(Coretan ‘aneh’ ini aku hadiahkan untukmu wahai pemimpin ummat, Muhammad ibn Abdullah)
Selasa 12 Rabiul Awal 1431 H
Innallaha wa malaikatahu yushollu ‘ala nabiy ya ayyuhaladzina amanu shollu ‘alaihi wa salimmu taslimmaa… Allahumma sholli ‘ala (Sayyidina) Muhammad wa ‘ala ‘ali (Sayyidina) Muhammad.
Nampaknya akan begitu susah, jika harus membangun ulang pengetahuan ummatmu, wahai nabi, tentang kapan tepatnya engkau dilahirkan. Ibn Ishak meriwayatkan bahwa Engkau lahir di tanggal 12 Rabiul Awal, padahal 12 Rabiul Awal bukanlah hari Senin saat tahun gajah itu. Melainkan hari Kamis. Namun rasanya bukan masalah, toh selain ummatmu seperti aku ini – melupakan sejarahmu, juga nyaris tak peduli dengan apa yang para pendahulunya telah kerjakan untuk ummat setelahnya. Harusnya kemarin Sabtu aku mengucapkan ‘happy birthday’ untukmu, tapi aku benar-benar lupa. Maaf!
Selalu sama, di hari peringatan kelahiranmu kali ini pun, aku belum bisa memberikan apa-apa sebagai bukti, bahwa aku adalah ummatmu. Ungkapan cintaku padamu dan sayangku pada seluruh alam, seperti apa yang Engkau ajarkan, sebatas retorika yang aku hapalkan dari buku-buku. Agar Engkau menganggapku sebagai ummat yang baik. Begitu munafik ‘kan ummatmu yang satu ini, wahai nabi?
Terkadang aku bermimpi hendak menjadi seperti Ibn Sina yang menjadi maskot kedokteran agama yang Engkau pegang teguh. Hingga kini, buku yang ditulisnya menjadi ensiklopedi baboon di Harvard University. Bercita-cita seperti Al Fatih yang menaklukan Konstantinopel dengan ide lugu nan jenius yang belum pernah terpikirkan oleh para jendral perang sebelumnya. Terkadang sekedar ingin menjadi seperti Saladin, yang kurus kecil dan sok sufi yang menjadi teladan dan kawan oleh musuh-musuhnya. Namun ternyata aku hanya menjadi manusia kecil, bahkan lebih tak berguna dari semut kecil yang memberikan palajaran pada manusia.
Demi menjadi ummat terbaik dihadapanmu, aku pernah merasa begitu dalam mempelajari ilmu pengetahuan agar bisa sepertimu. Belajar tentang semua pengetahuan, melogikakan semua hal, hingga berkeinginan seperti Al Farabi yang ‘menyingkap’ tirai persembunyian Tuhan. Tapi pada akhirnya aku sadar, semakin dalam aku mepelajari pengetahuan ‘sesat’ itu, semakin aku berbeda dengan orang-orang lain. Bukan berarti aku tak berani berbeda dengan yang lain. Namun seringkali, di zaman ini, yang beda akan disebut gila. Seperti Engkau yang disebut penyihir dan orang gila oleh Jahal dan Lahab. Juga mirip Nuh yang dianggap gendeng oleh ummatnya, ‘hanya’ karena membuat perahu di gurun pasir.
Sungguh, haqqul yaqin, aku bukanlah ummatmu yang baik. Belum ada sumbangsih yang begitu hebat di umurku yang ke-22 ini. Begitu malu diri ini yang sedikitpun tak bisa meniru para pecintamu ; Al Fatih yang menaklukan Konstantinopel di umur 21 tahun, Syafi’I yang menjadi ulama di umur 15 tahun, Ath Thabari yang menjadi ulama di umur 9 tahun, atau sekedar seperti Abdus Salam fisikawan muslim modern dari Pakistan. Kadang aku berpikir, ‘Apa yang aku perbuat selama 22 tahun ini? hanya tidur kah? Atau aku sebenarnya mati, meskipun tanpa mata terpejam?’
