Kamu... sebenernya apa sih?

Java Tivi
0
Cerpen

Aku tidak pernah memimpikan, mengharapkan, atau sekedar membayangkannya lagi. Saat hatiku benar-benar sudah gelap, karena terlalu banyak orang-orang yang mengecewakan dalam hidupku, ia datang. Sekitar tahun 2010, entah dari mana ia datang, atau bagaimana ia sampai ke tempat itu. Awalnya aku cuek, seperti sikapku pada teman-teman laki-laki lainnya. Mungkin badannya yang kurus – seperti tubuhku, ia terlihat unik saat menjelaskan rute atau teknis aksi longmarch hari anak jalanan. Itu mungkin saat pertama melihatnya nampak ‘tak asing’ bagiku, meski baru pertama kali dekat.

Tahun 2011



Awalnya, aku juga setengah percaya dengan kata-katanya, bahwa ia sudah tidak pernah berharap lagi pada kehidupan, bahkan pada Tuhan. Tidak merisaukan masa depan, juga tidak terbayangi akan ketakutan-ketakutan masa lalunya. Apa yang terpenting buatnya hanya satu : kebaikan apa yang bisa ia lakukan saat ini. Selain itu, mungkin ini yang membuatnya selalu terlihat unik, ia memiliki banyak mimpi, dan seringkali memberikan kejutan-kejutan yang tak masuk akal. Ia mencintaiku, katanya, karena Tuhan telah menyuruhnya untuk membantuku menyelesaikan skripsi dan pernikahanku. Saat itu aku telah nyaris berusia 25 tahun. Dan aku anggap, itu hanya sebagai rayuan gombalnya. Namun akhirnya aku percaya, saat ia bilang, “Awalnya aku juga takut, saat Tuhan memperlihatkan ‘sedikit’ skenario kehidupan masa depan kepadaku. Tapi pada akhirnya, aku belajar mengalir aja. Jalani aja. Mungkin begitu resiko menjadi pelayan Tuhan. Ia bilang kanan, aku kanan. Ia suruh kiri, aku ke kiri. Dan sekarang Ia bilang ke kamu, dan aku menurutiNya. Aku disuruh menemanimu. Jika pada akhirnya Ia menghadiahkanmu padaku atas pelayananku pada-Nya, maka pasti aku menerimanya. Jika tidak, bukan hakku untuk meminta padaNya lagi. Seorang pelayan, tak pantas meminta pada majikannya,” aku anggap itu masih rayuannya. Saat itu aku bertanya, “Apakah dulu kedatanganmu ke tempat itu, mengadakan aksi anak jalanan, mengenalkan anak jalanan ke masyarakat luas, juga perintahNya?” ia hanya menjawab dengan senyuman nakalnya.

Mungkin memang benar, ia adalah pelayan-Nya. Ia mampu tetap tenang, meski kunci motorku hilang walaupun akhirnya memang ketemu), membawaku menemui kakek-nenek dengan cucunya yang berkaki ‘kurang normal’, mungkin juga ia bisa telepati. Pernah suatu kali, kami janjian bertemu di pagi hari. Ia datang tepat saat aku melewati depan gang kost-annya, meski aku tidak memberitahunya. Ia juga dapat merasakan sakit dadaku saat paru-paru basahku kambuh, meski ia tidak ada di dekatku. Ia bisa ‘melihatku’ yang berbohong mau tidur, padahal sedang asyik bermain laptop. Ia mengirim sms malam itu,”Disuruh tidur, malah asyik maenan notebook?” darimana ia tahu?? Selain itu, ia pernah memperlihatkan kacamata barunya padaku, tepat satu hari setelah aku membicarakannya dengan temanku,”Eh, dia kayaknya lebih cakep yah kalo pake kacamata,” padahal, aku dan temanku tak pernah menceritakan kejadian itu pada siapa-siapa. Aneh, bukan?

Aku sempat memaksanya untuk memastikan ia meminangku tahun itu. Aku perempuan, paling takut dengan ketidakpastian. Meskipun ia telah berjanji berkali-kali, Desember akan ke rumahku – dan memang ia menepatinya. Tapi tetap saja aku cemas. Selama beberapa bulan, aku ngambek, dan sempat lost-contact dengannya. Aku juga yang salahtak memberikannya kesempatan untuk tenang menyelesaikan skripsi dan praktek mengajarnya. Tentu saja, ia tipe pria yang menepati janji dan bukan pria ‘hidung belang’. Di forum jalanan yang ia bikin saja, lebih banyak perempuan dan aku kira lebih banyak yang lebih baik dariku, tapi ia benar-benar pria baik.

