Jika Cina memiliki seorang Kong Fu Tse, maka Indonesia memiliki Ki Hadjar Dewantara. Dua tokoh berbeda zaman itu, memiliki filosofi pendidikan masing-masing, yang intinya sama. Kong Fu Tse memiliki empat tahapan pembelajaran : 1. Mengarahkan pikiran kepada cara (proses), 2. Mendasarkan diri pada kebajikan, 3. Mengandalkan kebajikan untuk mendapat dukungan, dan 4. Mencari rekreasi dalam seni. Ia menyusun delapan prinsip belajar, mendidik diri sendiri dan hubungan social, yaitu : 1. Menyelidiki hakekat segala sesuatu (Ke’-wu), 2. Bersikap Jujur, 3. Mengubah pikiran kita (open minded), 4. Membina diri sendiri (Hsiu-shen), 5. Mengatur keluarga sendiri, 6. Mengelola negara, 7. Membawa perdamaian di dunia.
Sekarang kita lihat bagaimana rancangan Ki Hadjar Dewantara dalam mempersiapkan pendidikan untuk Indonesia : Ia memiliki lima asas dalam pendidikan, yang dijadikannya sebagai asas Taman Siswa. Yaitu Kebangsaan, Kebudayaan, Kemerdekaan, Kemanusiaan, dan Kodrat Alam. Asas Kebangsaan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan dan tidak mengandung permusuhan pada bangsa lain. Asas ini menyatu dalam suka-duka dan kehendak bersama menuju kebahagiaan hidup lahir-batin seluruh bangsa : ketika Ethiopia menangis kelaparan, Indonesia (seharusnya) merasakan jua. Asas Kebudayaan, yaitu tidak sekedar memelihara kebudayaan nasional, tetapi harus mampu mengantarkan kebudayaan nasional ke ara kemajuan zaman, kemajuan dunia, dan kepentingan rakyat lahir dan batin. Asas Kemerdekaan, diartikan dengan disiplin pada diri sendiri oleh diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat. Asas Kemanusiaan, menyatakan bahwa dharma (kebaikan) setiap manusia adalah mewujudkan kemajuan manusia lahir dan batin, dilandasi semangat cinta kasih sesama manusia dan segenap makhluk Tuhan. Dan terakhir, Asas Kodrat/Hukum Alam menegaskan bahwa pada hakekatnya manusia selaku makhluk adalah satu dengan alam. Manusia tak akan bisa lepas dari hukum alam, dan hanya berbahagia apabila sanggup menyatukan diri dengan alam, yang menampakkan gerak maju dari benih sampai menjadi pohon yang berbunga, lalu berbuah, dan sebelum mati telah menyebarkan benih-benih baru guna meneruskan pantharei kehidupan.
Sekarang kita tanya diri sendiri, filosofi pendidikan mana yang kita pakai? Atau jika bukan pada dua tokoh di atas, atau yang hampir sama dengan mereka, apakah kita akan menggunakan dasar ‘Deschoolling Society’ ala Ivan Illych?
Tahap perkembangan otak – dalam satu konteks, adalah dari konkret ke abstrak. Anak-anak balita dan sekolah dasar (SD), akan sangat disayangkan jika diberikan pelajaran-pelajaran abstrak. Operasi hitung-hitungan, akan lebih mengena jika mereka dihadapkan dengan kenyataan kehidupan. Menghitung kaki anak-anak kucing, mengalikan roda sepeda/sepeda motor di tempat parkir, atau sebagainya.
Dan ilmu (pengetahuan) apakah yang ter-abstrak di dunia? Jika aku boleh sombong : SEJARAH. Mengapa? Anak-anak SD juga tahu, jika proklamasi 17 Agustus tahun 1945 itu sudah tidak ada lagi. Dalam artian, tidak bisa disaksikan, dilihat layaknya sinetron, tak dapat diulang, tidak dapat dieksperimenkan, dan yang paling ‘menyebalkan’ : History is Unpredictable! Sejarah tak mungkin mampu diprediksi layaknya disiplin ilmu yang lain.
Mengapa Jepang maju dengan kecepatan ‘roket’ menuju kegemilangan bangsa hingga saat ini? Mengapa Amerika Serikat menjadi negara yang menakutkan – paling tidak sebelum Cina kembali bangkit? Dalam pendidikan, mereka mengajarkan SEJARAH bangsanya sedari sekolah dasar. Terlepas kesubjektifan sejarah yang mereka ajarkan, terbukti mereka maju dan sejahtera.