Engkau yang tidak bersekolah, bahkan sedikitpun tidak menikmati bangku kuliah, menjadi nomor satu di dunia. Sedangkan aku? Begitu bodoh. Sekolah dasar tujuh tahun, itupun dengan terlalu banyak menentang guru. Sekolah saja aku bodoh, apalagi tanpa menikmatinya? Kadang aku berpikir, apakah Tuhan tidak salah menciptakan makhluk seperti aku yang nyaris tak berguna? Entahlah. Yang pasti, Ia selalu sempurna.
Pernah suatu waktu aku menjadi orang yang sok zuhud. Mencoba menajamkan hati, hingga benar-benar masyuk ketika perasaan merasa menyatu denganmu. Namun, pada akhirnya aku sadar, zaman itu hanyalah satu fase. Kini aku menjadi orang yang tak berdaya, tak mampu menguasai diri sendiri. Jika ada yang bertanya akan ke mana, aku hanya menjawab, ‘Terserah Sang Penggerak Utama’. Bukan berarti aku tak berusaha. Aku bekerja, namun pengalaman yang aku dapatkan menjadikan aku hidup tanpa harapan. Mengalir begitu saja.
Kadang aku merasa begitu sial (di artikel 1&2 di bawah), hingga seakan aku bisa merasakan kepahitan yang pernah Engkau alami saat itu. Namun memang belum seberapa, Engkau tetap yang terhebat. Masih bisa tersenyum pada orang yang menimpalimu dengan ‘kerikil’ saat di Tha’if, masih bisa santun pada pengemis Yahudi yang, sambil Engkau menyuapinya, ia menghinamu. Untunglah, hatinya tak buta seperti matanya. Masih bisa tidur nyenyak dengan pelapah kurma, padahal Engkau adalah Rasul! Sering kelaparan, masih memiliki hutang saat Engkau wafat, pun hanya beberapa orang saja yang melayatmu hingga peristirahatan terakhir. Untunglah, Ia yang ‘di sana’ membalasmu, menjadikan makammu tempat yang kontinyu dikunjungi ratusan juta ummatmu tiap tahun.
Maafkan aku Ibn Abdullah. Aku masih bisa tidur nyenyak dengan selimut yang hangat, di saat banyak ummatmu yang lain kedinginan dan menggigil. Aku sangat bisa makan kekenyangan di saat ummatmu masih banyak yang tidur dengan rasa lapar – meskipun tubuhku tak ikut membesar. Aku memang lemah, bodoh, dan tak berguna. Pun penyesalan ini aku yakin, besok setelah terbangun dari tidur, aku kembali meludahimu, menginjak-injak riwayatmu. Aku tidak pernah mengharapkan Engkau memafkan aku, Karena ku tahu, kebodohanku yang sangat memalukan ini, sangat tak pantas untuk bisa berharap padamu.
Ampunilah aku wahai Rasululloh, biarlah aku memasuki neraka-Mu. Seandainya ini tidak cukup, tundalah memasukan ummatmu yang lain ke dalam neraka-Mu sebelum tuntas hukumanku. Jika telah selesai hukuman-Mu padaku, hukumlah aku kembali sebagai ganti mereka. Semoga itu cukup. Meskipun aku tak yakin, Engkau bisa menyiksa makhluk-Mu. Karena akulah yang menyiksa diriku sendiri.
Sesungguhnya Allah dan para malaikat bersholawat kepada Nabi (Muhammad), wahai orang-orang yang beriman, bersholawatlah agar kamu mendapat keselamatan dan rahmat (Cinta)-Nya. Wahai Allah, curahkanlah selalu keselamatan pada Nabi Muhammad beserta keluarganya....
