Konon, para penghuni surga adalah manusia yang sedang jatuh cinta. Apa yang mereka lihat dan rasakan, semuanya indah...
Setiap orang menghendaki kebahagiaan dalam kehidupannya. Sebagian paham, bahwa kebahagiaan tidak terletak pada apa yang dimiliki, namun bergantung pada apa yang ada di dalam hati : tentu saja sebagian orang tidak paham atau bahkan mengelak. Itu wajar. Jika kita sedikit merenungkan saudara-saudara kita yang sedang berbaring lemah di rumah sakit, meski kita bukanlah orang kaya, maka kita akan merasa bahagia. Kita bahagia bukan karena merekalah yang sakit, bukan kita. Melainkan, meskipun kita tidak kaya – katakanlah begitu – namun kita masih mampu merasakan indahnya kehidupan, tanpa rasa sakit. Ada benarnya orang yang mengatakan, bahwa hidup ini mahal, bahkan lebih mahal daripada rasa sehat. Mungkin karena hidup ini mahal, kita harus membelinya dengan penderitaan : harga sebuah kehidupan. Bagaimana mungkin kita mampu merasakan kebahagiaan, jika tak pernah ‘mencicipi’ pahit getirnya derita kehidupan? Kita mampu merasakan nikmatnya kenyang, setelah kita melewati saat-saat kelaparan. Cobaan hidup ada dua sisi. Cobaan kehidupan di satu sisi, menguji seberapa sabar dan tabah diri kita menghadapi penderitaan hidup yang memprihatinkan. Dan di sisi lainnya, ‘ia’ – kehidupan – menguji kita dengan kebercukupan setelah melewati fase penderitaan. Namun lebih banyak orang yang gagal, lupa diri, saat kebercukupan melingkupi kehidupannya, daripada saat mereka menderita. Satu yang pasti, derita hidup bukan dari Tuhan, karena Ia maha baik. Saat cobaan kehidupan datang, bukan karena Tuhan membenci kita, tidak selalu kita adalah seorang pendosa, juga bukan berarti kehidupan tak menghendaki kita hidup : namun seperti dua sisi koin. Jika boleh dirumuskan, akan seperti ini : kemauan yang terus mengalir --> upaya keras --> ketabahan--> hasil. Tiap hari kehidupan menuntut kita agar lebih kuat. Saat beratnya cobaan hidup datang, bukan karena Tuhan membenci kita (Ia maha Cinta), juga bukan karena dunia kejam pada kita. Melainkan agar kita semakin kuat : fisik, pikiran, dan hati kita. Jika dalam menjalaninya kita tidak semakin kuat, tapi justru semakin lemah (sakit), itu tanda kita akan wafat. Tapi bukan berarti kita boleh patah semangat, bahkan seharusnya kita bahagia karena sebentar lagi akan berpindah ke surga. Apa yang kita harapkan dari dunia yang hanya menyisakan derita untuk kita?
Banyak orang yang berdoa agar dirinya menjadi kaya, sukses, memiliki rumah sendiri, atau mobil pribadi. Itu sangat wajar. Namun bagi ku, yang ingin aku ceritakan pada sahabat pembaca lewat program FLP ini, tidak demikian. Saat masih SMP kelas tiga, aku pernah bertekad dan berkata pada diriku sendiri, “Mungkin ungkapan cintaku pada-Mu saat ini palsu. Tapi aku yakin suatu saat, ya, aku yakin, akan ku buktikan,” saat itu aku belum tahu betul dengan apa yang aku ucapkan itu. Tapi pada akhirnya, akibatnya sangat fatal. Belajar menjadi seorang pecinta-Nya, benar-benar membutuhkan pengorbanan yang sangat besar. Ya, aku berdoa agar bisa menjadi hamba yang mencintai-Nya sepenuhnya. Apakah itu terwujud?
