sudah menjadi keumuman dalam masyarakat, bahwa sebagian orang menyambut bulan ramadhan dengan penuh kesenangan. bahkan bukan hanya orang-orang muslim yang melaksanakan ibadah khusus di bulan suci itu. tetapi juga para pedagang, yang didominasi oleh kaum tiongkok : mereka omset besar. bahkan, di Negara Arab sana, orang Indonesia disebut sebagai Siti Rahmah alias ibu yang pemurah. karena terlalu berlebihan dalam berbelanja, dan secara tidak langsung menjadi abdul buthun (hamba perut) yang hina.
ada yang senang menyambut ramadan karena satu hadits, man fariha bi dukhuli ramadlona haromallohu jasadahu alan narr. barangsiapa bergembira menyambut bulan ramadhan, jasadnya haram masuk neraka. terlepas dari lemahnya hadits tersebut, bergembira menyambut hari yang 'panas' adalah suatu 'kegilaan'. mengapa panas? ramadhan berarti panas. secara historis datangnya bulan ramadhan di daerah arab ataupun Babilonia (Bab = Pintu/ Gerbang, El = Tuhan, kerajaan Tuhan Ibrahim) dahulu, selalu diiringi dengan cuaca yang panas menyengat. barangkali di sini letak kiasannya. sebagian orang justru merasa 'kepanasan' (tak nyaman) dengan datangnya bulan ramadhan. mereka yang pada awalnya bergembira, pada akhirnya seperti pertandingan sepak bola. ramai saat babak penyisihan, namun hilang saat babak final (penentuan atau akhir ramadhan). terlebih lagi, bagi mereka yang sedari awal sudah 'kepanasan' dengan adanya bulan ramadhan, terbagi menjadi dua golongan. pertama, mereka yang acuh, ada atau tidak ada bulan ramadhan, mereka tetap makan atau bahkan maksiat on the road edan. kedua, mereka yang merasa dengan datangnya ramadhan, membuat hidup mereka semakin susah. tak boleh makan minum, berhubungan suami istri di siang hari, tak boleh ngrasani (ngomongin kejelekan orang), menambah kasih sayang pada orang yang dibenci, menjadi diri yang pemaaf, juga menjaga pikiran dan hati dari prasangka negatif. itu mengapa dinamakan 'panas'.
dan orang yang tetap bahagia dalam 'kepanasan' hingga akhir waktu, ia akan masuk pada peringkat yang dikatakan Tuhan sebagai La'alakum tattaqun... orang-orang takwa alias orang-orang gila, yang selalu konsisten memperbaiki diri, mencintai orang yang membenci, memaafkan kesalahan dan kecerobohan yang telah lalu. menjadi manusia saja, sudah begitu susah, karena harus menyeimbangkan antara potensi hewaniah dan seorang malaikat yang terpenjara dalam diri. apalagi menjadi manusia dengan peringkat takwa. ia harus paham, bahwa tidak ada manusia yang sepenuhnya baik. karena dunia tidak memberi kesempatan untuk manusia bebas dari kesalahan dan kecerobohan. sangat menyakitkan memang, saat seseorang melakukan kecerobohan pada sesamanya. tapi itu wajar, karena dalam diri manusia memiliki potensi untuk tidak sempurna baik. dan di akhir bulan ramdhan itulah, Tuhan memberi kesempatan pada manusia untuk memperbaharui diri secara menyeluruh.
