Kamis 7 Juli 2011
Nyaris sekitar satu bulan aku ngaso dari ritual coret-coretan, kecuali mengisi buku diari, kumpulan cerita sehari-hari dan sedikit ide dan gagasan konyol. Karena sangat berbeda keadaannya dengan di kampus, di kampung, aku tak punya waktu banyak untuk menulis : waktu ku habiskan untuk bekerja. Tapi baiklah, sekarang aku akan bercerita tentang sedikit permasalahan pendidikan di Indonesia, bangsa tercinta kita ini. Namun sebelumnya, izinkan aku berkisah tentang sedikit pengalamanku di kampung dua minggu kemarin.
Setelah sekitar dua minggu sibuk mencari rumput dan membersihkan kotoran sapi, di awal bulan Juli aku dan kakakku mewakili keluarga untuk mengikuti ziarah walisanga hingga ke Madura. Kami (aku dan kakakku) mungkin dapa dikatakan sebagai jamaah paling mbalelo dalam gerombolan ziarah itu : kumpulan nenek-nenek dan kakek-kakek. Ketika yang lain menuju tempat terdepan makam (yang dikatakan wali), kami malah memilih tempat paling belakang : paling dekat dengan jalan keluar. Ketika yang lain berdoa dan melakukan ritual yang lainnya, kami tetap ‘bermain’ tasbih, berdzikir dengan dasar pengetahuan kami. Dan yang paling ‘nakal’, ketika yang lain berusaha secepat mungkin menuju pemakaman, kami malah bermain meniru para pengemis sepanjang jalan makam : dengan melepas peci dan menengadahkan dengan ucapan, “Sedekahnya Pak.. Sedekahnya Bu…” alhasil, banyak rombongan yang kesal pada kami.
Bukan berarti kami sudah merasa hebat, sok liberal, dengan tidak mengikuti mereka. Tapi kami, dengan pengetahuan yang awam tentang ziarah, menolak jika ‘bersilaturahim’ dengan yang mati itu harus seperti itu : ribet. Apalagi di Cirebon, peziarah sampai melemparkan uang koin, mengelap pintu makam, menciumi, hingga meratap seperti di tembok ratapan palestina. Kami berpikiran, apa tidak lebih baik, jika uang yang dihabiskan untuk ziarah, apalagi dilempar-lempar di pintu itu, diberikan pada fakir miskin TETANGGA KITA TERDEKAT? Toh mereka – ruh, akan hadir setiap kita memanggilnya dengan doa di manapun kita berada, tentunya yang baik-baik. namun kita saja yang tak pernah menyadarinya. Juga, mereka – ruh – bukanlah ‘tukang pos’ doa kita. Prosedur doa sebenarnya lebih sederhana daripada itu. Dan pada ruh, kita hanya memberi mereka ‘makan’. Dengan apa? Doa dan dzikir. Mereka bukan tempat meminta, paling tidak itu yang diajarkan guruku : Al Habib Abdul Hadi bin Zein Baraqbah.
Terakhir, dan ini yang akan menghubungkan dengan topic pendidikan. Saat Kami ke makam Gus Dur, ada tiga kebetulan yang aku rekam dalam diari. Pertama tentang kunjungan istri almarhum tanpa sepengetahuan kami. Kedua – memang sepele sih, tukang penjual nasi (3000 rupiah/bungkus) yang aku datangi, ternyata telah kehabisan stok. Sengaja aku cari yang murah tapi bergizi. Mau bagaimana lagi, bapakku terlalu sufistik. Memberi bekal perjalanan tiga hari begitu press. Akhirnya, resiko mencari makanan yang murah. Nah, sebagai kebetulan yang kedua, datang seorang penjual nasi yang stoknya masih banyak. Dan rencana membeli dua bungkus, akhirnya terlaksana. Terakhir, dan ini yang paling mengejutkanku, yaitu aku membeli buku ‘Menggagas Pendidikan Bermakna’ karya Prof. Muchlas Samani. Mengapa kebetulan? Pengalaman ziarah sebelumnya, aku tak pernah melihat ada buku-buku ‘umum’ seperti itu. kebanyakan, atau bahkan semuanya berkaitan dengan ‘kebatinan’ atau spiritualistic. Seperti buku-buku tentang Syikh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Kebatinan Al Ghazali, dsb. Bukan hanya itu, aku dan beberapa taman di Bandung sebentar lagi (23 Juli) akan mengadakan seminar nasional pendidikan. Apa temanya? Pendidikan Bermakna! Mengkritik system pendidikan yang bobrok di negeri ini : dalam buku itu juga sama.
