Sang Polwan Muda (sambungan)

Java Tivi
0
sambungan...

Hari-hari berlalu setelah peristiwa di pelabuhan itu. Wyda tidak melupakan seseorang bernama Jun itu, karena terlalu sibuk, ia belum sempat menghubunginya lagi. Begitupun dengan Jun, sepertinya ia mengurangi main malamnya, karena akan ada UAS di sekolahnya. Ia tak ingin siswa-siswanya mencontek, karena itu ia mengajar serius dengn cara logika – mengajak siswa berpikir, bukan mengingat/menghapal. Ia mengajar pelajaran sejarah.

Sekitar dua bulan mereka tak berkomunikasi lagi. Baru di suatu malam sabtu, Wyda dan satuan tugasnya mendapat misi lagi. Masih misi penyelundupan, mungkin juga para penyelundup yang sama seperti beberapa bulan yang lalu. Ia mengira, akan bertemu lagi dengan seorang bernama Jun di TKP nanti. Dan kali ini, ia akan mengecilkan suara HT-nya, sebagai antisipasi agar kegagalan beberapa bulan lalu tidak terulang lagi.

Berbeda dengan lokasi penyelundupan beberapa bulan lalu, kali ini di sebuah pabrik tak terurus – bekas pabrik tebu peninggalan Belanda. Firasat Wyda ternyata tidak salah, Jun telah di sana lebih awal, berkumpul di sana bersama beberapa orang yang sedang bermain kerambol. Lokasi pabrik yang masuk ke tengah hutan, mungkin menjadi lokasi yang strategis untuk transaksi mereka. Desa terdekat dengan lokasi itu, adalah tempat di mana Jun sedang berkumpul dengan warga desa itu : sekitar 3 km.

Nampaknya Wyda dan rekan-rekannya menggunakan strategi baru. Mereka terbagi menjadi lima kelompok : satu kelompok 3 orang, agar tidak terlalu mencurigakan. Mereka terbagi ke berbagai sudut hutan, ke desa-desa terdekat. Hal ini sebagai antisipasi agar para penjahat tidak melarikan diri lagi, mengingat banyak jurang di sekitar hutan.

Seperti biasa, melewati pukul setengah dua belas, Jun meminta izin pada teman-temannya untuk pergi. Dan kali ini langsung ditempel oleh tiga orang polisi yang menyamar, satu di antaranya adalah Wyda. Mereka berpikir, lebih banyak orang akan lebih aman. Tapi kesimpulan itu tidak seperti yang Jun pikirkan. Saat mereka sampai pada jalan bercabang, “Dari sini, kita bagi. Silahkan, para polisi ambil satu jalur, dan jalur lainnya akan saya lewati sendiri,” ucap Jun.

“Tidak bisa. Saya ikut dengan anda,” Wyda menyela. Dua polisi lain yang berpangkat sama, nampaknya setuju. Wyda memang dikenal sebagai Polwan yang berani dan keras kepala.

Selama perjalanan, yang hanya disorot lampu handphone – agar tidak mencurigakan mereka tidak menggunakan senter – untuk menerangi jalan, Wyda mengeluarkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal dalam pikirannya.

“Anda sebenarnya siapa?” tanya Polwan tanpa basa-basi.

“Guru. Tepatnya guru sejarah di SMA 3,”

“Bukan, maksudnya, anda polisi? Detektive? Atau jangan-jangan termasuk sindikat penjahat?” mendengar pertanyaan ini, Jun menghentikan langkahnya.

“Kalau aku penjahat, ini kesempatan untuk menangkapku,” kepala Jun menunduk, lalu telinganya ditempelkan di tanah. Sepertinya ia hendak membaca getaran tanah, mencoba menghitung berapa banyak derap kaki yang terdengar.

“Em, e, darimana anda tahu, beberapa bulan yang lalu akan ada penyelundupan di pelabuhan?”

“Dari kabar temanku, salah satunya di pelabuhan itu,”

“O, anda ini...”

“Guru sejarah,”

“Hhh...!!” Wyda mulai kesal. “Anda-,”

“Panggil Jun saja,”

“O, maaf. Bapak Jun,” mereka masih berjalan menyusuri hutan.

“Aku belum begitu tua, umurku baru 23 tahun,”

“O, baiklah, baiklah. Mas Jun, dapat kabar darimana jika mengabarkan kejahatan-kejahatan di tengah malam?”

“Aku ada di tempat itu,”

“Lalu, mas ini sebenarnya siapa?” Wyda terus mendesaknya.

“Hhh...” Jun menghela nafasnya. “Aku guru sejarah, yang peduli dengan kota ini, jelas ibu Wyda?”

“Panggil Wyda saja, saya baru 22 tahun,”

“Ya, ya, baiklah,”

Perasaan curiga pada diri Wyda berganti dengan perasaan kagum pada sosok guru yang mencintai tanah kelahirannya. Sepertinya ia mulai tertarik.

“Hati-hati, di sini banyak ular liar,” bisik Jun yang berjalan di samping Wyda sembari menyinari tanah.

“A-, apa??” Wyda mulai mendekatkan tubuhnya. Ia ternyata takut ular.

Setelah berjalan sekitar dua kilometer, “Oke, kita tunggu mereka di sini. Bilang pada rekan-rekanmu, jangan terlalu dekat dengan pabrik, mereka mungkin lebih hati-hati karena peristiwa beberapa bulan lalu. Dan satu lagi, hati-hati, mungkin ular mengintai di belakangmu,” mendengar ini, Wyda yang sudah mulai mengabarkan rekannya lewat HT, semakin mendekatkan tubuhnya pada Jun. Ia memang berani pada manusia, tapi takut pada ular.

Saat konsentrasi Wyda buyar, karena mengawasi penjahat dan ular yang mungkin mengintainya dari belakang, Jun tiba-tiba lari dan berteriak, “Wyda! Kepung mereka! Suruh para polisi agar menyuruh para warga untuk mengepung jalan keluar hutan ini!” teriaknya sembari mengejar dua orang bertopi, mungkin pimpinan penjahat. Sepertinya mereka tahu telah dikepung.

Sambil bicara terburu-buru lewat HT, Wyda mengejar Jun yang berlari tak kenal arah. Gelap dan licinnya tanah hutan itu, menjadikan Wyda berkali-kali jatuh terpeleset, tergores ujung kayu, menendang akar kayu hingga terjatuh. Namun pada akhirnya, ia tersesat tak tahu jalan. Lalu tiba-tiba,

“DooRr!!” suara tembakan terdengar di sebelah kirinya. Tanpa aba-aba dan tak sadar banyak ular di hutan itu, ia lari menghampiri suara tembakan. Beberapa meter setelah ia lari, ia menendang tubuh seseorang. Saat ia menyinari tubuh itu, “Jun? Juuunn!!” dari HT-nya nampak terdengar suara rekan-rekannya yang berhasil menangkap semua penjahat, kecuali dua orang bertopi yang jatuh ke jurang. Sedangkan Jun, ia tertembak di bagian dada sebelah kiri. Nafasnya berhenti, detak jantungnya hilang dan muncul. Berdenyut, lalu berhenti. Berdetak, lalu berhenti lagi. Apakah Jun, guru sejarah itu mati? Ia sekarat. Selesai?
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)