Teman Penuntun

Java Tivi
0
seorang sahabat bertanya tentang ayat Tuhan yang nampaknya janggal, "bukankah Tuhan tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya? tapi mengapa ada orang yang bunuh diri/hilang akal (gila) saat menyelesaikan masalahnya? bukankah itu bukti cobaan-Nya di luar batas kemampuan?"

saya teringat dengan gurauan teman saat berpamitan pulang - selepas sidang ujian skripsi, "banyak teman dan adik-adik kita yang nggak melakukan ibadah mahdloh tapi sok berfilsafat teologi. saya setuju denganmu waktu bilang, memikirkan manusia saja kita belum tentu paham, apalagi memikirkan Tuhan?" katanya.

"Cobalah memaklumi mereka. saya mampu tetap beribadah mahdloh dan 'sedikit' berfilsafat juga bukan dengan cara mudah dan dalam waktu yang singkat. teman dan adik-adik kita butuh seorang teman (semacam rekan diskusi barangkali) yang mau menuntun pelan-pelan memahami agama ini. islam agama yang mudah, tapi dirumitkan oleh orang-orang yang sok tahu tentang islam," saya jawab.

lalu ia menambahkan lagi, "Makanya, kamu jangan cepat-cepat pulang, masih banyak yang butuh orang rada stress dan gendeng seperti kamu buat diskusi," saya hanya tertawa.

tidak mungkin Tuhan memberikan - jika memang Ia yang memberi - cobaan di luar batas kapasitas seorang manusia. memang, mungkin karena Ia maha kuasa, Ia tidak harus adil. kemahakuasaan-Nya lebih utama daripada kemahaadilan-Nya. mengapa saya bilang tidak mungkin? (ada penjelasan secara ontologis, tapi saya belum bisa menyederhanakan kata-katanya).

Coba kita lihat ayat 'janggal' tersebut, la yukalifullah nafsan illa wuz'aha... tidak dibebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. lalu ayat selanjutnya, laha maa kasabat wa'alaiha maktasabat... seseorang mendapatkan apa yang dikerjakannya, baik atau pun buruk. dalam arti lain, semua berbalik pada diri kita sendiri. jika kita memahami ayat itu sepotong (atau ayat alqur'an manapun), tentu saja, janggal. tapi jika kita baca dan renungkan ayat yang berkaitan dengannya, pasti mudah paham.

sebelum seseorang bertindak - katakanlah ia memilih tindakan, ia terlebih dahulu akan memutuskan apa yang akan dilakukannya. terlepas baik atau buruk yang kita putuskan, kita pasti memilih. saat kita memilih suatu tindakan, kita -entah sadar atau tidak - telah siap dan mampu menanggung segala konsekuensinya. ketika seseorang memutuskan untuk bunuh diri, ia - tentu saja ia tidak sadar - menyangka menyangka akan mampu dan siap menanggung segala resiko dan konsekuensinya, termasuk kematian. pendek kata, terlepas penilaian orang lain bagaimana terhadap dia, orang yang bunuh diri tersebut mampu menanggung akibat dari keputusannya itu. titik fokusnya bukan pada masalah yang ia hadapi, tapi pada setiap keputusan yang diambil. sampai ini, kita tidak membicarakan Tuhan. fokus kita adalah manusia. (meskipun di sisi lain, sangat tidak mungkin membicarakan ayat-Nya tanpa menghubungkan dengan-Nya).

kita lihat ayat selanjutnya, rabbana la tu'akhidzna innasina au'akhtho'na... Tuhan, jangan hukum kami jika kami lupa dan melakukan kesalahan. dan ayat lanjutannya yang ungguh membuktikan keegoisan kita agar tetap hidup enak meski banyak dosa atau kesalahan.

orang yang gila/hilang kewarasan karena masalah yang dihadapinya, dapat dipastikan, bahwa mereka tidak paham (atau membacapun tidak pernah) terhadap ayat Tuhan, lebih khusus ayat tersebut. misal, orang yang gila karena ilmu hitam (di masyarakat kita banyak kasus seperti ini), atau caleg gagal yang berhutang pada rentenir, atau pemuda/pemudi yang sakit hati (ini sih cerita pribadi, hehe). contoh orang-orang tersebut, adalah orang-orang yang dapat dipastikan jauh, atau sekedar bertanya pun tidak, dari ayat-ayat Tuhan.

setiap apa yang kita lakukan, dan kita bisa melakukannya, itu sepenuhnya tanggung jawab kita, apapun akibatnya. lalu, bagaimana keterkaitannya dengan Tuhan? jika memang kita senang saat diberi nikmat oleh-Nya (harta, wanita, sehat, pikiran waras, keluarga yang utuh, dll), mengapa kita tidak rela saat diberi cobaan oleh-Nya? awalnya kita tidak punya, lalu diberi, kemudian diambil lagi, so what? itu jika memang Ia yang memberi semua itu. jika tidak, mengapa kita menyalahkan Tuhan? ini kehidupan kita, bukan kehidupan Tuhan. sewajarnya kita paham, bahwa kehidupan memang begitu : mudah datang dan hilang.
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)