(Cerpen)
Sekitar jam 4 sore, dua motor terlihat saling kebut di jalan Pantura. Satu motor di depan dengan dua orang pengendara – seorang di antaranya mencengkeram tas ibu-ibu warna coklat, dan satu lagi motor di belakangnya seorang muda dengan baju batik lengan panjang.
“Sial! Lampu merah!” gerutu seorang dengan baju batik, melihat dua orang yang dikejarnya lolos dari lampu merah. “Andai saja kecegat, aku bisa mengembalikan tas ibu-ibu yang dijambret itu. Ah, sial,”
“PriTt! PriiTt!!” suara peluit terdengar dari belakang motornya.
“Tolong pinggirkan motornya, pak,” pinta seorang Polwan.
Setelah meminggirkan motor, “Selamat sore, pak. Lampu motor bapak tidak menyala, dan saya lihat bapak ugal-ugalan. Tolong perlihatkan SIM dan STNK-nya,” pinta Polwan di depannya.
“SsHhh..” kesal seorang yang nampaknya kena tilang itu. Ia menyalakan rokoknya, sebelum menyerahkan SIM dan STNK. “Ini,” ia menyerahkan SIM dan STNK dari dompetnya.
Setelah beberapa menit, “Baik. SIM dan STNK bapak tidak bermasalah...” Polwan di depannya belum selesai bicara.
“Ikut sidang saja,” ucap si pengendara dengan cepat.
“Tentu saja, silahkan. Saya bukan polisi seperti yang anda maksud,”
Si pengendara terdiam saat Polwan mulai pergi meninggalkannya. Lalu tiba-tiba ia setengah berteriak, “Hei, Bu Polwan!” ia menghampiri Polwan yang nampaknya masih seumuran dengan si pengendara. “Ehm, saya minta maaf. Tadi saya sedang mengejar penjambret, tapi saya kecegat lampu merah. Mungkin ibu atau teman ibu mau mengejarnya, ini nomor plat motor penjambret itu,” kata si pengendara sambil menuliskan nomor plat di secarik kertas. “Ehm, boleh saya minta kartu nama ibu? Mungkin suatu saat saya membutuhkan pertolongan ibu sebagai pihak keamanan,”
“Baik. Akan saya sampaikan pada yang berwenang dalam kasus ini. Dan ini kartu nama saya,” Polwan tersebut mengambil kartu nama dari dompetnya. “Ini. Selamat sore, selamat jalan,” ucapnya.
“Terima kasih,” si pengendara melihat kartu nama di tangannya : Wyda Sukhawati, 22 tahun.
***
Sekitar satu minggu setelah kejadian itu, nyaris setiap hari si pengendara – yang ternyata juga seorang guru muda di suatu sekolah, menghubungi sang Polwan di malam hari. Tentunya bukan urusan pribadi.
“Selamat malam, bu. Saya di jalan Mangkubumi. Dua pencuri tertangkap dan sekarang dihakimi masa di pinggir jalan,” atau, “Malam, bu. Hiburan malam di jalan Langitan menjadi tempat pesta shabu, lantai 2 kamar 14,” atau, “Malam, bu. Cafe Don di jalan Pecinan mempekerjakan wanita di bawah umur. Sudah tiga bulan belum ditindaklanjuti,” semua kabar-kabar seperti itu, ia beritakan selalu di dini hari. Dua hal yang membuat sang Polwan kesal : ini bapak-bapak nggak tahu jam tidur apa? Dan, sebenarnya bapak-bapak ini siapa?
Di suatu malam minggu, Wyda dan satuan polisi bagian penyelundupan narkoba – ia menjadi petugas lalu lintas hanya satu waktu saja, mengadakan pengintaian di pelabuhan pantura. Sepuluh orang, termasuk Wyda, berpakaian ala anak-anak metropolitan – mereka menyamar. Mereka masuk ke gerombolan awak kapal yang sedang bermain remi. Bukan suatu kebetulan, Wyda merasa pernah melihat satu orang di antara para awak kapal itu. Ia mengingat-ingat seseorang tersebut. Wajahnya yang masih nampak muda, menjadikannya tidak lupa dengan seseorang tersebut. Siapa...? Siapa...? Rasanya aku kenal...?
“O! Si pengendara pengganggu tidur!” suaranya sempat terdengar oleh kawan-kawannya.
“Ada apa, Ipda Wyda?” tanya seorang rekan. Tiga dari sepuluh polisi, adalah Polwan. Tentu saja, mereka terpilih bertugas dalam keadaan seperti itu karena menjadi Polwan yang ‘disiplin’. Bahkan terkadang lebih ‘garang’ daripada polisi pria.
“Oh, enggak. Tidak apa-apa,” senyum kesalnya tersungging dari bibirnya.
