Aku tak pernah menyangka, persahabatan dengan makhluk ‘unik’ yang jarang aku temukan di dunia ini berakhir begitu cepat. Saat aku datang di rumahnya yang sederhana, dari luar terlihat para tetangga yang tengah berkumpul di ruang tamu, bertakziah pada keluarga Jon. Mereka menatap dirinya yang sedang berbaring lemas tak bernafas untuk yang terakhir kali. Sangat disayangkan, aku yang terlalu sibuk dengan kenikmatan menjadi orang kota di negeri perantauan, tak bisa menemani bahkan di saat-saat terakhir hidupnya. Dia mangkat setelah sholat ashar, hari jumat, persis seperti hari ketika ia dilahirkan. Para tetangga yang sebelumnya sholat berjamaah dengannya pun tak percaya, orang yang tadi mengimami mereka telah meninggal dunia. Termasuk orang tuanya, tidak ada tanda-tanda sedikitpun akan kepergiannya.
Sudah menjadi kebiasaan memang, dia tiduran di kursi panjang ruang tamu selesai sholat ashar, sembari membaca buku-buku koleksinya. Ibundanya pun tak sadar, bahwa air minum – teh – yang dibuat Jon adalah tanda perpisahan dengannya. Ia tak sadar, bahwa Jon jarang membuatkannya air minum, karena memang tugasnya lebih kasar dari itu – semisal mengangkut air dirigen dari sumber air, dan memasaknya.
Ucapan lirih, “Sholalloh ‘ala Muhammad...” terdengar saat ia berbaring di ruang tamu. Namun ibundanya tak menduga bahwa itu adalah kalimat terakhir dari Jon. Pantas saja – kata Ibunda Jon – beliau tak curiga, karena si Jon memang sering ‘bernyanyi’ dengan nyanyian syurga saat ia sendirian. Betapa tersentak ibu dan seorang kakaknya saat mencoba membangunkan Jon untuk sholat maghrib. Lelaki yang paling muda di keluarga itu telah pergi lebih dulu, bersatu dengan-Nya.
Sang ibu hampir saja pingsan melihat anak bungsunya pergi secepat itu. Sedangkan kakaknya yang menyangga sang ibu – karena mau pingsan – mencoba tabah, meskipun tangisan tak bisa ia tahan. Setelah mendudukan sang ibu di kursi, ia dengan gugupnya memberitakan pada sanak famili terdekat. Air mata sang ibu seakan tak bisa berhenti, setiap kali ia membukakan mata dan melihat wajah cerah putra tercintanya. Waktu kakak Jon menelepon Ambulan, “Ndak usah dibawa ke rumah sakit, dia telah damai di sisi-Nya,” ucap sang ibu. Terlihat senyum kecil dari bibir ibunda – dibalut air mata yang terus menetes – melihat wajah teduh almarhum. Meskipun ia yakin, ruh almarhum telah bersama-Nya, namun seakan susunan hidung, mata, dan bibir Jon memperlihatkan senyuman ikhlas.
Mendengar penuturan kakak almarhum, air mata ini sungguh tak bisa ku simpan. Kepedihan semakin mengiris saat aku menghampiri jasad yang satu bulan kemarin masih berkelakar denganku. Air mata yang sebelumnya ingin ku sembunyikan, ternyata turut ke luar. Aku berdiri persis di samping kepalanya, sambil menatap tubuh yang telah terbungkus kain selendang, “Aku yakin, Ia yang di sana pasti sangat menantikanmu. Di sana, kau tak akan pernah kesepian lagi, Jon. Maafkan sahabatmu ini, yang tak pernah bisa memahami dan selalu mengecewakanmu,” aku kira, dengan bisikan seperti itu, ia akan bangun dan berkata, “Laki-laki cengeng!” namun, ah, sudahlah. Itu hanya imajinasiku saja.
Jenazahnya akan dikebumikan besok selesai shubuh. Karena memang tak memungkinkan untuk memandikan, mengkafani, menyolati, sekaligus mengebumikan di malam hari. Sembari menunggu sanak famili yang belum datang. Kakaknya yang di Jakarta baru akan tiba besok siang, kakaknya yang di Bogor pun paling cepat akan tiba besok pagi.
Dari belakang, “Dik, kalau mau istirahat di kamar Jon saja ya,” ucap bapaknya Jon. Mungkin beliau tahu, dengan tas ransel yang masih aku gendong menandakan aku baru saja pulang dari negeri perantauan. “I-i-iya, pak..” aku mengiyakan tawaran bapaknya Jon.
Berat langkah ini meninggalkannya berbaring di tengah kerumunan orang-orang. Mau bagaimana lagi, aku belum sempat istirahat sejenakpun sepulang dari negeri perantauan. Dengan setengah hati, saya melangkah menuju kamar almarhum untuk sejenak melepas lelah.
Meskipun telah beberapa kali aku memasuki kamar Jon, kali ini entah mengapa serasa ada hembusan kedamaian yang menyelimuti kamar. Semua nampak lebih menyenangkan. Foto-foto pribadi Jon saat SMA, kumpulan foto-foto kelas, hingga buku-buku yang ia miliki seakan mengisyaratkan, “Tak perlu sedih, ia telah bahagia di alam sana,” hanya kedamaian yang terasa di setiap sudut kamarnya. Meskipun air mata ini tak bisa aku tahan, tapi aku yakin, air mata ini adalah kebahagiaan yang ia kirimkan dari syurga.
