Tidak ada yang gratis, nak...
June 12, 2012
0
Saat aku kecil, aku juga pernah memiliki banyak mimpi, nak, salah satunya menjadi dokter. Bukan dokter biasa yang bekerja di rumah sakit atau puskesmas, juga bukan ‘dokter’ tradisional yang mengobati penyakit dengan cara-cara alami. Tapi aku ingin menjadi dokter yang tidak biasa, mengobati penyakit sampai pada akar-akarnya, hingga tak kembali muncul pada si penderita, tanpa obat, tanpa bayaran, dapat dilakukan siapa saja dan kapan saja, karena sebatas mengubah kebiasaan. Di desa ini, di bangsa ini, ada banyak saudara-saudara kita yang sakit, namun tak bisa berkunjung ke rumah sakit. Tak mampu membeli obat, juga tak tersentuh oleh para dokter umum, atau orang-orang mampu yang memiliki banyak harta. Lagipula, seorang dokter biasa, akan kebingungan jika setiap pasiennya adalah orang-orang yang tak mampu membayar : dokter juga butuh makan. Seperti seorang guru yang menerima siswa yang tak punya harta. Nak, guru ataupun dokter, adalah pengabdian, bukan jabatan yang di sisinya ada gaji besar tiap bulan. Karena jika ada ‘harga’ untuk pengabdian, maka pengabdian itu menjadi kebohongan. Guru dan dokter yang mengutamakan bayaran, ia tak melayani dengan benar. Pengabdian hanya ‘dibayar’ dengan surga Tuhan.
Berjalannya hari, aku paham. Suatu penyakit juga memiliki tujuannya sendiri. Setiap apa yang terjadi dalam kehidupan ini muncul membawa tujuannya masing-masing. Ada orang yang sakit, tapi harus sembuh, karena setelah ia sembuh, ia akan menjadi ‘sinar’ kebaikan : ia diberi kesempatan mewarnai kehidupan lagi. Ada orang yang sakit, namun harus wafat, karena jika sembuh, ia akan cacat atau tak normal. Di sisi lain, harus ada upaya keras yang kita lakukan untuk keluar dari akhir itu, meski kita tak tahu : akan sembuh atau sebaliknya.
Aku juga paham, nak, di dunia ini tidak ada yang gratis. Semua membutuhkan ‘harga’ masing-masing. Setiap apa yang mau kita tuju, ada pengorbanan yang harus kita keluarkan. Mimpi-mimpi itu harus kita ‘beli’ dengan ‘harga’ yang terkadang tidak murah. Termasuk menjadi dokter yang tak biasa itu, ada pengorbanan yang tak mudah. Kita tahu, tidak ada penyakit yang tak ada obatnya, kita juga tahu, tidak ada masalah yang tak ada penyelesaiannya. Namun seringkali pikiran kita tertutup oleh kekalutan kita saat penyakit atau masalah itu datang. Saat orang yang kita sayangi meninggal, tidak ada salahnya kita bersedih, menangis, namun bukankah semua itu wajar? Kita hidup, memang menunggu mati. Meski kita memiliki cara yang berbeda dalam masa penantian itu. Ada yang berjuang keras, ada yang hanya menjadi pemalas. Terkadang, aku berpikir, mengapa kita harus membantu dalam kehidupan? Ada orang yang sakit keras karena ulahnya sendiri saat muda, menghabiskan masa mudanya untuk kejahatan. Apakah kita harus membantunya? Akan mudah jika dunia ini hanya berisi dua ‘warna’, hitam dan putih. Jika salah, maka tidak benar. Tidak nak, dunia tidak sebatas hitam dan putih. Ada pertimbangan-pertimbangan lain yang harus kita pikirkan. ada seorang remaja mengidap sakit dan penderitaan dari orang tuanya yang kejam. Aku berpikir, aku harus membantunya sampai sembuh. Tetapi juga, ada pertimbangan lain, bahwa kehidupan-ku setelah terbebas dari ‘masa sekolah’ di tanah perantauan, memiliki tugas yang lebih besar dan harus aku kerjakan. Lalu, apa dia aku tinggal? Dalam posisi seperti ini, kita seringkali mengatakan, bahwa hidup adalah pilihan. Tidak nak, ungkapan itu salah, meski tidak sepenuhnya. Jika kau lapar, maka kau punya pilihan, tetap menahan lapar, atau makan, seperti itu? Tidak nak, hidup adalah pelaksanaan keharusan. Jika kau lapar, kau harus makan, kecuali saat ramadhan, atau wanita yang sedang datang bulan. Jenius adalah paham apa yang memang harus kita lakukan. Aku kerjakan tugasku di tempat jauh sana, tanpa meninggalkan komunikasi dengannya : remaja tersebut.