adanya idul fitri, menjadi kesempatan tak tergantikan untuk manusia saling bermaaf-maafan. aneh memang, hanya untuk bersilaturahim (berkasih-sayang), bermaaf-maafan, hanya dilakukan sekali dalam setahun. padahal, tidak ada salahnya seseorang meminta maaf dan memperbaiki diri setiap hari, merenung setiap sebelum tidur. sedangkan yang sering dicontohkan Rasululloh saat idul fitri, bukanlah mengucapkan minal aidzin wal faidzin (dari keadaan suci menuju kemenangan). melainkan taqaballohu minna wa minkum.. semoga amal kita diterima oleh Allah. yaitu amalan-amalan selama bulan ramadhan, itupun jika ada. barangkali kita termasuk orang-orang yang keluar ramadhan bagai kesebelasan sepak bola yang kalah dari penyisihan, itu nafsi-nafsi, dan akan terlihat dalam keseharian setelahnya : kita tidak semakin baik, hati kita tidak semakin lembut. orang-orang yang hatinya tidak 'diospek' saat ramadhan, tidak menikmati dalam 'kepanasan' (ketidaknyamanan), ia akan seperti petani yang mencangkul tanpa mendapatkan panen. setelah menahan lapar dan haus selama sebulan, ternyata akal dan hati kita tidak semakin halus, semakin paham/bijak mengatasi hidup, bekerja keras tanpa ada hasil : mencangkul tanpa memanen.
tambahan pengetahuan saja, bahwa sebenarnya ada kesamaan antara hari raya natal dan idul fitri. Natal berarti lahir, dan idul fitri yang artinya kembali suci. ini tidak sedang membicarakan konsep hari raya secara teologis, karena hanya akan mengakibatkan debat kusir yang tak kunjung selesai. Perdebatan yang justru akan membawa kita pada permusuhan dan perpecahan antar manusia.
Semua orang pada umumnya – umat yang merayakan pada khususnya, tahu, bahwa hari raya – kalau tidak selalu, berarti – sering kali identik dengan kegembiraan. Hari yang dipenuhi dengan rasa senang sepanjang hari. Baik itu natal, dengan berbagi kado, hadiah, ataupun yang lainnya. Begitu juga dengan idul fitri dengan pengidentikan banyaknya makanan dan saling membagi rizki. Tapi ada yang keliru dalam ritus tahunan kita itu. Hari raya yang identik dengan – bukan hanya hari suci tetapi juga, hari kegembiraan, seringkali kita lupa dengan konsekuensi dari hari itu. Pertama tentang kegembiraan. Apakah setiap dan semua orang yang merayakan hari raya itu – paling tidak di hari itu, merasakan kegembiraan yang sama seperti kita? apakah idul fitri yang sesuci namanya pantas dikemas dalam bentuk pesta pora, kesenangan berlebihan karena terlepas dari bulan puasa? pamer berbelanja, makan berlebihan tanpa berbagi, hingga tetangga ngiler melihatnya? Juga, bagaimana cakupan kegembiraan hari raya yang kita peringati itu, hanya sebatas sesama golongankah (sesama agama)?
Kedua, berkenaan dengan konsep lahir atau suci. Benarkah di hari itu kita telah kembali pada kesucian – seperti ketika kita dilahirkan? Atau paling tidak, apa benar kita ada kemauan untuk kembali pada kesucian melihat kehidupan kita yang begitu konyol?
Tuhan mengamanatkan bumi pada manusia agar bisa diolah dengan sebaik-baiknya. Demi kesejahteraan bersama, untuk kegembiraan semua. Para nabi dan rasul tak pernah ada satu riwayatpun yang menceritakan, bahwa nabi atau rasul hanya untuk kebaikan satu golongan saja. Benar, jika para nabi dan rasul di utus pada umat tertentu – satu, kecuali Muhammad ibn Abdulloh. Tapi bukan berarti kasih sayang mereka tidak universal, menyeluruh pada seluruh alam. Para petinggi agama – entah itu ulama, pendeta, rahib, ataupun biksu, menjadi penyambung risalah Tuhan dari para nabi dan rasul bukan hanya untuk golongan tertentu, tetapi untuk setiap dan semua orang yang mau. Semua itu berujung pada satu tujuan, yaitu kebahagiaan hidup. Kebahagiaan tidak terkotakan pada satu kelompok. Kebahagiaan merupakan milik siapa saja yang berusaha untuk menjemputnya. Tuhan tidak memberikan kebahagiaan dalam kehidupan ini hanya untuk satu ‘kotak’ manusia, tetapi untuk seluruh alam.
