(Misi Pertama)
Selasa siang kemarin <20 Desember 2011>, saya mengirim sms pada kakak saya – mantan ketua himpunan mahasiswa sejarah angkatan 2005, “Kalo misalnya saya bikin semacam pengajian brainstorming (curhat) buat kaum PSK, mau nyumbang buat konsumsinya nggak?” dia membalas, “Mau banget, asal saya dilibatin,” dari sms yang saya berikan sebelum zuhur itu, membuatnya berpikir “Apa benar si anak ndeso
Selepas isya, saya istirahat sejenak, karena memang baru pulang dari forum itu. Rencananya, jam sembilan saya berangkat ke Tegallega diantar oleh teman dekat kosan. Mungkin teman saya tak aneh, mendengar cerita saya itu. karena dia salah seorang yang paling sering mendengar atau melihat keanehan-keanehan saya.
Jujur saja tidak ada keinginan apapun, selain bisa dekat dengan orang seperti mereka (masyarakat lemah, di antaranya PSK). Pembuktian ini sebagai akibat dari apa yang sering saya ucapkan pada rekan-rekan mahasiswa kampus, lebih khusus mereka yang menyebut diri sebagai aktivis. Dari berbagai pertanyaan saya yang sampai sekarang mereka belum sanggup menjawabnya. Bukan karena mereka tak tahu jawabannya, tapi lebih karena tidak diajarkan oleh para ustadz atau petinggi organisasinya. Perihal apa? Orang-orang Islam menyebutnya dengan ‘dakwah’, orang-orang Budha menyebutnya dengan ‘Dharma’, dan orang-orang Kristen menyebutnya dengan ‘Agape’
Beberapa kali saya pernah berdebat tentang petinggi agama – ustadz, kyai, pendeta, de el el, yang tidak harus dibayar dari ceramahnya. Para petinggi agama itu harus kerja sendiri, sedangkan ceramah yang ia berikan pada umat, tentu saja secara cuma-cuma, seperti yang diajarkan para pendahulu mereka. Muhammad ibn Abdullah berjalan
Saya mengatakan pada kakak saya itu, bahwa ini adalah misi pertama – setelah tiga tahun lalu saya tunda. Karena tidak ada yang instan di dunia ini, semua berproses. Dan proses, seringkali berat dan melelahkan.
Berangkat dari kosan jam sembilan malam, dan sampai di Tegal Lega sekitar 20 menit setelahnya. Saya sudah mengira – dari pengalaman sebelumnya, jam sembilan mereka (PSK) belum banyak yang beroperasi. Selain masih banyak polisi yang mengintai, juga para tamu yang sadar dengan waktu yang belum begitu malam. Saya melewati jalan pertama – dari Tegal Lega, jalan Ibu Inggit Garnarsih, di sana sudah ada ampat PSK. Tiga masih muda – ini yang membuat saya takut, satu lagi tua. Dari jalan itu, saya berputar melewati jalan kecil, menuju jalan Kepatihan. Di jalan ini, ada enam – yang saya lihat, empat masih muda, seksi dan (maaf) montok, dua sudah tua. Dari jalan itu saya ke jalan utama, yaitu Dewi Sartika. Di sini yang paling banyak. Saya heran, tiga tahun lalu mereka di dominasi oleh WTS-WTS tua dan ‘kelas 3’, tapi mengapa sekarang banyak yang muda?
Niatnya saya mencari PSK yang sudah bau tanah (Tua) untuk saya ajak di pengajian itu. Karena yang muda, cenderung akan lebih susah. Jelas, saya sedikitpun tidak akan membawa-bawa ayat-ayat alqur’an dalam mendekati mereka. Saya akan pakai ‘bahasa’ mereka. Karena ayat-ayat yang saya hapal, justru untuk mengritik orang-orang Islam yang sok suci, khususnya para pemuda Islam yang menggunakan Islam hanya sebagai ‘celana dalam’ – topeng pembungkus.
