Seorang teman bertanya, “Kenapa kamu nggak PPL semester ini?” saya jawab, “Mau jawaban jujur, atau asal?” jelas, akhirnya aku jelaskan dua-duanya. Manusia memang cenderung rakus, termasuk dalam ilmu pengetahuan. Sekitar tahun 2009, aku pernah berjanji pada dua orang kakak tingkat untuk menemani salah seorang teman mereka, setelah dua orang itu lulus. Alasan inilah yang membuatku mengurungkan PPL di semester genap.
Memangnya, mengapa sampai aku berjanji seperti itu? Dan memangnya siapa kakak tingkat yang harus aku temani itu?
Entah berapa kali aku pernah mengatakan hal ini, bahwa setelah lulus nanti, aku akan kembali menyatu bersama masyarakat – bukan di tempat ini. Sebelum waktu itu datang, jelas aku harus menyelesaikan tugas-tugas di tempat ini. Bukan hanya tugas dengan imbalan nilai kuantitas, tetapi juga nilai humanitas. Kuliah bukan sekedar urusan tugas makalah dan nilai kuantitas saja – paling tidak ini yang aku pegang, tetapi di sana juga ada sisi-sisi kemanusiaan yang jarang kita selami. Tentu saja, hal itu mungkin tidak ada di dalam perkuliahan.
Mengapa aku berjanji seperti itu, karena aku anggap hanya hal kecil itu yang bisa aku berikan sebagai ucapan terima kasih padanya – mereka, karena telah bersusah payah menjadi kakak tingkat yang sangat direpotkan olehku – adik angkatannya. Seringkali aku berucap, mungkin benar aku ini orang bodoh, tapi dapat aku pastikan aku bukanlah orang yang tak tahu terima kasih. Karena alasan ini juga aku mau menemaninya. Sama sekali tidak ada paksaan. Kehidupanku bukanlah pilihan seperti kebanyakan orang lain. Namun senantiasa mengalir – Panta Rhei. Bukan berarti tanpa arah dan tujuan yang jelas, plin-plan dalam kehidupan ini. Namun sebaliknya, layaknya air yang mengalir, aku memiliki tujuan yang jelas. Muara atau samudera yang terlihat di depan mata, hanya perlu menjalani prosesnya saja.
Jika dalam kehidupan yang – jika dibandingkan dengan kehidupan masyarakat umum – bisa dikatakan sepele seperti ini saja aku tak mampu menggali sisi-sisi kemanusiaan itu, akan jadi apa saat keluar dari kampus ini kelak? Jadi guru atau tokoh masyarakat yang hanya datang ketika dimohon kehadirannya sajakah? Atau jadi PNS yang menghabiskan ongkos untuk keperluan pribadi keluarga saja?
Siapa kakak tingkat itu hingga harus aku temani? Pantaskah pertanyaan seperti ini keluar dari mulut seseorang yang sebentar lagi mengabdi, bersatu dengan ‘jantung’ masyarakat? Bukan siapa dia, tapi SIAPA AKU? Siapa diri ini hingga berani memutuskan jalan yang lebih ‘ramai’ daripada yang sepi dan sejuk?
Gautama pernah mengatakan, bahwa ‘Pengetahuan adalah Neraka’. Socrates pernah berucap, bahwa ‘Manusia tidak pernah benar-benar tahu’. Muhammad ibn Abdulloh pernah berwasiat, ‘Ilmu-lah yang akan menjadikan manusia dalam keuntungan atau kerugian’.
Jika pertanyaannya, ‘Siapa orang itu hingga aku mau menjadi TEMAN-nya’, jelas terlihat aku belum pernah benar-benar menjadi manusia. Karena manusia yang aku pahami, selalu mengarah ke pemikiran dan tindakan universal meskipun ego seringkali mencegahnya. Manusia, dalam bentuk apapun – entah ia presiden, professor, atau sekedar mahasiswa ingusan – seharusnya tahu diri dari arti kemanusiaannya. Namun seperti yang diungkapkan mahaguru Ariestoteles itu, bahwa ‘Manusia tidak pernah benar-benar tahu’ arti kemanusiaannya sendiri. Manusia cenderung lebih terhormat jika terkotakan dalam wujud pembungkus yang nampak lebih hebat. Lebih suka menjadi presiden, ketua partai, penguasa daerah, penguasa kampus, ketua oraganisasi – dengan menghilangkan arti kemanusiaannya.
