Tak Wajib, Menjawab Salam dari Preman

Java Tivi
2
Ahhh... sudah berapa pekan aku jauh dari aksara. Mencoba menjemput impian yang lebih kentara, namun malah terjebak dalam sengsara. Terlalu banyak berpikir, yang membuatku semakin tersingkir dari kehidupan. Bukannya sok sibuk atau semacamnya, melupakan sejenak sedikit kemampuanku dalam ’corat-coret’, tapi memang akhir-akhir ini begitu banyak permasalahan jarak jauh yang cukup pelik. Mengharuskanku memiliki ajian ’membagi tubuh’, berada dalam dua tempat dalam satu waktu. Satu di Bandung, satu di Tegal. Namun itu hanyalah khayalan, meskipun bukan juga suatu kemustahilan.

Juli nanti, akan di adakan seminar pendidikan nasional bertepatan dengan hari anak nasional, dan aku diminta bantuannya oleh seorang kakak tingkat untuk mengundang pemateri : Emha Ainun Nadjib dan Marwah Daud Ibrahim. Seminar pendidikan nasional yang hendak dilakukan di Bandung itu, membuatku agak repot. Bukan karena aku disibukkan oleh itu, tapi karena aku bukan tipikal orang penting, yang sering bertemu dengan mereka – sekelas Emha dan Marwah Daud. Apalagi, kakak itu – yang memintaku membantunya – mau menjadikan forum kecil kami, masuk menjadi bagian dari lembaga yayasannya. Tiga orientasi forum – intelektualitas, kepekaan sosial, dan karya – akan dijadikannya sebagai dasar kaderisasi lembaga itu. Bagaimana mungkin aku tidak merasa bahagia dengan kabar seperti itu? Sedang aku dan forum kami hanyalah kumpulan orang-orang tak dikenal plus ’ilegal’ alias tak direstui oleh organisasi lain di kampus kami.

Pagi tadi aku bertemu dengan dua orang rekan, yang satu adalah guru di salah satu pesantren modern di Bandung. Dan satunya lagi seorang dosen yang dulu satu kosan denganku. Mungkin tampangku yang kucel, gondrong, pake sendal jepit beda warna, juga celana sobek-sobek, salamku pada mereka tak wajib dijawab. Aku menertawakan diriku sendiri. Mungkin salam seorang preman memang tak wajib dijawab. Salam yang wajib dijawab ya hanya orang-orang muslim yang rapi dan wangi. Dan aku tidak termasuk hitungan itu. Tak masalah. Seorang kakak tingkat angkatan 2005 pun baru mempercayaiku sebagai teman yang setia beberapa bulan yang lalu. Padahal, kami sudah berteman beberapa tahun. Apa alasannya? Karena penampilanku yang tak rapi. Mirip napi yang baru melarikan diri. Tak sadar diri, bahwa banyak orang yang tertipu dengan penampilanku ini. Dont judge a book from the cover, begitu sih kata orang. Tapi memang aku seperti ini adanya. Dan karena aku yang seperti inilah, kakak tingkatku (angkatan 2003) merekrutku untuk membantunya.

Tidak ada sedikitpun rasa malu dengan diri ini yang hina dalam penilaian para sang pemandang. Karena memang aku tak pernah pikir pusing dalam hal penilaian orang. Daun akan tetap hijau, meskipun orang menilainya berwarna kuning. Tak ada rasa segan untuk selalu menjaga komunikasi, juga tak takut sedikitpun dengan penilaian orang tentang harga diri ini. Disebut preman, maling masjid, dicurigai sebagai NII (karena sering ’menyesatkan’ anggota NII agar kembali ke jalan yang benar), atau seorang freaky, bukan suatu kendala untuk langkah yang selalu maju. Aku hidup dengan pemikiranku, bukan dengan pemikiran orang atau bahkan penilaian orang lain. Hati berkata ke kanan, ya pasti aku kenan. Tak mau menjadi pengikut orang, yang seringkali membuat hati tak senang. Datang jika dibutuhkan, tak diharapkan, aku pasti kembali berpetualang dalam kesepian diri.

Rabu, 18 Mei 2011
Tags

Post a Comment

2Comments
Post a Comment