Tapi sebentar, sebelum dilanjutkan. Mari kita pikirkan, mahasiswa model apa yang berani meninggalkan kosan yang nyaman dan hangat, lebih memilih keluar ke jalanan mencari PSK untuk diajak pengajian? Cara berpikir seperti apa, mahasiswa yang berani mendekati PSK, yang jelas-jelas hidup tak kenal etika, yang penting mendapat sedikit harta? Terakhir, apakah mendekati PSK – yang jelas-jelas sibuk menunggu pelanggan, semudah mendekati orang-orang normal? Bagaimana jika mereka ada ‘pelindungnya’? Dan lagi, si mahasiswa ini, membawa apa hingga berani mendekati bahaya – lahir dan batin?
Setelah saya menyimpan sedikit data tentang tempat beraksi mereka, saya merenung, mengevaluai perjalanan itu di masjid alun-alun. Pikiran saya bukan hanya pada para perempuan teraniaya yang rela menjual ‘dagingnya’ saja, tetapi juga para gelandangan sepanjang jalan Otista, dan di teras masjid alun-alun. Saya berpikir, apa yang mereka lakukan saat mereka masih muda, hingga di usia tua mereka seperti itu? Mengapa orang-orang berkuasa – secara jabatan ataupun uang, di negeri ini tidak bahu membahu untuk mendidik mereka, memahamkan mereka bahwa kehidupan tidak harus begitu. Meskipun, tentu saja ada perjuangan tak kenal lelah dalam kehidupan itu sendiri. Mengapa para petinggi agama seakan tidak bahu-membahu mencerdaskan umat manusia? Mengapa justru mereka memilih hidup dengan segala kenyamanan di samping mereka? Atau mungkin, saya bisa berkata seperti ini karena tidak dalam kondisi seperti mereka – penguasa dan petinggi agama? Wa fii amwaalihim haqqulissaa ili walmahruum, apakah kita belum tahu, bahwa dalam setiap harta kita ada bagian untuk orang-orang miskin, yenag meminta-minta ataupun yang enggan meminta? Wa in khiftum ‘ailatann fasaufa yughnikumullah, dan apakah kita begitu bodoh, dengan kekhawatiran kita akan kemiskinan setelah memberikan sebagian harta kita untuk mereka – orang-orang miskin?
Mungkin ini kesombongan saya, yang berani mendekati manusia-manusia seksi. Tiga kali saya diberi kesempatan ‘adu desah’ dengan wanita yang berbeda, saya masih bisa menolaknya – terlepas ada sedikit kekecewaan di sana. Awalnya saya berani mendekati mereka, karena asumsi saya dalam kehidupan sehari-hari di kampus. Melihat mahasiswi seksi dan (maaf) montok, sedikitpun saya tak tertarik atau nafsu. Jangankan nafsu ingin memilikinya, melihatnyapun, tidak. Karena – sangat mungkin ini tanda ketidakwarasan saya – mereka tidak lebih indah daripada pohon-pohon yang setiap hari saya melewatinya. Dalam konteks nafsu, saya kurang tertarik. Sebaliknya, dalam konteks sosial, saya sangat tertarik dengan mereka – mereka harus diberikan pemahaman tentang penampilan wanita. Namun pembaca bisa menganggap saya sebagai orang yang munafik, mengatakan ‘tidak’, padahal ‘iya’. Mana ada pemuda yang tak nafsu melihat perempuan seksi?
Awalnya saya tak nafsu saat melihat mereka (PSK) di pinggir-pinggir jalan. Saya masih nafsu pada rokok yang saya hisap sepanjang perjalanan. Namun ketika gigi saya sakit, dan jelas tak bisa merokok lagi, ‘libido’ mulai muncul. Untung, saya teringat bahwa ini adalah misi pertama. Saya cepat-cepat ke masjid alun-alun, khawatir mendapatkan kesempatan gratis seperti tiga tahun lalu, dan kali ini tak dapat saya tolak. Wa maa ubarri u nafsi, innan nafsa la ammaarotum bissuu i illa maa rohima rabbi, sangat jelas, saya tidak mungkin terlepas dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh manusia pada kejahatan
Rabu, 21 Desember 2011