Aku yakin, bagi sebagian besar masyarakat – setiap manusia adalah masyarakat kecil, Stefan Moses, fotografer Jerman – pertanyaan seperti judul di atas tidaklah penting. Atau bahkan, sebagian dari kita – pemuda – menjauhi pemikiran-pemikiran ribet seperti itu. Termasuk tak mau tahu ‘siapa aku’ dan ‘darimana aku’, kita semua melihat bukti dengan kenyataan di masyarakat sekarang. Memang terdengar sepele, ketika setiap kita berkenalan dengan teman baru, pertanyaan itu muncul. Tapi apa jawaban kita setiap kali pertanyaan itu muncul? Jawaban yang umum – dan memang paling masuk akal, ‘namaku…’ ‘asalku dari kota…’ tidak salah, bukan? Meskipun sewajarnya tidak berhenti sampai disitu.
Aku siapa?
Baiklah, aku awali dari namaku – karena ini tulisanku. Abdullah Farid. Banyak orang mengatakan, nama adalah doa dari orang tua untuk kita – anaknya. Apa arti dari nama itu? Aku mengartikannya sebagai ‘Hamba Allah (yang) Sendiri’. Apakah berhenti di sini, bahwa sebenarnya aku adalah ‘Hamba Allah (yang) Sendiri’? Tidak. Mungkin itu salah satu takdirku – didoakan menjadi penyendiri dari lahir. Tapi dialektika manusia, hingga ia menjadi ‘apa’ atau ‘siapa’, ditentukan oleh kenyataan hidup yang dilaluinya.
Dari mana asalku?
Sama saja, secara sederhana aku bisa menjawab, ‘Aku dari Tegal’ : sebagian orang tertawa, heran, atau bahkan tak percaya (ceritanya nanti). Dari kota yang didirikan oleh Ki Gede Sebayu, salah seorang ulama terpandang Kerajaan Mataram. Aku dari desa Kalinyamat (kulon), desa yang didirikan oleh Ratu Kalinyamat dari Jepara – masih satu darah dengan keturunan kerajaan Demak. Tentu saja, desaku lebih dulu ada – dengan imajinasi desa di tengah-tengah hutan – daripada Kota Tegal. Pertanyaan selanjutnya, ‘Siapakah leluhurku?’. Jika desaku didirikan oleh Ratu Kalinyamat, maka darimana asal para penduduknya – yang saat itu di sana masih berupa hutan? Jika Ratu Kalinyamat adalah seorang berdarah biru dari Demak, maka apakah bisa dikatakan bahwa penduduk awal desaku adalah golongan ‘keraton’? Secara historis, akan terlalu sulit melacak asal muasal penduduk desaku itu.
Kembali pada pertanyaan ‘Siapa aku?’. Lahir dari seorang bapak Pegawai Negeri Sipil, dan ibu seorang petani. Kakek dari bapakku, ia seorang sufi berpenampilan sangat sederhana – hingga pernah ada warga yang menganggapnya sebagai orang gila, meski ia adalah tuan tanah saat itu. Berbeda dengan kakek, bapak dididik dengan tradisi militer di ST (Sekolah Teknik). Mungkin lebih tepat, militer setengah jadi, hingga mendidik kami (anak-anaknya) dengan metode silent intruksi alias perintah dengan isyarat. Salah satu dilektika siapa aku, terwujud dari pengalaman itu.
Berbeda dengan bapak, ibuku hanya tamatan SD, bahkan hanya kelas lima saja. Namun beliau anak paling patuh dan low profil dalam keluarganya ; anak lurah. Menjadi kembang desa, bahkan hingga ia menikah dengan bapak : seorang di antaranya bapak-bapak yang sembunyi-sembunyi sering membelikanku mainan. Kakek dari ibu, seorang teosofi yang mampu berada di dua tempat dalam satu waktu dan membekukan maling : mungkin ini alasan mengapa beliau menjadi lurah saat itu. Namun ia ‘kalah’ oleh kebaikannya sendiri, dituduh komunis oleh lawan politiknya, lalu dimasukan ke penjara.
Saat umurku lima tahun, aku sudah mengenal ‘rasa suka’ pada wanita yang lebih tua. Saat taman kanak-kanak, lebih memilih menyendiri berpikir daripada bergerombol bermain petak umpet. Sering bertanya ‘Mengapa mereka bisa seperti itu (bermain ceria)’ dan ‘mengapa ia (laki-laki) bisa marah, saat ia (perempuan) lebih menyukaiku?’ dan sok jagoan, dengan membela kaum wanita cilik saat mereka diganggu : meski akibatnya aku harus dipukuli dan dijauhi. Mengapa aku seperti itu?