Desember pertengahan bulan, tanpa ia memberitahuku – itu kenapa aku bilang ia sering memberi kejutan-kejutan, ia datang ke rumahku, sendirian. Baru kali ini ada laki-laki yang berani datang sendiri ke rumahku, apalagi bicara langsung empat mata dengan ibuku tentang pernikahan. Jelas saja aku bingung,”Ini anak kok suka banget bikin kejutan sih?” perasaan senang, cemas, mungkin juga galau, menjadi satu dalam pikiranku saat itu. Tapi sebelumnya, ia seringkali menasehatiku, “Berhentilah berharap, belum pasti aku jodohmu. Tapi bulan depan aku tetap akan datang, sendirian.” Aku juga masih ingat, saat ia bilang,”Kemungkinannya besar, kalo skripsi kamu selesai,” maksudnya, kami berjodoh, jika skripsiku selesai tahun itu.

“Putri ibu, secara usia sudah cukup matang, baik itu usia kemahasiswaan, ataupun usianya sebagai perempuan. Putri ibu punya rencana menikah bulan Mei tahun depan. Ia juga sangat membutuhkan teman yang menuntunnya pelan-pelan menyelesaikan skripsi dan tugas-tugas sosialnya. Kondisi saya masih kuliah, dan masih memiliki kakak perempuan yang belum menikah – saya tak mungkin mendahuluinya. Saya tidak menghendaki putri ibu menunggu – kakak saya, karena saya tidak bisa menjamin kapan kakak saya menikah,” begitu ibu cerita padaku. Dan akhirnya?

Seperti kakak-kakakku yang lain, aku ta’aruf dengan seseorang. Tak bisa telepati, juga kemampuan ajaib lainnya. Hanya seorang biasa – itu yang membuatnya spesial bagiku. Tapi ia adalah jodohku, pemimpinku. Saat prosesi pernikahan, ia tak datang, katanya sakit – mungkin akibat terlalu sibuk dengan organisasi barunya. Yang datang hanya dua orang perempuan teman dekatnya di forum yang dia bikin. Tanpa basa-basi, saat aku menjabat tangan temannya itu, aku berbisik di telinganya,”Dia mana?” karena katanya ia berniat datang ke pernikahanku. Aku membayangkan ia yang sedih melihatku bersanding dengan pria selain dirinya. Namun ternyata, ia juga turut bahagia – bahkan ia tertawa riang, mengirim doa dan ucapan selamat, meski hanya lewat sms. Secara usia, ia masih muda – selisih dua tahun denganku. Namun kedewasaannya dalam menghadapi masalah kehidupan, sungguh, mirip orang tua. Lucu. Ia pernah bilang padaku, bahwa kakak tingkatnya pernah berkata padanya,”Kamu secara usia masih muda, tapi kedewasaanmu udah gosong,” aku hanya tertawa saat itu.

Kamu... sebenarnya apa sih? Tidak pernah meminta apapun, selalu memberi, tak berharap, tertawa saat diejek, juga tak berekpresi saat ada yang memujinya. Unik, luar biasa – tapi ia tak suka disebut itu, ‘gila’ dengan filsafatnya, penulis yang tak masuk akal. Apakah ia cenayang? Malaikat atau iblis? Manusia yang tercerahkan – tapi kok kulitnya agak gelap ya, hehe? Tapi, apapun kamu, terima kasih telah menjadi jalanku untuk bertemu dengan jodohku, pangeranku. Aku belajar banyak darimu. Kebersahajaan, optimisme tersembunyi, keikhlasan, ketabahan, juga sikap tenang yang tak dibuat-buat, cinta dan kasih sayang, karya, kepatuhan pada orang tua dan suami, juga ‘kegilaan’ yang tak masuk akal.





Kepada Abdullah Faridz lelaki penuh ketenangan juga penerawangan. Aku dibuatnya nyaman dengan segala pengetahuannya. Mengajakku untuk sembuh dari segala penyakit fisik maupun rohani. Namun takdir yang tercatat memang tidak mengharuskan kita hidup bersama. Kami sadar akan itu, tanpa tatap muka kami sepakat memilih jalan kami masing2._PUBLISHED JANUARI 19, 2012 BY LITTLEPIPIT_
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)