Dalam buku Rich Dad, Poor Dad, Robert Kyosaki banyak bercerita tentang pengalaman kehidupannya. Termasuk salah satu ungkapan saat ia masih SD. “Mengapa aku mempelajari sesuatu yang tidak aku lakukan dalam kehidupan nyata?” hingga jargon terkenalnya, “If you want to be a rich man, don’t go to school” dan orang yang pension di umur 47 itu, kini dapat santai mengajar bebas tanpa takut miskin.
Apa yang terjadi dengan sekolah kita – Indonesia? Dalam buku ‘Menggagas Pendidikan Bermakna’ banyak cerita-cerita yang membuatku tertegun. Hampir sama dengan apa yang aku dapatkan di kampung. Banyak pengusaha Warteg yang sukses, namun tidak menyekolahkan anaknya. Jangankan hingga sarjana, SMA saja mereka tidak. “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh anak-anak saya bisa kaya tanpa sekolah. Kalaupun mereka sekolah, pada akhirnya juga sama saja, tetap minta dan minta!” untuk lebih percaya, aku kutipkan cerita dari buku di atas :
“ Mengapa setelah sekolah anak-anak saya kustru ora ngerti gawean (tidak mengerti pekerjaan yang seharusnya dikerjakan)?” ungkap petani Lasem, yang anaknya lulusan SMA tak mau bekerja di sawah.
“Mengapa anak-anak yang disekolahkan dengan menguras biaya, sekarang malah jadi beban? Mereka tak mau membantu kerja dan selalu meminta uang. Dengan alasan untuk mencari kerja di kota,” kata yang lain.
“Mengapa setelah sekolah, anak-anak jadi kurang menghargai orang tua?” ungkap yang lainnya.
Dan ini ungkapan seorang bapak nelayang yang penulis tanyai, “Anak saya dua orang. Satu orang itu yang sedang memperbaiki jaring,” cerita pak nelayan. “Dan yang satu sekolah di SMP. Saya sekolahkan hingga ke SMP karena disuruh oleh pak lurah. Pak, tetapi sekarang saya bingung, karena anak saya yang sekolah justru tidak mau kalau diajak bekerja. Dia sukar kalau diajari bagaimana mengarahkan perahu saat di laut dan tidak pandai kalau harus memilih ikan. Mengapa begitu, pak? Bukankah seharusnya dia lebih pandai karena dia belajar hingga SMP? Mengapa justru kalah disbanding kakaknya, yang sekolah cuma sampai kelas lima ibtidaiyah?”
Apa yang salah dengan pendidikan sekolah kita? Atau lebih tepatnya, berapa banyak kesalahan yang ada dalam pendidikan sekolah kita?
Sebagian besar ahli pendidikan yang mengkritik lembaga sekolah atau pendidikan semacamnya sepakat, bahwa pendidikan (atau lebih tepatnya sekolah) telah menyeret ilmu pengetahuan sebatas di dalam kelas atau sekolah (kampus). Dalam arti lain, banyak praktek pendidikan sekarang (bahkan mungkin memang dari dulu) yang menjauhkan pendidikan dengan kehidupan nyata. INI!
Hal itulah yang seringkali menjadikan aku jengkel sendiri. Banyak siswa, atau bahakn mahasiswa (yang seharusnya sudah mulai berakal) tak mau bekerja, ‘pekerjaan rakyat’. Membantu bertani, mencari rumput, angon sapi, atau pekerjaan ‘keringetan’ lainnya. Siswa atau bahkan mahasiswa merasa rendahan jika bekerja di pasar – tradisional, sawah, kebun, kandang kambing atau sapi. Bukan berarti bekerja sebagai pedagang sayur, penggembala sapi adalah termasuk pekerjaan orang-orang miskin. Itu bisa kita lihat penjelasan lengkapnya dalam buku ‘Rich Dad, Poor Dad’ karangan Robert Kyosaki.
Lalu apa solusi untuk memperbaiki pendidikan yang seperti itu? Secara normative, banyak yang mengatakan ‘Dengan menghubungkan pendidikan pada realita kehidupan’. Namun muncul pertanyaan lagi, bagaimana cara praktisnya? Mana mungkin seorang pendidik, atau bahkan calon pendidik akan mengetahui kehidupan dan menghubungkannya dengan pembelajaran, jika ia tak belajar dari kehidupan itu sendiri? Hanya bisa demonstrasi, bikin makalah copy-paste, diskusi utopis tanpa output dan outcomes, atau sok berbisnis dan politik dengan menyikut kawan?