Kelas empat SD, aku menjadi pemulung. Anak PNS jadi pemulung? Aku berpikir, bagaimana rasanya menjadi anak kecil yang kesehariannya sibuk dengan barang rongsokan? Pagi sekolah, sorenya mulung. Berjalan sekitar 6-7 bulan. Kelas lima, lebih memilih pulang cepat daripada menonton pertunjukan lumba-lumba satu sekolahan. Ibu guru bilang, “Yang nggak ikut, boleh pulang…” dan hanya aku saja yang pulang, memilih untuk menyendiri bermain kelereng atau ayam. Mengapa aku seperti itu?
Masuk SMP, aktif menjadi remaja penggila playstation, hingga teman-teman menyebutku sebagai ‘anak PS’ : permainan ini yang membuat tubuhku semakin ‘langsing’. Hingga aku sering mencuri uang ibu dan kakak-kakakku, untuk bermain PS. Di sekolah, aku masih sibuk dengan kesendirian. Salah satu teman mengatakan, “Saat itu kau sering terlihat sibuk corat-coret di kertas kecil di pojok sekolah’ padahal aku sendiri lupa peristiwa itu. Selalu memilih kesendirian, bahkan tak tertarik pada lawan jenis (apalagi sesama jenis!) tak seperti teman-teman lainnya. Menikmati kesendirian. Mengapa aku seperti itu?
Masuk SMA NU, menjadi remaja NU. Seperti ibuku yang menjadi jamaah di salah satu organisasi NU. Bapakku juga NU, tapi menjadi pengurus pengajian Muhammadiyah, juga beliau akrab dengan orang-orang kejawen. Empat kakakku mengaku – secara eksplisit – sebagai muslim modern (entah NU, MD, atau Persis). Golongan seperti itu tak penting – kata mereka. Bagiku, penting, tidak. Tidak penting, juga tidak. Tiga tahun berguru pada tokoh teosofi tetangga desa, dekat dengan remaja-remaja penggila klenik, dan mulai berkenalan dengan jimat-jimat tak masuk akal. Namun tetap, aku masih lebih suka sendiri. Beberapa teman wanita saat SMA mempersilahkan tubuhnya ‘dibredel’ olehku, tapi aku menolak – dengan santun tentunya.
Di sekolah, menjadi pemberontak system. Sering tidur di kelas, dan tak ada guru yang berani membangunkan : dengan resiko debat pemikiran. Sudah membaca buku-buku sekelas pemikiran Bertrand Russell. Sempat berantem dengan adik kelas yang nge-drugs : yang ditakuti siswa-siswa sekolah. Tapi untung, guru-guru lebih memilihku, dan memecat siswa itu. Hingga lulus, aku tetap sendiri. Rekan SMA yang lain berlibur – meskipun dalam kekecewaan, sedangkan aku berada di sawah, membantu orang tua.
Siapakah aku? Dan darimana asalku?
Apakah aku seorang Superman yang akan selalu melindungi wanita di masa depan? Apakah aku seorang revolusioner, yang akan mengobrak-abrik segala kemapanan di masa depan? Apakah aku hanya seorang pecundang, manusia lemah yang memiliki dialektika masa lalu secara kebetulan belaka? Apakah aku adalah pemimpin dunia di masa depan? Apakah aku seorang milioner yang akan berakhir seperti Qorun? Menjadi penguasa seperti Fir’aun? Menjadi guru bangsa-bangsa seperti Yesus, Muhammad, atau Gandhi?
Dan darimana asalku? Apakah dari surga firdaus, turun ke bumi dengan tugas menyulap kehidupan menjadi seindah surga? Apakah dari neraka, dengan karakter iblis berwujud manusia, yang akan menghancurkan segalanya? Apakah hanya seorang bayi polos dari rahim seorang ibu, yang dengan lapang dada, hendak mengubah dunia menjadi seperti surga?
Dengan mudahnya, ‘aku’ mampu dijelaskan secara lengkap dari sebuah KTP, atau bahkan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa). Bukankah ini suatu kekonyolan – jika itu diartikan sebatas simbol?
Kamis, 21 Juli 2011