Kita kembali pada pendidikan – karena mahasiswa sejarah sendiri banyak yang abai pada sejarah. Kita belajar dari Deschooling Society, Illych dengan cerdas mencoba untuk mengkritik kemapanan pendidikan zamannya. Ia berusaha membongkar sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah dewasa ini yang dinilai sebagai sistem yang mengasingkan peserta didik terhadap lingkungan di sekitarnya, yang menyebabkan manusia terasing dari dunia nyata. Menurutnya sekolah tidak menjamin peserta didik untuk mendapat pendidikan secara bebas, sekolah kurang memberi ruang bagi berkembangnya kepribadian dan karakter peserta didik untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensi masing-masing.
Illich berargumen, untuk memperoleh hasil belajar dari sebuah pendidikan cukup tumbuh berada disekeliling orang-orang yang mempunyai keterampilan dan nilai-nilai yang patut dijadikan contoh.anak-anak yang menghadapi kawan-kawan yang menantangnya untuk bernalar, bersaing, bekerja sama dan memperoleh pengertian yang bisa menuntun kepada pencerahan tanpa embel-embel kurikulum yang mengekang. Benda-benda, contoh-contoh, kawan sebaya dan orang tua merupakan media utama yang bisa membimbing, yang sekaligus akan mengasah daya imajinasi dan kreativitas peserta didik.
Menurutnya, hadirnya kurikulum sekolah yang mengekang saat ini dapat membunuh kreativitas murid, karena penyelenggaraan sistem pendidikan secara formal yang dilengkapi dengan seperangkat kurikulum wajib yang harus disajikan oleh guru dengan berorientasi bahwa usia didik tertentu dapat menguasainya tidak diperlukan lagi.hal ini hanyalah akan mengakibatkan terbunuhnya kebebasan anak dalam belajar.lembaga pendidikan yang menyediakan peraturan yang ketat, waktu, tempat dan bentuk kegiatan serta orientasi belajar saat ini bukanlah merupaka milliue yang baik karena hanya mengekang kebebasan/kemerdekaan individu.
Metode lama dengan fokus pada guru dan papan tulis – sekarang buku teks, sudah lama ditinggalkan negara-negara maju. Bahkan sekelas Malaysia, beberapa puluh tahun yang lalu sudah mengirimkan sarjana-sarjana S1 mereka untuk meraih gelas S2 dan S3 di negara-negara maju. Bukan hanya itu, penyaringan siswa atau mahasiswa-pun sangat mudah, tidak seperti di Indonesia. Di Belanda, universitas sekelas Erasmus saja, menerima dengan begitu mudah para calon mahasiswa. Baru ditingkat dua, mereka melakukan seleksi dan meninggikan kemungkinan Drop Out untuk mahasiswa pemalas. Di Selandia baru juga sama, dan yang lebih mengagetkan, di Selandia baru, siswa yang pindah sekolah, akan dipindahkan ke sekolah yang lebih baik. Di Indonesia? Aku teringat dengan SMA-ku yang menjadi ‘LAPAS’ harapan terakhir para orang tua di daerah itu.
Ada yang lebih ‘lucu’ lagi. Seorang siswi dari Palimanan ( Jawa Barat), yang menjadi siswa berprestasi se-Jawa Barat mengundurkan diri dari sekolah RSBI. Karena apa? Sekolah itu memungut biaya TUJUH JUTA untuk sang siswa berprestasi. Bukan hanya itu, di daerah tetangganya, Cirebon, kelurahan Argosurya, anak-anak SD lebih memilih nyepli (memecah batu) daripada sekolah. Mereka lebih suka membantu orang tua memasak, mencuci, dan nyeplit. Pengajaran ngaji lebih mereka sukai daripada pelajaran untuk mencari nilai. Sekolah memang gratis, namun seragam, tas, sepatu dan perlengkapan yang lain tetap saja beli sendiri. Dana BOS tidak sampai pada mereka. Tentang ini, aku mendengar dengan telingaku sendiri, di daerahku pun sama. Sekolah memang gratis, namun daftar ulang tetap bayar, karena itu di luar dari ‘penggratisan’ itu.
Aku juga pernah mendengar dari kakak tingkat saat ia praktek mengajar, bahwa beberapa sekolah ‘merampok’ biaya jutaan pada orang tua siswa, hanya untuk menempatkan siswa pada jurusan IPA. Lengkap sudah, pendidikan bukan kebebasan pilihan anak, kurikulum merepotkan, pembelajaran jauh dari realita, dana BOS tak sampai, apalagi?
Kamis 7 Juli 2011