aja kmrin ktika komisi 8 studi banding k aussi. hanya bebera[pa orang aj yg aktif bhsa inggris, lainnya blepotan.. gkgkgk
ntuh diaaa...para bapak kita nyang terhormat ntuh,lebih biasa pake bhsa terminal,apalagi klo mau berantem 'di kelas',jangankan bhsa inggris,bhsa indonesia nyang baik en benar aja masih byk nyang kgak bsa...hqhqhqhq
ReplyDelete