(Artikel I)
Cerita lucu dari kawan I
Rabu 20-01-10
Di pagi yang cerah, sebuah cerita lucu membuka dan mengiringi awal kehidupan di rumah kami. “aku ingin bunuh diri.. tapi aku takut mati..” suara sendu ibu kami mengawali sebuah dialog. Dua bulan terakhir, keluarga kami sepertinya tengah mendapat ujian dari-Nya (semoga saja bukan azab). Hanya karena ulah bapak yang dengan mudah di’ajak’ seorang ‘baik’ ulung dari Jakarta, yang mau dengan polosnya memberikan uang puluhan juta dengan dalih sedekah yang diletakan di tempat-tempat aneh dan lebih menjurus ke syirik. Tentunya atas perintah ‘orang baik’ itu. Lebih lucunya lagi, uang itu didapatkannya dari berhutang. Mereka (‘orang baik’) mengatakan, dengan bersedekah seperti cara itu, dua kakak kami yang belum menikah, akan segera dengan mudah mendapatkan jodoh. Juga warung sederhana kami akan ramai setelahnya. Lucunya (atau mungkin ironi?), dua kakak kami yang belum menikah bukannya tidak ada yang mau/tak ada kesempatan, hampir belasan orang telah siap menjadi pendamping hidup dua kakak kami, tapi gara-gara sikap bapak yang menginginkan calon menantu ideal (kaya, tampan/cantik dsb) belasan kali pula beliau sendirilah yang menolaknya!
Kedua, tentang warung. Alhamdulillah setelah 20 hari setelah sedekah di tempat-tempat aneh sesuai perintah ‘orang baik’ itu (yang sebenarnya uang itu mereka ambil), warung kami lebih sepi dari 20 hari sebelum ritual sedekah itu, bahkan pernah uang di laci berjumlah sebanyak 500 perak! Pengalaman yang belum pernah terjadi sebelumnya dan semoga tak lagi.
Ibu hampir-hampir depresi dan ingin bunuh diri, walaupun kami selalu memberi semangat yang semoga saja membuat beliau lebih tenang. Kakak kami yang laki-laki (di keluarga kami, hanya kami dan satu kakak kami yang berjenis laki-laki, selain bapak kami tentunya) yang menjadi tulang punggung keluarga sempat berniat kabur dari rumah, karena tak tahan dengan sikap bapak. Dia bertekad minggat jika bapak mengulangi perbuatan seperti itu lagi (berhutang untuk hal yang percuma tanpa memikirkan keadaan keluarga).
Jika itu terjadi, kakak kami yang perempuan yang paling tua, akan semakin menutup diri dan akan stress seperti hari-hari sebelumnya (karena tak ada teman curhat). Dan kami? Apa yang bisa dilakukan seorang mahasiswa yang kerjanya hanya baca buku dan menghapal teori? Sedangkan, kakak kami saja yang berkali-kali menasehati bapak dengan cara santun/pun agak menekan, pun gagal! Kami tak tahu, apakah kami bisa mengembalikan kesadaran bapak kami seperti dulu. Tapi kami harus yakin, kami bisa! Biar bagaimanapun, kami harus kuat, agar bisa menang!
Kami tak tahu harus bagaimana, tapi kami juga takut jika kejadian seperti ini berlanjut terus. Dan tak pernah membayangkan perpecahan ‘gila’ seperti apa jika kami tak bisa mengembalikan bapak kami seperi dulu. ‘orang baik’ itu telah ‘menidurkan’ kesadaran bapak kami, hingga beliau tak bisa ‘melihat’ betapa menderitanya orang-orang di keluarganya. Kami tak ingin menyalahkan ‘orang baik’ itu yang telah mentraktir makan di restoran-restoran mahal di Jakarta dan berputar-putar mengelilingi kekayaannya beserta bapak kami. Mungkin ini kesalahan kami, yang tak bisa menjaga bapak, kurang memberi penghargaan dan rasa penting kepadanya.
Ibu sering menangis dikarenakan tidak adanya uang untuk membeli sembako. Sedangkan, para saudaranya sudah tak percaya lagi dengan kami. Mereka tak mau lagi ‘meminjami’ sedikit rizki-Nya, karena memang terlalu sering. Ketika ini terjadi, bapak malah semakin menyalahkan Ibu. Kalau ini terjadi lagi, apa yang harus kami lakukan? Haruskah kami menjual diri ini ke tante-tante di real estate sana?