Mungkin karena aku tipikal orang yang suka berpikir dan merenung, meskipun masih SMP, aku sudah berani mengatakan, “Tuhan egois. Ia menganugerahkan cinta pada manusia untuk mencintai diri-Nya sendiri,” aku berkata seperti ini, karena berkali-kali gagal mencintai seorang siswi. Ironis. ‘Cinta Monyet’ yang aku rasakan, oleh-Nya ingin diganti menjadi cinta seorang hamba pada Tuhannya. Terkadang jika aku main ke rumah teman semasa SMP, mereka akan bercerita tentang aku yang suka menyepi membawa sobekan kertas di pojok sekolah. Bukan karena saat itu zamannya Togel (pasang nomer), aku membawa sobekan kertas bukan untuk ‘merumus’, tapi untuk mencorat-coret konsep yang aku temukan dalam buku. Lagipula, aku tak pandai matematika. Nilai tertinggiku dalam mata pelajaran itu selalu ‘sebesar’ 3. Tentu saja aku tidak bangga.
Saat SMA kelas tiga, aku membuat sebuah buku perenungan seorang remaja. Judul bukunya ‘Seperti Air’. Buku itu aku buat juga karena gagal meraih cinta seorang wanita, dari Bandung, Jawa Barat. Aku anak Tegal asli, tapi memiliki long distance love seorang gadis dari Bandung. Saat itu masih unsum MIRC, fasilitas internet untuk dialog dengan siapapun lewat dunia maya. Dalam buku ini aku tuliskan sedikit renuganku selama SMA, tentang perenunganku terhadap air, zat paling ajaib di dunia ini. Dalam buku itu aku tuliskan, bahwa Tuhan telah mengatur semua kehidupan kita. Pikiran, ucapan, tindakan, semuanya telah Ia skenariokan. Dan saat aku sakit hati – katakanlah begitu – itupun sudah direncanakan-Nya. Apakah Tuhan kejam dengan memberikan ‘dia’ pada pria lain? Awalnya aku berpikir seperti itu. Karena jujur saja, sakit hati itu rasanya benar-benar mengerikan. Seseorang bisa gila, baik itu karena jatuh cinta, atau saat ia ditinggal kekasihnya. Namun akhirnya aku paham. Dari kejadian itu aku semakin fokus pada belajar untuk kelulusan. Walaupun, jangan dikira melupakan seseorang yang dicinta semudah melupakan nyamuk terbang. Sangat sulit dan menyesakkan. Semakin ingin dilupakan, bayangannya akan semakin mengakar dalam. Saat itu bahkan aku setengah gila, mengajak ayam berbicara. Namun itu cara Tuhan agar aku semakin menganal-Nya, kebijakan-kebijakan-Nya. Tentu saja, saat itu tidak sedikit adik kelas yang menginginkanku agar menjadi kekasihnya. Tapi aku tipikal pemalu, karena itu lebih memilih long distance. Waktu itu, jika aku berdekatan dengan wanita, aku akan langsung anemia, mimisan. Ini bercanda, tidak serius.
Saat kelulusan, aku bangga karena bisa menyelesaikan SMA dengan baik. Meskipun di satu sisi aku sedih, melihat beberapa temanku yang tidak lulus, karena mereka sibuk pacaran di akhir kelas tiga itu. Dan buku yang aku tulis itu, pada awalnya memang aku simpan, namun saat aku praktek mengajar di salah satu sekolah di Bandung, buku itu diminta seorang siswa. Sampai sekarang belum dikembalikan, karena aku telah kembali hidup di Tegal.
Praktek mengajar di Bandung? Ya, aku akhirnya kuliah di Bandung setelah kelulusan itu. Dan di sinilah, aku benar-benar merasakan betapa nikmat berada di sisi-Nya, bahkan lebih nikmat daripada ketika berada di samping seseorang yang aku suka. Tentu saja, sahabat pembaca tidak akan paham bagaimana ‘rasanya’ berada di dekat-Nya. Pepatah mengatakan, ia yang merasakan, pasti paham. Jika sahabat pembaca belum pernah merasakannya, kemungkinan besar tidak akan paham. Namun ‘kenikmatan’ itu tidak dengan begitu saja datang. Aku mengalami saat-saat yang benar-benar memprihatinkan. Bahkan, aku pernah ‘bertengkar’ dengan Tuhan. Dan sahabat pembaca tahu seperti apa rasanya saat itu – ‘bertengkar’ dengan Tuhan? Seperti seorang kekasih yang mengadukan kerinduannya. Sangat romantis.
