Dua Rasa Berbeda Nuansa

Java Tivi
0


Jika memikirkanmu, ada dua rasa yang beradu dalam hatiku. di satu sisi, aku ketakutan jika suatu saat engkau seperti 'dia' yang tak sempat ku ucapkan selamat bahagia. 'dia', menjadi seorang yang sangat istimewa dalam hidupku saat SMA. berkenalan lewat dunia maya, dan akhirnya ia dinikahkan orang tua, sampai saat ini aku belum pernah melihat wajahnya. sebatas melihat bayangan gambarnya, lewat dunia tak nyata itu. konsekuensi menjadi orang yang berkarakter setia (pembaca boleh tidak percaya), akan sangat dilema saat ditinggal kekasihnya. namun dari rasa sakit itu. seorang siswa pendiam dan berandal, mampu menciptakan buku perenungan sederhana saat masih SMA. meskipun perasaan 'pahit' itu pernah dialaminya, namun rasa takut di masa depan masih saja ada. rasa takut yang, tentu saja, tidak masuk akal. karena akal terlalu dangkal untuk menafsirkan rasa ; cinta. menerima kenyataan bahwa seseorang bukanlah untuk kita sebenarnya mudah. namun yang mempersulit adalah pikiran kita yang terus menerus menjahili, bahwa kita sebenarnya pantas untuk dia. mungkin itu yang disebut 'setan'.

di sisi lain, ada perasaan lepas, pasrah yang menenangkan saat aku melihat diriku sendiri. melihat kondisi diri yang menyadarkan, bahwa pertanyaan 'mengapa ia harus menjadi rizki (jodoh)-ku?' perlu dijawab cepat. mungkin saja memang, aku bisa tinggal jauh dari orang tua, tapi aku tak mau. setelah kakakku yang perempuan itu menikah, di rumah hanya tinggal bersisa tiga orang saja : mom, dad, and me. lagipula, ini yang membuatku bisa merasa lepas, tempat ku hidup begitu 'keras', kampungan, tak pantas ditempati orang kota, dan banyak hal-hal yang barangkali tidak disukai orang modern sepertinya : kumpulan semut di rumah, berisiknya komplotan kucing, juga teriakan anak-anak kecil. ditambah lagi, sedang ada peradaban yang kami bangun, yang akan mempertemukan kami dengan berbagai masalah pelik. banyak yang mengatakan aku tipikal seorang intelektual, yang membuatku pantas tinggal di kota. namun aku memilih di desa. aku harus membagi sedikit ilmu ini di perkampungan yang tak tersentuh oleh 'orang-orang suci' bernama kaum intelektual. sedangkan di kota, sudah terlalu banyak kaum spesialis, termasuk para intelektualis. untuk apa orang-orang pandai berkumpul di satu tempat? mereka harus menyebar, dan membagi sedikit pengetahuannya secara merata pada sesama manusia. alasan-alasan seperti ini yang membuatku merasa lega.

mengapa ia harus menjadi rizki-ku? tidak ada hukum mutlak yang mengharuskan seseorang menjadi milik kita. atau, barangkali dia menjadi milik kita, tapi pada hakekatnya tidak ada sesuatupun yang benar-benar kita miliki. bahwa manusia harus dan wajib berusaha, tentu saja kita sepakat. namun Tuhan tidak mengharuskan kita untuk berhasil dalam usaha kita. melainkan, yang lebih penting, adalah usaha keras itu sendiri. Tuhan menuntut kita untuk selalu bekerja keras. kehidupan bukan untuk kita hitung-hitung seberapa banyak penderitaan atau kebahagiaan yang kita alami. melainkan bagaimana agar kita lebih baik dari sebelumnya. bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya baik, itu juga benar. barangkali setiap orang harus paham, bahwa gelombang otak manusia relatif tenang saat ia memikirkan apa yang disuka atau dicinta. namun gelombang otak akan kacau, saat nafsu (keinginan/ego) masuk ikut campur ke dalamnya. dan saat 'ego' ini turut campurlah, seseorang akan menunjukan sifat asli manusianya : kita bisa salah atau ceroboh.

setiap manusia berhak melakukan kebaikan, sebesar haknya untuk melakukan kecerobohan (kesalahan). dari itu, waktu, selalu memberi kesempatan untuk kita agar saling mengingatkan. jika memang tak mau diingatkan oleh kita, maka biar alam yang turun tangan. karena sesungguhnya, setiap manusia dalam ketidakpahaman yang bisa membuatnya kecewa kapan saja. kecuali orang yang saling mengingatkan, dalam kebenaran dan kesabaran. tawwashou bil haqi, tawashou bi shobri...
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)