Serial Jon Quixote, edisi 6 bulan Ramadan, Rabu, 25 Juli 2012
Masa-masa itu telah lewat. Saat intelektualitas Jon merasa sekarat. Dihadapkan pada ujian-ujian hidup yang begitu kuat, silih berganti mengantri tanpa henti. Mungkin puncaknya di tahun 2010, saat Jon masih Kuliah Kerja Nyata di daerah Ciwidey, Bandung. Meski di saat nafas berpikir Jon tengah sekarat, ia selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk masyarakat. Termasuk pada anak kecil yang ingin mengasah bakat. Barangkali memang anak-anak SD itu, yang menjadi tempat recycling otak galau Jon saat itu. Bermain ceria, terlihat seperti pemuda idiot yang telat aqil baligh meski penuh kumis dan jenggot tipis. Berlari-larian, kereta-keretaan di depan kelurahan, pukul-pukulan bantal, dipandangan orang sekitar, Jon itu pemuda gila. Baginya, frustasi bukan alasan untuk menampakan kesedihan dihadapan orang. Terlebih lagi tidak mau melayani hamba Tuhan yang meminta bantuan. Bukankah anak kecil juga termasuk hamba Tuhan? Manusia-manusia belia, yang belum tahu apa-apa tentang dunia, yang mampu bermain lagi meski sebelumnya bermusuhan. Dan tahun 2010 saat itu, sama seperti sekarang, adalah bulan ramadan. Ia suka merenung sendiri dalam sepi selepas sholat tarawih di musholla kampung tempatnya KKN. Tentang manusia, tentang generasi mahasiswa, juga tentang generasi belia – anak-anak – teman ia bermain di sana.
Akan Tuhan jadikan apa mereka di masa depan? Sanggupkah mereka tetap berjuang hidup, melihat dunia yang telah dirusak oleh manusia sebelumnya? Apa rencana-Nya padamu, Nak? Kami para orang tua akan segera tiada, dan kalianlah yang harus menggantikannya. Tapi apakah kalian siap? Atau lebih mendasarnya, apa kalian mau membangun dunia ini kembali? Bukan kalian yang merusak, tapi kalianlah yang harus memperbaiki. Logis bukan?
Di ramadan tahun 2010 itu, Jon serasa mendapat pencerahan. Ia tersadar. Paham akan diri sejatinya. Ia tidak peduli Tuhan akan menjadikannya apa di masa depan kelak. Satu yang ia pedulikan – setelah fase-fase itu – adalah bagaimana agar ia selalu mencintai kehidupan seutuhnya. Mencintai manusia, alam, binatang, terlebih lagi mempedulikan generasi penerus : anak-anak. Dua kali di tahun 2010 dan 2011 Jon dan rekan-rekan jalanannya mengadakan acara hari anak nasional, termasuk penentuan tanggal dan hari pembuatan hari anak jalanan nasional. Namun di rumahnya kini, ia lupa. Saat merantau, hari-harinya difokuskan pada generasi muda kampus : mahasiswa. Sedangkan anak-anak kecil, hanya ia temui di jalanan tempat Jon menyatu dengan hati mereka. Sekarang, saat ia di rumah, hari-harinya disibukan untuk kepentingan keluarga. Bukan hanya realisasi mimpi-mimpi masa depan, tetapi juga anak-anak kecil calon penerusnya. Bahkan, konsentrasinya bukan hanya pada manusia, tetapi juga pada binatang yang ada di rumahnya.
Beberapa ekor kucing, ayam dan bebek, ternak ikan bandeng, juga sapi. Tentu saja, seringkali Jon bingung agar selalu bijak menghadapi semua hal. Selalu bijak mendengarkan ceramah orang-orang dewasa yang terkadang rumit, sikap nakal alamiah anak-anak, juga pemeliharaan ektra fokus pada hewan-hewan ternaknya. Tentu saja, kucing tidak ia ternak. Mereka datang sendiri.
Untuk anak-anak, Jon sedang membuat semacam ‘kitab’ kecil sebagai pegangan mereka. Berisi nasehat-nasehat dan cerita pendek yang bisa membimbing mereka pelan-pelan. Barangkali ia punya firasat tentang akhir hidupnya. Jika umurnya tak mampu menjadikannya guru untuk mereka, maka ‘kitab’ kecil itu rasanya sudah mewakili. Dalam buku itu juga diceritakan kisah-kisahnya saat menghadapi beberapa keponakannya yang bandel, seperti saat ia kecil. Misalnya, saat keponakannya yang baru kelas dua SD menangis, ia punya cara mendidik sendiri.
“Biarkan saja ia menangis. Izinkan ia untuk menangis,” kata Jon pada ibu keponakannya – kakak kandung Jon. “Om kasih waktu kamu menangis 30 menit. Dan Om akan duduk di sini, mendengarkan tangisanmu sambil membaca buku,” apa yang terjadi setelah beberapa menit Jon membaca buku sambil mendengarkan tangisnya?
“Om, anterin aku pulang ke ibu,” pintanya. Ibunya sudah pulang duluan karena tak sabar menanggapi tangisannya.
“Oke,”
Saat di perjalanan pulang, mereka naik motor. “Kamu boleh nangis, tapi bukan berarti dengan menangis apa yang kamu minta bisa datang,” ucap Jon sambil menyetir. “Tidak ada yang peduli saat kamu nangis. Malah mamamu akan memukul kalau kamu nggak mau diam. Enak?”
“Enggak...” jawabnya lirih.
“Kamu laki-laki, mesti kuat. Dengan mama kamu boleh aleman (manja), tapi di rumah nenek, nggak ada yang peduli kalau kamu manja,” Jon membelikan susu gelas segar pintaannya. Anak-anak sangat paham dengan ucapan orang dewasa, meski dengan kata-kata yang njlimet sekalipun. Hanya saja, mereka tak punya perbendaharaan kata-kata untuk mengungkapkannya. Dalam psikologi sangat jelas akan hal ini.
Sekilas nampak ‘kejam’ apa yang dilakukan Jon dengan membiarkan anak kecil menangis. Tapi mendidik anak agar tidak manja itu penting. Karena suatu saat, mereka akan dihadapkan pada situasi yang tidak ada seorangpun dapat menolongnya : kecuali dirinya sendiri. Saat itu terjadi, menangis nyaris percuma saja. Anak-anak mendapatkan segala hal dalam kehidupannya, tapi bukan yang mereka butuhkan. Mereka membutuhkan teman, kepedulian, dan bimbingan pelan-pelan yang tidak memanjakan. Apa yang terjadi jika mereka manja dari kecil? Lihat saja mahasiswa-mahasiswa tanpa karya, yang bisanya meminta dan meminta. Itu cara mendidik Jon Quixote. Pantas saja jika ia setegar batu karang.