Saat itu pun, masa prihatin dalam hidup semasa kuliah, berawal dari kegagalanku dalam cinta. Bukankah jatuh cinta itu wajar? Namun mengapa aku selalu gagal? Seakan Tuhan berkata lewat hatiku, “Engkau hamba – pelayan – Ku. Satu-satunya cinta yang berhak engkau nikmati adalah Cinta-Ku.,” mengapa hatiku berkata seperti itu?
Konsekuensi dari kata-kata yang aku ucapkan saat SMP, masih berlanjut bahkan sampai akhir kemahasiswaanku. Seakan Ia berkata, “Engkau mencintai-Ku? Buktikan, buktikan. Dengan mencintai seluruh hamba-Ku. Ingat, hamba-Ku bukan hanya manusia, tetapi juga alam, batu berserakan di tengah jalan, motor yang diparkir sembarangan membuat macet jalanan, juga bayi kucing yang hampir mati kelaparan,” banyak esai yang ku buat selama menjadi mahasiswa untuk menceritakan kejadian-kejadian itu. Aku benar-benar belajar bagaimana mencintai-Nya dengan baik. Penampilanku saat mahasiswa memang berandalan, namun cinta dalam hati selalu ku curahkan untuk kemanusiaan. Aku menjadi relawan anak jalanan, dakwah pada pengamen, bahkan PSK, menjadi aktivis idealis yang diasingkan rekan-rekan, menjadi mahasiswa kere yang bahkan membeli air galon pun tak sanggup – aku belajar mandiri sejak SMA, juga cerita-cerita unik lainnya. Mungkin karena aku adalah manusia pemilik hati paling bawel, setiap ada orang atau apapun yang terlihat kesusahan, aku terdorong untuk ikut campur menolong. Berapa kali aku memberikan tempat duduk di bus untuk para orang tua, anak kecil, atau wanita. Hatiku sangat cerewet saat melihat itu.
“Aku juga bayar!” ucap hatiku saat aku duduk tenang di dalam bus.
“Kamu nggak lihat, mereka itu orang tua? Kamu biarkan mereka berdiri kecapean?” hatiku ribut sendiri.
“Tapi kakiku tak tahan berdiri lama, tahu!” aku punya penyakit di pergelangan kaki, tak mampu berdiri lama.
“Kamu ini laki-laki, kalau kamu nggak ngasih tempat duduk, jadi cewek aja sekalian! Dasar cemen!” Setiap aku kalah debat dengan diri sendiri, aku memberikan tempat duduk yang nyaman itu.
Pernah aku melihat motor yang diparkir sembarangan, membuat macet jalanan. Sama seperti kejadian semacam ini, hatiku berontak.
“Pinggirin tuh!”
“Apaan? Bukan motor saya!”
“Bikin macet, bego!” aku akhirnya meminggirkan motor tersebut. Apa konsekuensinya? Saat motor telah terpinggirkan, ada seorang penggendara motor yang mengumpat.
“Dasar belegug! Taruh motor jangan sembarangan! Macet anj**ng!” mendengar ini aku hanya menarik nafas panjang. Setan berbisik di telinga, “Gua bilang juga apa, nggak usah dipinggirin, bukan motor elu ini,” tapi apa yang bisa kita perbuat pada apa yang telah lewat? Hanya bisa mengambil pelajaran.
Bahkan, hatiku sangat cerewet saat ada bayi kucing yang teriak-teriak di jalanan. Aku menuliskan cerita ini dalam esaiku yang berjudul ‘Bayi Kucing’. Mengapa ada orang kejam yang membuang bayi kucing ke jalanan? Mengapa aku harus memungutnya? Aku lagi nggak punya uang! Lagipula, siapa aku, harus menjadi sok pahlawan menolong kucing? Begitu hatiku ribut sendiri. Sempat aku marah pada Tuhan – seperti seseorang yang didiamkan oleh kekasihnya, “Hei, Tuhan! Engkau ‘kan maha kuasa, mengapa Engkau tega membuatnya menderita? Aku tak tega melihatnya,” tapi seakan Tuhan menjawab, “Bukankah engkau (manusia) Ku jadikan khalifah di bumi untuk melindungi dan memeliharanya (bumi)?” tentu saja, seperti biasa aku mengalah. Dan pada akhirnya, aku pungut kucing tersebut. Lalu aku berikan pada teman yang ingin memeliharanya.