Kami sering berpikir, kenapa cobaan seperti ini menimpa kami? Kami bukan keturunan priyayi, juga bukan keturunan ulama, uztadz, kyai, apalagi Ahlulbaith (keturunan Rasul). Tapi kenapa seakan ujian ini seperti tak kunjung usai? Kami berusaha agar selalu taat kepada-Nya, kami buktikan dengan menolak ajakan dua wanita berbeda (di waktu berbeda) untuk melakukan hubungan intim. Tapi dosa apa yang membuat kami mendapatkan kehormatan untuk menyelesaikan ‘tugas’ ini? Sedangkan kami hanya mahasiswa tak tahu apa-apa tentang kehidupan. Hanya mahasiswa!
Kenapa ‘tugas’ seperti ini yang datang? Membuat makalah, resensi buku, artikel, cerpen atau bahkan novel dan buku ilmiah, akan kami lakukan. Tapi masalah kehidupan seperti ini, benar-benar tak diajarkan di kampus kami. Ini jelas, bukan wilayah kami! Hhh.. biar bagaimanapun, kami harus menyelesaikannya!
Kenapa bukan orang lain saja yang mendapat ujian ini? Ke laki-laki yang jarang/tak pernah sholat kek. Suka berfoya-foya kek, tak patuh ke orang tua kek, atau ke laki-laki yang berpacaran mungkin, suka merusak alam barangkali. Kenapa kami? Orang yang hampir-hampir primitif, yang hampir-hampir tak mengenal dan takut ke wanita (walaupun ‘rasa’ tetap ada)?
“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia. Agar kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan kekal.” (QS. Thaha:131)
“Allah tidak membebani hambanya sesuai dengan kemampuannya..”
“Hakekatnya, kesusahan itu kebahagiaan sesungguhnya, sedangkan kesenangan dan kegembiraan adalah kesusahan sebenarnya..” (Al Habib Abdul Hadi bin Zein Baraqbah)
(Artikel 2)
Cerita lucu dari kawan II
05-02-10
Belum genap dua hari di Bandung, ternyata ujian yang kemarin harus kami hadapi di rumah, naik ke level selanjutnya. Seperti di sebuah permainan komputer, stage by stage. Kemarin, sebelum berangkat ke Bandung, kami harus rela mendengarkan bahwa bapak kami telah ‘meminjam’ emas sebesar 50 gram (sekitar 10jt) untuk membayar hutang plus uang saku berangkat kami kuliah juga kebutuhan sehari-hari keluarga. Entah dengan apa kami akan melunasinya, yang hampir setiap waktu harga emas naik tapi tak pernah bisa turun (mungkin takut luka, barangkali jatuh). Juga entah kapan kami akan melunasi hutang itu. Sedangkan pendapatan kami hanya dari pensiunan bapak yang hampir tiap bulan ‘habis di jalan’, dan warung sederhana yang tak tentu untung ruginya. Apalagi dengan karyawan yang selalu merengek karena kurang dalam hal gaji. Bukan berarti kami tak mau memberi, tapi memang pendapatan warung sungguh lagi seret!
Ke bandung, kemudian ke kampus. Di sini, ternyata telah menunggu ‘sedikit’ ujian yang menanti dengan ‘senyum’ manisnya yang tak tahan ingin mendekap kami. Empat mata kuliah BL/belum lengkap (kami tak menyalahkan dosen, walaupun nyata-nyata kami tak menyalahi prosedur. Dan jelas, tak ada satupun dosen yang mau disalahkan – dikritik – baik di Bumi ataupun Planet Mars), keinginan mendapatkan beasiswa (mungkin) gagal, karena telat memberikan syarat-syarat, yaitu KTM (kartu tanda mahasiswa) hilang! Sebagai salah satu syarat mendapatkannya. Entah wanita mana yang nekat mengambil KTM yang sudah tidak ada foto kaminya. Semesteran ternyata belum lunas, dikarenakan dana transfer (hutang di teman) sebesar 350 ribu 2 minggu sebelum batas akhir pembayaran, gagal alias hilang! Dana tak dapat, hutang tetap harus dibayar. HEBAT! Darimana kami mendapatkan dana sebesar itu? Alhasil, kami tak tercantum dalam KRS (kartu rencana studi), alias (belum) tak terdaftar sebagai pengontrak kuliah semester 6. Ada satu cara agar bisa ditangguhkan pembayaran kuliah kami, tapi ya itu dia, salah satu syarat penangguhan adalah adanya KTM. Sedangkan pembuatan KTM memakan waktu satu minggu, itupun jika pegawai pembuat KTM makan nasi dan minum kopi di pagi hari. Jika tidak, sulit sekali bisa selesai dalam satu minggu. Semoga saja kami bisa!