Saudara kita yang nasrani memiliki konsep altruisme, sikap yang lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri. Tindakan untuk lebih dahulu memahami orang lain daripada meminta dipahami lebih dulu. Dalam Islam, kita mengenal konsep rahman dan rahim. Kasih dan sayang Tuhan yang harus mengalir dalam darah setiap individu yang benar-benar hidup. Mengapa yang benar-benar hidup? Karena ada manusia yang sebenarnya mati, namun ia nampak hidup. Dari persenyawaan antara rahman dan rahim itulah kita kenal dengan konsep hub – cinta. Mahabbatullah – cinta pada Tuhan – yang jika menjadi dasar kehidupan manusia, akan menjadikan setiap individu seperti seorang ksatria pembagi kebahagiaan hidup – di manapun dan kapanpun. Di setiap hari raya itulah, seluruh ummat manusia seharusnya mendapatkan kebahagiaan yang saling melengkapi. Bukan hanya milik kelompok, atau perorangan, tetapi juga seluruh manusia pada umumnya. Karena kebahagiaan dan cinta, tidak terbatas ruang dan waktu, apalagi kelompok.
Kebahagiaan dan cinta tak mungkin ada, jika tidak didasari dengan kesucian hati. Seorang bayi akan menangis ketika sang ibu menjadi pelampiasan kemarahan si ayah. Seorang anak kecil mampu menghibur seseorang yang sedang sedih, meskipun ia sebenarnya tak tahu dengan kesedihan orang itu. Namun semua itu bisa terjadi karena cinta. Karena hati bayi, hati anak kecil yang masih suci, yang menjadikannya mudah merasakan apa yang dialami orang lain.
Sebaliknya, kita rutin setiap tahun memperingati hari raya, entah itu natal (lahir) ataupun idul fitri (kembali suci), namun hati kita nyaris mati. Bukan hanya kita tak bisa merasakan pengalaman orang-orang yang menderita di saat itu, tetapi juga kita amnesia setelah hari ‘suci’ itu. Bukan hanya hati kita yang masih kotor, tetapi juga sedikitpun tidak ada kemauan dalam diri kita untuk menyucikan diri. Hati kita tetap kotor, tindakan kita masih berujung kenikmatan pribadi, perbuatan kita hanya mencari untung individu, masih menjadi manusia malas. ‘Rasa’ kita nyaris mati, karena bukan hanya kita tak mau hijrah menjadi manusia yang berada di jalan kesucian (setelah hari raya), tetapi juga masih kontinyu dalam perbuatan yang merugiakan orang lain. Atau paling tidak, kita masih bisa menyianyiakan waktu untuk bermalas-malasan. Tak mau menyapa orang lebih dulu, karena merasa lebih suci. Enggan memaafkan orang lain, sebelum mereka meminta maaf, juga menolak memberi salam pada orang lain lebih dulu. Justru ketika kita merasa suci-lah, sebenarnya hati kita dalam keadaan kotor, atau mungkin sekarat – berkarat. Bahkan Muhammad ibn Abdulloh-pun tak pernah merasa lebih suci, sekalipun pada pengemis tua yang membencinya. Ia yang telah dijamin surga, suka beristighfar seratus kali dalam sehari.
ramadhan berarti panas, tak nyaman, siapa yang dapat merasakan kebahagiaan hingga akhir bulan, ia golongan orang-orang takwa. idul fitri berarti kembali suci. dan syawal adalah kebahagiaan. apakah kita tetap mampu bahagia, sedangkan saudara sebangsa masih banyak yang menghabiskan kehidupannya di jalanan : pengamen kecil, gelendangan, para pelacur, orang-orang yang tak dapat bahagia berkumpul di bulan syawal? pernahkan kita membaca, literatur yang menceritakan rasulullah tertawa saat hari raya? bahkan, di hari fitri, beliau menemukan anak kecil tak perpakaian sopan, lalu membawanya dan menjadikan ia anaknya. Dan kita? Masihkah merasa telah suci dan tetap berpesta pora di idul fitri dan bulan syawal ini? dan lagi, syawal bermakna kebahagiaan : untuk siapa?
Ramadan berarti Panas, Idul Fitri berarti Kembali Suci, Syawal berarti Kebahagiaan : Untuk Siapa?
August 18, 2012
0
Tags