Selama mahasiswa, aku membuat empat buku – tentu saja belum diterbitkan, dan satu skripsi. Semua itu aku tulis tanpa harus memiliki komputer pribadi. Begitu banyak permasalahan rumit yang aku hadapi saat itu. Aktivis yang tak punya teman – se-ideologi, mahasiswa kere, disepelekan mahasiswi yang aku suka, dibenci beberapa dosen karena aku suka protes, dianggap gila oleh adik tingkat karena penampilan berandal, termasuk harus menjual privasiku pada Tuhan untuk setiap orang yang membutuhkan. Pernah suatu saat ada adik kelas dari Tegal yang ingin mendaftar di POLBAN. Dia diantar ayahnya ke Bandung, dan sampai di Bandung sekitar jam tiga pagi. Bukan masalah kalau memang tubuhku saat itu sedang sehat. Namun sayangnya, aku sakit panas demam, bahkan tidur sore meninggalkan sholat Isya sebagai kewajibanku. Tidur pukul setengah tujuh sore, bangun jam setengah empat pagi. Syukur, sudah agak mendingan. Namun meskipun baru mendingan, aku lari-lari karena telah ditelepon berakli-kali untuk menjemput mereka. Di kost-an tidak ada motor. Dalam kondisi baru sembuh itu, di pagi hari, bahkan masih petang, aku lari-lari menjemput mereka yang katanya sudah di dekat kampus. Dan ternyata, saat aku sampai di depan kampusku – UPI, mereka ada di kampus POLBAN. Aku hanya menggelengkan kepala. Tapi apakah aku mengeluh, mengumpat? Bahkan pikiranku pun, aku jaga agar jangan sampai menghina-Nya. Ini hidupku, segala konsekuensi aku yang menanggungnya.
Secara materi, aku mahasiswa kurang mampu, karena memang aku sudah tidak meminta pada orang tua. Dikasih berapa saja saat berangkat ke Bandung, aku terima. Tidak jarang aku jalan kaki di dini hari (sekitar jam dua pagi) dari Cicaheum-Geger Kalong, malam hari pula. Untuk sahabat yang pernah ke Bandung, mungkin tahu seberapa jauh jarak itu jika ditempuh jalan kaki. Kenekatan seperti itu aku lakukan, sembari mengecek lokasi untuk acara jalan-jalan malam, yang diadakan forum yang aku buat bersama lima rekan mahasiswi. Jalan-jalan malam, memberi sedikit makanan dan pakaian bekas pada orang-orang gelandangan. Agenda tersebut kami buat sebagai cara menumbuhkan kepekaan sosial pada adik-adik mahasiswa di forum kami. Tentang ini – jalan-jalan malam – aku juga banyak menceritakannya dalam buku-ku.
Selain itu, di tahun 2008, aku berkenalan dengan seorang mahasiswa baru asal Indramayu. Aku kaget, ternyata dia tinggal nomaden, dari masjid ke masjid. Saat itu juga hati ini berontak.
“Udah, suruh aja ngekost sama kamu,”
“Apaan? Kost-an ku sempit,”
“Kalau itu menimpa saudaramu di tanah orang, bagaimana?” akhirnya, seperti biasa, aku mengalah, dan menyuruhnya untuk satu kost-an denganku. Listrik dan biaya kost-an, bahkan terkadang makan, aku bagi dengannya. Jika mengingat ini, aku sering tertawa sendiri.