Sambil berbaring di kasur kecil milik almarhum Jon, memoriku mencoba membuka kenangan-kenangan perjalanan dengannya. Bagiku, ia bagaikan lilin. Menyinari kegelapan yang ada di sekitarnya, namun ‘di sekitarnya’ tak memberi apa-apa untuknya. Aku banyak belajar tentang kehidupan darinya mulai awal 2006 lalu, saat kami belajar pada seorang mursyid. Ah! Ternyata ia adalah murid yang telah menerima sejatinya pelajaran dari sang mursyid. Hidup layaknya seorang asketis, bertingkah laku sederhana, hampir-hampir tak pernah menampakan kemarahannya, meskipun kebaikannya kepadaku, terkadang aku balas dengan kekecewaan yang aku berikan padanya. Sial! Ternyata ia pergi sebelum aku meminta maaf padanya. Ia pernah bilang, “Aku paling malu kalau sama perempuan yang tertutup,”
“Lho, bukannya bagus perempuan yang tertutup? Mencoba menjaga auratnya kan, maksudnya?” kataku.
“Bukan... tapi lebih ke hubungan sosial. Serba salah. Ngasih salam ndak dijawab. Didiamin, aku paling ndak tega lihat orang sendirian...”
Aku tersenyum kecil sembari melihat langit-langit kamar almarhum, saat mengingat kenangan itu. Entah ia belajar dengan berapa kali disakiti oleh orang lain, yang pasti, tentang perasaan aku belajar banyak darinya. Meskipun, kadang dengan sombongnya aku membantah pendapat-pendapat yang ia ucapkan. Namun pada akhirnya, di kenyataan, omongannya nyaris selalu benar. Aku pernah menyanggah saat ia berpendapat bahwa, “Cinta itu tanpa pengharapan, sedikitpun, secuilpun. Karena itu adalah perjuangan seumur hidup,”
Aku bantah, “Aku ndak sepakat. Tuhan aja ndak melarang manusia untuk berharap, kok. Yang ndak boleh itu pamrih...”
Jon terseyum – kala itu, “Bedanya harap dengan pamrih, apa?”
“Harap adalah keinginan akan sesuatu setelah kita melakukan sesuatu. Pamrih adalah keinginan tersembunyi yang harus diberikan sebagai timbal balik, setelah kita melakukan sesuatu,” kataku.
“Keinginan dengan keinginan, apa bedanya?”
“Ya beda lah. Kalau harap itu boleh ada timbal baliknya boleh ndak. Tapi kalau pamrih harus ada timbal baliknya,” kataku lagi.
“Tahu darimana orang yang telah melakukan sesuatu pada kita, katakanlah kebaikan pada kita, mempamrihi apa yang dia berikan pada kita?”
“..................................” aku mencoba untuk berpikir.
“Kalau kita bisa menghentikan rasa harap, masihkah kita berpamrih? Sebaliknya, ketika kita menghentikan rasa pamrih kita, masihkah kita bisa berharap? Aku rasa, dari tadi aku ndak ngomong-ngomong tentang larangan harapan, deh,” kata dia lagi.
Aku kembali tersenyum. Seakan kenangan-kenangan yang telah lama aku lewati bersamanya baru saja terjadi. Nampaknya, akan sangat lama untuk mengikhlaskan kepergiannya. Sial! Dia pergi secepat itu – berkali-kali aku mengusap air mata. Kediamanku sembari berbaring menjadikan ribuan ingatan tentangnya berjejalan masuk di otakku. Oh God! Aku ingat! Ia pernah mengatakan sesuatu tentang kematian, di akhir pertemuan satu bulan lalu.
“Kematian tidak akan datang meskipun kita menginginkannya, namun tidak membutuhkannya. Sebaliknya, kematian akan datang jika kita membutuhkannya, meskipun kita sedikitpun tidak menginginkannya...” masih sangat jelas ingatan ini saat kami membicarakan seorang tokoh desa yang bersahaja, meninggal selesai sholat maghrib.
“Aku akan tetap di sini selama kau masih membutuhkanku, meskipun kau tidak menginginkanku sedikitpun. Dan aku akan pergi jika kau tak lagi membutuhkanku, sekalipun kau sangat menginginkanku untuk tetap di sini,” lanjutnya.
Sial! Mengapa aku baru sadar sekarang? Bahkan kepekaanku pada sahabat sendiri telah menurun. Bodoh!
Ketika adzan isya terdengar, aku mencoba memutar memori yang rasanya ada sebuah pesan yang pernah almarhum Jon berikan padaku berkaitan dengan adzan. Tapi apa...? cukup lama aku merenung, dan... oh! Dia pernah berkata, “Adzan itu disuarakan untuk mengingatkan manusia pada Tuhan. Mengapa harus diingatkan? Karena kebanyakan manusia, mengingat Tuhan jika tertimpa musibah saja, di dera cobaan, saat kelaparan, kesusahan, lagi sakit, juga dalam keadaan bahaya saja. Sedangkan, seharusnya bisa selalu mengingat-Nya di manapun dan kapanpun. Di setiap duduk, berdiri, berbaring, berjalan, saat makan, berdiskusi, atau berjualan, jadi kita tak perlu menunggu adzan untuk bisa selalu mengingat-Nya,” ia mengatakan ini sekitar dua bulan lalu, waktu masih ramai-ramainya lebaran.
Apakah penyesalan selalu datang di akhir waktu? Seluruh tubuhku gemetar ketika mencoba bangkit untuk menunaikan isya. Mataku sayu, penglihatanku pun tak jelas.
Selamat jalan, Jon....
Heaven waiting for you...