Senin, 20 Juni 2011
Sesuai rencana, dua bulan sekali forum illegal kami melakukan ‘jalan-jalan malam’. Agenda dua bulan sekali yang ditujukan untuk ‘membakar’ kepekaan sosial para anggota muda. Ritual jalan kaki dari kampus, menuju lapangan Gasibu/Gedung Sate membagi makanan dan minuman pada para gelandangan kota. Agenda yang sudah berjalan tiga kali ini, sengaja kami (mahasiswa angkatan ’07) persiapkan sebagai penerapan orientasi kedua forum, yaitu kepekaan sosial. Paling tidak, dari acara ini kami sidikit mengupayakan para anggota muda agar ‘sedikit’ sadar dengan kehidupan luar ‘istana’ kampus.
Banyak pengalaman yang kami dapatkan selama perjalanan. Pada ‘target’ yang pertama kami temukan sekitar pukul setengah dua belas malam, adalah seorang nenek tua di depan restoran McDonald. Ketika salah satu anggota muda memberikan makanan itu, nenek tua tersebut meminta uang. “Gaduh artos teu?” punya uang tidak? Katanya. Anggota muda (angkatan ’09) itu kebingungan dan kembali ke rombongan, ia bertanya, ‘Ia minta uang, bung. Gimana?” dan aku hanya bisa mengatakan, kalau kamu ada, silahkan kasih. Kalau lagi nggak punya uang, lebih baik jangan. Sekali lagi, ini solusi jangka pendek. Pembaca bisa renungkan, mengapa nenek tua itu hingga tengah malam masih ‘menggelandang’ di luar rumah. Pastinya sangat berbeda tujuan dengan saudara-saudara kita yang pergi untuk dugem.
Sebagai salah seorang yang mengarahkan mereka (anggota muda), aku seringkali berpesan, bahwa agenda ini hanya sebagai solusi jangka pendek untuk menyelesaikan permasalahan mereka (gelandangan). Tentu saja, kami juga serius dalam belajar, salah satunya demi ‘membersihkan’ kemiskinan dan kebodohan. Paling tidak, itu mimpi kami. Bukan membersihkan si miskin dan si bodoh, dengan memberi ‘racun’ dalam kemasan yang menarik. Namun ‘membersihkan’ akar dari munculnya si miskin dan si bodoh. Meskipun kami terus terang, tidak suka dengan dua sebutan itu untuk mereka.
Awalnya kami mengira hanya akan membawa sekitar delapan sampai sepuluh orang (paling banyak). Namun entah mungkin memang agenda ini menarik, ada empat pasukan baru yang turut gabung. Satu di antara mereka sempat menangis beberapa menit (tersedu) ketika melihat seorang gelandangan perempuan yang tidur di kolong jembatan. Seorang perempuan kumal, yang tidur beralaskan karung berisi barang pungutannya.
Di sisi lain, adik kita satu jurusan yang juga baru gabung, ia sedikitpun tidak merasakan apa-apa saat berdekatan dengan mereka – gelandangan. Aku tersenyum. Mungkin ini sebuah awal, karena memang orang yang aku sebut itu, lebih condong pada intelektualitasnya. Namun kurang dalam aspek sosialitasnya. Itu proses.
Saat kami berkumpul di lapangan Gasibu, untuk melakukan evaluasi santai dan refleksi, beberapa orang mulai mengungkapkan kesan dan pesannya. Muncul ide untuk merekam mereka dalam sebuah video. Untuk dimasukan ke blog kami. Sebagian besar dari mereka, baru mengenal dunia malam, apalagi dunia malam ‘plus-plus’ yang menganalkan mereka dengan orang-orang pinggiran. Memang ada seorang dari mereka yang hapal tempat-tempat karaoke sekitar Bandung, namun baru kali ini ia melakukan aktivitas ‘gila’ seperti itu : menyapa gelandangan kota.
Sampailah kami pada akhir kegiatan, berfoto ria, dan aku beserta satu rekan yang lain mencari angkot yang ngalong. Kami tidak sadar, bahwa dari awal kami menyeberang jalan, menuju tengah Gasibu, ada seorang (tak tahu siapa) yang mengawasi kita. Saat aku berjalan menuju jalan raya – hendak mencari angkot, ia pura-pura meminjam korek. Bukan hanya itu, ia – mungkin mati gaya – menganggap aku yang sedikitpun tidak membawa asongan, dikira penjual asongan. Selain itu, ia mengira juga kalau kami tengah merencanakan balap mobil liar yang sering diadakan di Gasibu. Aneh. Namun mau apa lagi, ia terpaksa melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya.
“Lagi ada apa-apaan?” tanya dia – seseorang sekitar umur 30-an.
“Ada kumpul aja di depan gedung sate,”
“Emang acara apa? Balap mobil ya?”
“Ha ha ha… Bukan. Cuman forum mahasiswa sosial,”
“O, apa itu?”
“Sekumpulan mahasiswa yang bagi-bagi makanan pada mereka yang tidur di pinggir jalan,”
“O, rombongan kerudung tadi ya? Dananya darimana tuh? Bagus bagus, mahasiswa memang harus punya rasa sosial yang tinggi,”
“Iya. Dari pungutan rutin beres diskusi mingguan. Selain itu, kami juga bikin buku,”
Ia lalu pergi, tak permisi atau mengucapkan apapun lagi. Akhirnya, sesuai dengan tugas, kami para pria yang hanya lima orang, dibagi sesuai dengan tujuan kos-kosan kaum perempuan. Seperti salah satu misi kami, saling memahami dan melengkapi, tanpa permintaan.
Ketika memiliki satu roti namun ada teman di samping kami, tanpa menawari lebih dulu, kami akan memotong roti itu dan berkata, “Ini. Ayo, kita makan bersama,”