Kehidupan menuntut kita untuk ikhlas, merelakan apa yang terkadang sangat kita cintai. Apa yang menurut kita baik, belum tentu di masa depan tidak merugikan kita. Begitupun sebaliknya. Kebahagiaan dan penderitaan layaknya jam pasir. Mereka tidak pernah hilang, hanya berkurang dan berganti. Ada saatnya kita menikmati kebahagiaan tanpa lupa diri, ada waktunya kita berjuang agar terlepas dari penderitaan. Mengutip dari kata-kata yang sering guruku sampaikan pada murid-murid mengajinya, “Mumpung masih muda, cintailah yang pahit-pahit, biar tubuhmu kuat. Kalau suka yang manis-manis, nanti kamu kena kencing manis,” orang-orang yang saat mudanya menderita, namun tetap bekerja keras, pasti bahagia di umur dewasanya. Sebaliknya, pemuda yang suka berfoya-foya menghabiskan harta orang tua, di masa tuanya mereka akan menderita. Tentu saja, bicara tentang penderitaan, siapa sih yang menginginkannya? Seperti seseorang yang berjalan membawa kotak kebahagiaan menuju Tuhan. Pandangan dan fokusnya akan tertuju pada kotak itu. Kebahagiaan itu enak. Sebaliknya, orang yang membawa kotak penderitaan pandangan dan fokusnya seringkali akan tetap tertuju pada Tuhan – terlepas ia mengumpat pada-Nya atau tabah. Penderitaan itu tidak enak – pahit. Orang tersebut akan fokus pada Tuhan, berharap Ia akan menghancurkan kotak itu dan menggantinya dengan kotak kebahagiaan.
Berjalannya waktu, aku tersadar. Meraih cinta-Nya, agar dapat menggapai posisi terdepan dihadapan-Nya, tidaklah gampang. Islam jalan yang lurus, tapi siapa bilang untuk mencapai-Nya, tidak dipenuhi tikungan, tanjakan, dan turunan yang curam? Namun setelah kita melewatinya, kita akan tersadar bahwa kita telah mengubah diri sedemikian rupa, menjadi wujud yang terbaik dari diri kita. Orang-orang yang tetap bertahan dalam mengingat Tuhan meskipun ia didera derita, hatinya akan semakin lembut. Dalam hatinya akan semakin penuh cinta. Bukan cinta parsial – sepotong – pada satu dua orang, melainkan cinta pada seluruh alam : universal. Bukankah begitu yang dicontohkan rasulullah Muhammad? Beliau mengajarkan tentang cinta, tentang penyatuan antara rahman (mengasihi) dan rahim (menyayangi). Persenyawaan antara rahman dan rahim, memunculkan hub, mahabah, alias cinta. Aku bahkan menyimpulkan, bahwa cinta terbagi empat maqom, atau tingkatan. Cinta pertama adalah cinta pada diri sendiri. Mencintai dunia, termasuk lawan jenis, masuk dalam tingkatan terrendah ini. Tapi tidak selalu tingkatan terbawah ini jelek. Tingkatan yang kedua, cinta pada sesama manusia, hablumminannas. Cinta yang ketiga, cinta pada alam, atau hablumminal alam. Tingkatan keempat, yang tertinggi, adalah cinta pada Tuhan. Dan dalam pengalaman hidupku yang selalu gagal dalam mencintai seorang wanita, menurutku adalah pesan-Nya. Ia seakan berkata, “Engkau harus meraih cinta-Ku lebih dulu, sebelum engkau menikmati surga-Ku,” karena konon, para penghuni surga adalah manusia yang sedang jatuh cinta. Apa yang mereka lihat dan rasakan, semuanya indah. Atau seperti kata guruku, para penduduk surga adalah manusia yang mampu menikmati penderitaan seperti saat mereka menikmati kebahagiaan. Penderitaan atau kebahagiaan bagi mereka sama. Apa yang lebih indah saat kita telah mencapai cinta-Nya?
