Tak berhasrat, bukan berarti mati

Java Tivi
0


sepulang Diklat guru MI, Jon mendapat uang transport empat ratus ribu sekian. saat di rumah, emaknya nanya.

"Kirain uiz buka puasa di sana..." Jon pulang menjelang isya. ia makan kolak bikinan emaknya dengan lahap.

"Ada konsumsi, tapi buat yang lain (Jon nggak ngambil). ada nasi box juga, tapi nggak ngambil," kata Jon lempeng.

"Ehm, pantesan nggak bawa snack lagi..." kata emaknya lagi.

"Snack nggak bawa, tapi bawanya duit," lalu Jon menyerahkan dua ratus ribu buat tambah-tambah belanja emaknya. dua ratus ribu lagi ia simpan untuk menyumbang pengajian guru ngajinya. sisanya, ia berikan pada kakak pertamanya yang menyekolahkan anaknya di pesantren.

"Kok kamu nggak nyimpen sih?" tanya emaknya.

"Aku udah nggak pengin apa-apa lagi, Ma..." jawab Jon dingin.

Sontak emaknya si Jon langsung mengelus dada dan mengucap istighfar. mungkin dalam hatinya, "Apa yang terjadi denganmu, nak? sampai kamu begini, nggak pengin apa-apa lagi. kamu tuh masih muda..." itu kesekian kalinya Jon ngomong begitu.

sebelumnya, selama diklat dari jam delapan pagi sampai menjelang isya itu, Jon merenung disela-sela waktu. "Apakah aku akan seperti mereka, menghabiskan waktu dengan kehidupan yang seperti itu saja? banyak bercanda, mementingkan materi dengan alasan realita, tanpa cita-cita membangun dunia?"

"Apakah aku akan seperti mereka, melupakan jutaan permasalahan manusia, dengan cukup 'berlindung' di balik nama 'pembangunan pendidikan'?"

"Apakah aku akan seperti mereka, yang tak peduli sesama, menjadikan urusan perut yang utama?" saat adzan maghrib terdengar, Jon hanya mengambil kolak pisang dalam gelas kecil dan segelas air teh, lalu ia ke masjid. sambil menunggu adzan selesai, Jon merenung lagi.

"Bagaimana mungkin mereka akan memikirkan orang-orang kelaparan di luar sana, sesama teman saja mereka tak memikirkannya. apakah aku akan seperti mereka, Tuhan?" banyak rekan diklat Jon, yang ternyata tidak kebagian nasi prasmanan yang disediakan panitia. Jon sengaja tidak rebutan seperti guru-guru tua yang semakin bau tanah itu. Ia sedang belajar seperti apa yang dikatakan rasulnya, "Berbukalah dengan segera, dan sahurlah di akhir waktu," karena itu Jon cepat mengambil kolak, lalu pergi sholat. selain itu, ia selalu mengingat nasehat Muhammad ibn Abdullah perihal urusan perut.

"Makanlah ketika lapar, berhentilah sebelum (ke)kenyang(an)," meskipun di rumah Jon banyak makanan yang tidak jarang menjadi basi (gara-gara emak Jon berlebihan dalam belanja) dan untuk pakan ternak, Jon hanya makan sedikit. wajar saja tubuhnya konsisten dalam kerempeng.

di sisi lain, nasehat itu mengajarkan agar orang tidak berlebihan, juga tabah jika kekurangan. banyak hal yang sebelumnya baik, namun karena berlebihan, sesuatu itu menjadi tidak baik. makan akan baik, jika hanya sesuai kebutuhan (menopang tulang punggung, jika pakai bahasanya Jon). namun jika makan sesuai 'kebutuhan' nafsu, akan terjadi akibat yang kurang baik. Jon sendiri tidak aneh dengan pembelajaran kesederhaan hidup. saat mahasiswa saja, ia sudah tirakat (thoriqoh, menapaki jalan) seperti para wali sembilan. makan nasi putih dan krupuk tawar, sudah tidak aneh untuknya. terlebih lagi, Jon sudah tidak 'mengemis' pada orang tua sejak ia SMA. pantas saja jika di umur menjelang seperempat abadnya, ia sudah 'kehilangan hasrat' hidup.

rekan-rekan Jon saja saat masih kuliah dulu, tidak aneh dengan nasehat 'ekstrim' darinya, "BERHENTILAH BERHARAP BAHKAN PADA TUHAN, TERUSLAH BEKERJA KERAS, DAN MILIKILAH MIMPI," Jon mampu bekerja keras dan bermimpi ria, tanpa harus menyelipkan harapan di sela-sela hatinya. saat ia diejek temannya perihal hasratnya yang hilang, ia hanya menjawab dengan tenang.

"Diri ente udah setengah mati, Jon,"

"Tak berhasrat, bukan berarti mati. Aku cuma mematikan 'diri'-ku yang seharusnya memang aku matikan," sisi jelek manusia, yang selalu menyingkirkan sisi baik kehidupan. karena orang-orang beruntung, adalah mereka yang selalu melihat sisi baik kehidupannya.

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)