Mungkin terdengar ‘kejam’, bahwa penyakit juga memiliki ‘misi’ masing-masing. Tapi nak, alam tidak pernah salah. Alam selalu benar. Penyakit sepedih apapun, bencana sebesar apapun, alam tak pernah salah. Kita-lah yang salah, ketika kita menyikapi permasalahan, seperti binatang yang tak dianugerahi akal. Menyalahkan apapun, menjauh dari kebaikan, menghindar dari upaya yang benar-benar, lebih memilih menyerah, putus asa, lalu bunuh diri. Kita mungkin tidak tahu perasaan orang-orang yang sedang sakit, tapi kita dapat merasakannya dari keluh kesah mereka. Air mata, cerita hidup di waktu sebelumnya, senyum tulus di atas sakit mereka, juga raut wajah tenang saat mereka terlelap. Kita dapat merasakannya, nak.
Dalam kehidupan ini, tidak ada yang gratis, nak. Sekedar untuk menghirup udara pagi, kita harus bangun pagi, hidung dan penciuman kita normal, dan lingkungan kita juga tak tercemar. Untuk sekedar menikmati hangatnya mentari, kita harus sehat, mampu berjalan keluar rumah, dan merasakan kehangatan yang merayap di kulit kita. Untuk berbuat kebaikan, kita harus bergelut dengan pikiran. Karena terkadang, kebaikan yang kita lakukan, menjadikan diri kita dirugikan. Namun kualitas kemanusiaan kita terukur di sana, nak. Mereka yang mau mengorbankan dirinya untuk kebaikan dalam hidup, akan ‘membayar’ sebagian besar ‘harga’ kenyamanan dalam kehidupan. Untuk mereka yang tak mampu ‘membayar’ kenyamanan hidup mereka sendiri. Mengapa ada orang-orang seperti itu, yang berjuang untuk orang lain meski harus mengorbankan dirinya? Pemahaman nak, pemahaman. Ia yang paham bahwa kotor akan menimbulkan penyakit, pasti ia akan berjuang agar hidupnya selalu bersih. Baik itu bersih hati, diri, pikiran, juga lingkungan. Ia yang paham bahwa sakit benar-benar membuatnya tak nyaman, akan menjadikan kehidupannya dan kehidupan orang-orang yang dicintainya terbebas dari rasa sakit, apapun caranya itu. Ia yang paham bahwa pendidikan adalah kewajiban setiap orang, tak akan membiarkan seorangpun hidup tanpa ilmu di akal dan hatinya. Dan semua itu butuh perjuangan yang tak mudah, ada ‘harga’ yang tak ‘murah’ untuk mencapai mimpi-mimpi itu. Pada akhirnya, kita akan tersadar saat dewasa datang. Kita dihadapkan pada permasalahan menjadi tenaga bayaran di dalam tempat-tempat nyaman, atau hidup dengan pengabdian yang tak mungkin membuat kita dekat dengan kekayaan, sedangkan kita juga butuh penghidupan. Yang terakhir itu, hanya mampu dilakukan orang-orang kuat dan berani. Tidak ada yang memaksamu menjadi orang baik, nak, juga tidak ada yang mau melihatmu menjadi orang jahat. Silakan pikirkan, nak. Silakan.
Tags