Suasana sunyi ini, sangat aku rindukan. Sekitar dua tahun aku 'terpenjara' dalam ruangan 3x2 m. Ruangan yang hanya berisi buku dan komputer milik seorang kawan. Tidak ada lemari, kasur, ataupun bantal. Ruangan berisi buku-buku filsafat, komik, dan tebak-tebakan untuk anak-anak. Namun 'penjara' itu, lebih aku sukai daripada keramaian. Dari penjara itu juga, tiga masterpiece-ku lahir, tanpa bidan. Di penjara itu juga, akal-ku pernah sekarat, karena mencoba merasionalkan cinta dan Tuhan. Cinta tak teranggap, dan Tuhan yang seakan tak mau menatap. Tapi, apapun yang terjadi pada masa lalumu, sekarang kau hidup di saat ini. Masa Kini. Membawa satu 'nilai', bahwa kau, HEBAT : telah melalui masa-masa itu.
Untuk kakak-ku,
Banyak hal yang harus kita bicarakan, Mas. Terlalu banyak yang tidak aku ketahui tentang 'tahta' itu. Aku bersyukur, perjalanan hidupku di negeri perantauan sana mambawa jiwaku hingga setengah sadar. Memetamorfosiskan harga diri ini, hingga sederajat dengan telapak kaki. Harga diriku telah ku rendahkan setara dengan telapak kaki, dihadapan mereka yang tertindas oleh zaman. Dalam setiap pertemuan 'orang-orang berseragam' itu, aku nyaris selalu 'berjabat tangan' dengan kesalahan. Karena memang bekalku hadir disana adalah ketidaktahuan tentang segala hal. Aku awam. Tapi aku menerima, menjalani itu dengan hati tetap tenang, dan tersenyum. Selelah apapun hidup kita untuk banyak orang itu, Mas, bukankah kita pernah mengalami yang lebih pahit dari ini? Toh kita mampu lepas dari itu. Jangan mengeluh, Mas, jangan menyerah. Aku yang hidup dengan tubuh ringkih juga tak akan pernah menyerah. Seperti Bintang. Matahari. Meski cahaya bintang telat jutaan tahun cahaya, walaupun sang bintang telah menjadi supernova, cahayanya tak pernah menyerah sebelum menyinari malam-malam bumi. Kita, tak akan menyerah, hingga karya-karya kita mencerahkan kaum manusia.