Kami mencoba tak mengeluh, memikirkan biaya hidup (makan, kosan, dll) tapi kenyataan seperti ini! Urusan wanita dan jabatan di kampus, kami bisa dengan sederhana menyelesaikannya, karena memang tak terlalu tertarik (mengkin belum waktunya). Tapi masalah dana? UgH! Selalu lebih ‘ramai’ dari dua masalah tadi. Kenapa kami tak jujur saja ke keluarga? Hhh.. kami telah bertekad, tidak akan bercerita tentang kesusahan-kesusahan di sini. Lalu bercerita ke siapa? Teman? Dosen? Yang sudah-sudah, mereka hanya melakukan dua hal. Pemberian ceramah (yang seringnya tak kami butuhkan) dan pemberian dana dengan sebelumnya mengucapkan, “Aduuh.. kasihan..” dengan kata lain, memberi bantuan atas rasa kasihan. Bukan ‘sayang’, atas dasar kemanusiaan. Bukan bantuan seperti itu yang kami inginkan.
Lalu, cerita ke siapa? Akhirnya, selalu dan selalu, hanya angin, awan dan langit, juga rekan-rekan ‘bisu’ yang lainlah tempat kami ‘curhat’. Dan anehnya, mereka bisa dikatakan lebih baik dalam hal ini daripada manusia. Benar-benar sahabat setia!
Dalam pikiran kami, ada dua jalan terdekat. Terus berusaha menghadapi ujian ‘kecil’ itu dengan terus kuliah. Atau cuti kuliah satu semester agar bisa fokus dengan dunia penulisan. Menyelesaikan ujian-ujian itu dengan tetap kuliah, pasti dengan resiko salah satu buku kami yang lagi kami susun tak kunjung beres. Yah, walaupun tak begitu berharga, minimal ini bukti kami menjadi mahasiswa, KARYA! Dan yang jelas, kami belum tahu apakah bisa menyelesaikan ujian-ujian itu, meskipun kami yakin, BISA! Walaupun tetap saja, pikiran negatif (atau mungkin positif?) datang, mungkin saja kuliah akan semakin tak jelas bila tak fokus menyelesaikan ‘ujian’ ini. “Sudah.. cuti saja, kau bisa fokus ke dunia penulisan. Lagipula, jika mengambil pilihan yang pertama, belum tentu kuliahmu akan lancar. Belajarlah dari masalalu, semester kemarin. 4 mata kuliah BL!” teriak suara di pikiran kami.
Atau mungkin pilihan kedua, cuti kuliah? Lalu bagaimana dengan keluarga di sana, yang mengira kami kuliah? Akan lebih efektif bila kami tak kuliah berada di rumah, karena benar-benar akan menghemat pengeluaran keluarga. Hhh.. apa yang harus kami lakukan? Sudah terlanjur tertanam di hati kami, tak akan lama dalam masalah membayar hutang. Tapi darimana kami mendapat dana untuk semua ini? Dan sekali lagi, kami harus teriak keras-keras dalam hati, ‘BAHWA KAMI HARUS KUAT! AGAR MENANG!’ semoga saja ini adalah cara-Nya agar kami lebih dewasa dalam menghadapi permasalahan hidup dan lebih dekat dengan-Nya.
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar..” (Q.S. Al Qashash:80)
“Hakekatnya, kesusahan itu kebahagiaan sesungguhnya, sedangkan kesenangan dan kegembiraan adalah kesusahan sebenarnya..” (Al Habib Abdul Hadi bin Zein Baraqbah)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar..” (Q.S. Albaqarah:155)