Sebelum beranjak pergi, aku akan mengabdikan hidup ini pada Tuhan, dengan implementasi pada para hamba-Nya di sini. Menjadi teman para mahasiswa kesepian, para aktivis yang ditelantarkan, para organisatoris yang ide dan gagasannya tak pernah didengarkan. Sama sekali tidak ada keinginan atau bahkan kepentingan dalam fase ‘aktorisasi’ mahasiswa ini. Silahkan saja orang skeptis padaku, bahwa aku memiliki kepentingan sedemikian rupa. Boleh juga ragu atau bahkan curiga dengan gelagatku. Tapi satu yang harus diketahui, setelah ragu, skeptis, atau curiga itu tak terbukti, satu kepastian akan terungkap bahwa tindakan itu bagaikan telah menanam ‘buah kecurigaan’ di tempat yang salah. Dan saat itu, sudah terlambat untuk mengambil kembali prasangka yang keliru itu.
Sebelum beranjak pergi, aku hanya bisa menganjurkan pada orang-orang terdekatku, bahwa fase mahasiswa ini, layaknya hidup, hanya sementara. Mengajak orang-orang yang masih mau belajar dan memahami diri dari orang lain. Saling menyapa, belajar dari para tukang bejak, ibu-ibu penjual jamu, hingga para tante penjual ‘daging’ dipinggir jalan di malam hari. Hanya sekedar memperlihatkan, bahwa ada kehidupan yang lebih ‘ramai’ di luar istana bernama kampus. Walaupun aku sadar, selalu lebih nyaman hidup di dalam istana dari pada di jalanan. Pasti memuaskan hidup dengan menghabiskan fasilitas untuk sendiri, daripada untuk dibagi-bagi. Masih selalu menyenangkan ‘membuang waktu’ dan tenaga untuk tidur dan berasyikan dengan kekasih, daripada berjalan menyapa dan berkomunikasi dengan para gelandangan.
Sebelum beranjak pergi, aku hanya memberikan sebuah pelajaran. Bukan pelajaran hidup dariku, juga bukan berarti aku mengajari. Pelajaran kehidupan bahwa waktu adalah suatu putaran roda pedati yang sangat cepat, meskipun tanpa kita sadari. Dari kecepatan itu, kita terlena tanpa bisa meninggalkan sebuah warisan atau karya untuk para pelanjut peradaban. Sebatas mengingatkan, bahwa kehidupan yang sejenak ini harus diwarnai dengan wujud-wujud yang membuktikan kita pernah ada setelah terkubur dua meter di bawah tanah.
Sebelum beranjak pergi, bermimpilah! Menjadi manusia-manusia penegak peradaban dan kebenaran. Seperti yang dinasehatkan oleh Muhammad ibn Abdullah, ushikum bisholati wama ‘aimanukum… peliharalah sholatmu dan lindungilah orang-orang lemah di antaramu. Tak takut kesepian karena memelihara kebenaran. Selalu bahagia terhadap cacian yang diberikan orang. Dan senantiasa ‘mengaliri’ setiap pojok-pojok kehidupan yang jarang tersentuh oleh manusia terpelajar model mahasiswa.
Sebelum beranjak pergi, aku hanya bisa memberikan sebuah doa, sebuah rasa yang tak mampu terucapkan kata. Bahwa hidup adalah sekejap dengan bentuk dan segala sistematika ujian yang menyempurnakannya. Tetaplah bermimpi jika tak mampu mengubah dunia ini. Tetaplah bergerak, meski dinding penghalang begitu keras dan liat. Teruslah berjuang, karena waktu sangatlah mahal jika percuma terbuang.
(Minggu, 27 Maret 2011)