Malam pun semakin gelap. Ombak pantai nampak semakin galak. Rantai-rantai kapal bergemerincing membentur dek kapal oleh angin yang cukup besar. Angin pantai juga terasa semakin dingin. Menurut kabar yang mereka dapatkan, penyelundupan akan beraksi sekitar jam satu pagi – lima belas menit lagi.
“Oi! Nyonk tak nguyuh disit!” – aku mau kencing dulu – seru salah satu orang yang bermain remi. Ia-lah yang dari tadi diawasi oleh Wyda. Tanpa sepengetahuan rekan lainnya, Wyda membuntuti orang itu. Dalam langkahnya, tanpa disangka oleh Wyda, ia berlari mengendap-endap bersembunyi di balik moncong kapal yang menjorok ke tepi pelabuhan. Ia membuka handphonenya, lalu mengetik sms dengan cepat.
“Malam, bu. Saya sangat membutuhkan bantuan. Saya di pelabuhan Pantura, pintu 2. Ada penyelundupan narkoba. Dimohon cepat,” ia tak tahu, Polwan yang di sms ada di belakangnya, sekitar 30 meter.
“Ok.” Secepat kilat balasan datang.
“Tumben cepet banget?” gumamnya. Ia mengawasi peti-peti kemas yang diangkut ke mobil APV.
“Nice work, sir,” bisik Wyda dari belakang si pengendara pengganggu tidur.
“He?!” ia sempat tersentak. Untung saja tidak terdengar oleh para penyelundup. Namun, belum sempat mengobrol, “It-,” omongan si pengendara terpotong oleh suara handy-talkie Polwan.
“RrRrTt... RrRtTt...!! Ipda Wyda, Ipda Wyda, ditunggu komandan, kita siap beraksi,” rekannya tidak tahu, bahwa Wyda telah siap menyergap mereka. Sebaliknya, Wyda pun tidak sadar ia membawa HT yang suaranya tidak diseting lebih dulu. Suara HT-nya terdengar oleh para awak kapal yang sedang mengangkut peti. Para penyelundup kaget, serentak mereka lari tungang langgang. Sebagian melempar peti-peti di dalam kapal ke dalam laut sebelum Wyda dan rekan-rekannya datang. Mobil yang sepertinya mengangkut para pimpinan penyelundup, melarikan diri dengan cepat.
“DoRr! DoRr!” Wyda menembak dua kali. Satu orang dilumpuhkan, terkena timah panas di kakinya. Beberapa orang tak berani lari, mungkin mereka takut mati tertembak. Seketika satuan polisi datang, sebagian mencoba mengejar mobil APV yang melarikan diri beserta para pimpinan penyelundup. Suasana kacau, banyak orang keluar menonton kejadian itu, meski terjadi di dini hari.
Sekitar setengah jam berlalu – mereka bergerak cukup cepat. Beberapa ABK telah diborgol, termasuk satu orang pimpinan yang tertembak di kakinya. Mereka di masukan ke mobil satuan polisi itu. Tinggal Ipda Wyda dan dua orang rekannya yang sedang melingkari kapal dengan line police, juga seseorang yang disebut penggendara pengganggu tidur.
“Sersan, izinkan saya menyelidiki kasus ini lebih lanjut,” izin Wyda. “Saya akan menanyakannya pada bapak yang di sana, ia menyaksikan kapal tersebut menepi,” sambil menunjuk si pengendara pengganggu tidur.
“Sekarang waktunya istirahat,” kata Sersan di depannya.
“Ya, hanya sebentar, pak,”
“Baik, anda tahu besok apel jam berapa. Tidak ada alasan telat datang,”
“Siap, pak!”
Wyda menghampiri seseorang yang ditujunya. Tapi, belum sempat ia berucap, “Tidak salah lagi, penyelundup datang dari Australi,” ia menyerahkan kertas cukai yang terjatuh terbawa angin. Mereka bukan kapal ilegal, namun menyembunyikan barang ilegal dengan rapi. Barang yang tidak sah diperjualbelikan bahkan di negara seliberal Amerika.
“Gagal, sial. Kalau saja saya sadar dengan HT ini sebelumnya,” sesal Wyda.
“Menyesali masa lalu, tak akan mengubah apapun,” si pengendara menyalakan rokoknya. “Aku Jun, kartu namamu sangat berguna. Maaf sering mengganggu tidurmu,” ucapnya sembari pergi.
“Tunggu! Saya punya beberapa pertanyaan, hei!” Wyda setengah berteriak. Yang ditanya hanya melambaikan tangan, punggung tangannya.
“Aku ngantuk. Besok harus ngajar!” teriaknya tanpa membalikan badan.
bersambung.....
Bacaan selanjutnya
Sang Polwan Muda II