Dalam masa kuliah itu, aku sampai merumuskan satu ‘teori’ tentang kepesimisan seorang manusia saat menghadapi cobaan hidup. Teori pesimistik terbalik, aku merenungkan itu saat akalku benar-benar kacau. Sewaktu kehidupan terasa begitu kejam menginjak-injak kehidupanku saat itu. Selain cobaan di tanah perantauan, kehilangan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) saat hendak mendapatkan beasiswa, dituduh maling masjid karena sering merenung malam-malam di masjid yang sudah gelap, atau bersembunyi dari ibu kost karena sudah habis kontrak tapi belum punya uang. Ditambah cobaan dari rumah. Konflik antar anggota keluarga, tagihan hutang yang membuat ibuku selalu mengeluh – beliau pernah menitikan air mata sepulang meminjam hutang, dan permasalahan lainnya. Ibuku malah pernah mengeluh mau bunuh diri, tapi tak jadi karena takut. Saat mendengar ini dari kakakku, aku tertawa satire. Dan teori pesimistik terbalik aku dapatkan saat itu. Teori itu menyatakan bahwa orang-orang yang melihat kenyataan tak selalu seperti apa yang ditujukan dari kerja keras yang ia lakukan, akan sampai pada fase yang dinamakan pesimistik terbalik. Namun pesimis yang muncul karena usaha gigih ini, sangat berbeda dengan rasa pesimisitas pada umumnya (rasa putus asa orang-orang utopis). Pesimistik yang lahir dari kerja keras yang berkesinambungan namun gagal, akan menciptakan moralitas yang nampaknya menyerah pada keadaan. Gerak, ucapan, dan tingkah lakunya terlihat seperti orang lemah, putus asa, bahkan menginginkan ‘mati’. Tapi di balik semua itu, ada energi tersembunyi, yang siap mengubah keadaan tanpa harus diketahui orang lain sebelumnya.. Energi ‘peledak’ yang siap memacu gerak, yang tak mau diketahui orang lain di balik kepesimisannya. Orang-orang seperti ini biasanya tak mempan dengan dorongan semangat dari orang lain. Juga tak peduli dengan anggapan negatif orang lain. Mungkin merekalah yang disebut mukhlisin – orang-orang ikhlas.
Aku benar-benar merasakannya. Kehilangan gairah hidup, namun tetap mampu berbuat baik dan bekerja keras. Saat itu aku berpikir, alasan apa yang menjadikan Tuhan ‘menghukum’-ku dengan cobaan berat seperti itu? Aku orang baik. Rajin sholat, bahkan bukan hanya yang wajib, sunah pun aku lakukan. Taat pada orang tua. Tak pernah berzina, bahkan tiga kali diberi ‘kesempatan’ (gratis!) zina dengan tiga wanita yang berbeda, aku tolak. Tentu saja ada ‘sedikit’ kekecewaan saat menolak itu. Suka berbagi pada yang kurang mampu. Tak pernah memarahi orang, tak pernah mengeluhkan sesuatu yang telah berlalu. Tapi mengapa penderitaan datang? Tentang kebaikan yang dikatakan pada orang, aku tidak setuju dengan pendapat orang-orang. Mereka yang mengatakan kebaikan harus kita sembunyikan, menurutku orang-orang yang belum paham. Lingkungan kita memperlihatkan keburukan pada generasi muda kita. Jika kebaikan disembunyikan, dan kejahatan diperlihatkan, apa kata dunia? Semisal kita memberi makan pada orang kelaparan, dan kita menceritakannya pada orang, sekalipun kita misalnya tak mendapatkan pahala, minimal pertolongan kita telah mengenyangkan orang itu. Bukankah kebahagiaan orang lain seringkali lebih penting dari kebahagiaan kita sendiri? Mana mungkin aku bisa bahagia, saat melihat orang tua berdiri bersesakan di dalam bus, misalnya?
Kini, aku telah melewati fase mahasiswaku – aku sudah lulus. Semua kejadian saat itu, telah tersimpan rapi dalam kenangan hidupku. Seakan begitu cepat. Masa depan seolah berjalan begitu lambat, namun masa lalu hilang secepat kilat ditelan kenangan. Apakah doaku telah terkabul, meraih posisi terdepan dihadapan-Nya? Aku tidak tahu, dan aku tidak peduli. Karena yang aku pedulikan adalah, seberapa banyak kebaikan yang aku lakukan hari ini, saat ini. Seperti manusia yang menghendaki Tuhan sebagai sosok yang sempurna : Tuhan pun sama. Ia menghendaki manusia yang sesempurna diri-Nya. Memberi tanpa butuh kembali. Berbuat baik tanpa harap timbal balik. Dan terus berkreasi. Itu mungkin mustahil, namun kita bisa mencobanya.
(buat dikirim ke FLP, tapi nggak jadi)
Selasa malam, 26 Juni 2012